30/09/08

Politik Trade-Unionis Dan Politik Sosial-Demokratis


Kami akan mulai lagi dengan memuji Raboceye Dyelo. "Literatur Pemblejetan Dan Perjuangan Proletar" adalah judul yang diberikan oleh Martinov kepada artikelnya dalam Raboceye Dyelo No.10 tentang perbedaan pendapat dengan Iskra. Dia merumuskan hakekat perbedaan pendapat ini sebagai berikut : "Kita tak dapat membatasi diri hanya pada memblejeti sistem yang merintangi jalan perkembangannnya" (partai buruh). "Kita harus pula memberi reaksi terhadap kepentingan-kepentingan terdekat dan sehari-hari proletariat" (hal.63). "….Iskra…… sebenarnya adalah sebuah organ dari oposisi revolusioner yang memblejeti sistem di negeri kita, terutama sistem politik……….. Akan tetapi kita bekerja dan akan bekerja untuk usaha buruh dalam hubungan organis yang erat dengan perjuangan proletar" (hal.63). Orang mau tidak mau harus berterima kasih kepada Martinov atas perumusan ini. Perumusan ini sangat menarik perhatian umum karena pada hakekatnya ia meliputi bukan hanya perbedaan pendapat kami dengan Raboceye Dyelo, melainkan juga perbedaan pendapat umumnya antara kami dengan kaum “ekonomis" mengenai perjuangan politik. Telah kami tunjukkan bahwa kaum "ekonomis" itu tidak menolak "politik" sama sekali, tetapi bahwa mereka hanya senantiasa menyimpang dari konsepsi politik sosial-demokratis ke konsepsi politik trade-unionis. Martinov menyimpang persis begitu juga, dan karena itu kami setuju mengambil justru pendangan-pandangannya sebagi contoh kesalahan ekonomis mengenai soal ini. Kami akan berusaha membuktikan bahwa baik penulis-penulis Lampiran khusus Rabocaya Misl, penulis-penulis manifes yang dikeluarkan oleh Grup Pembebasan Diri, maupun penulis-penulis surat ekonomis yang dimuat dalam Iskra No.12, tak akan mempunyai hak apapun untuk menggugat pilihan ini.

A. AGITASI POLITIK DAN PEMBATASANNYA OLEH KAUM EKONOMIS

Setiap orang tahu bahwa pengembangan secara luas dan pengkonsolidasian perjuangan ekonomi*kaum buruh Rusia berlangsung berbarengan dengan pencitaan 'literatur" pemblejetan keadaan ekonomi (keadaaan di pabrik dan lapangan pekerjaan). "Surat-surat sebaran" ini terutama ditujukan untuk memblejeti keadaan pabrik, dan di kalangan kaum buruh segera bangkit gairah yang sejati akan pemblejetan-pemblejetan itu. Segera sesudah kaum buruh melihat bahwa lingkaran-lingkaran kaum sosial-demokrat ingin dan dapat memberikan kepada mereka surat sebaran macam baru yang menceritakan seluruh kebenaran tentang hidup mereka yang melarat, tentang kerja mereka yang terlalu berat, tentang ketiadaan hak mereka, maka mulailah, boleh dikatakan, membanjir surat-surat mereka dari pabrik-pabrik dan kilang-kilang. ""Literatur pemblejetan" ini menimbulkan sensasi yang hebat tidak hanya di pabrik dimana keadaannya diblejeti dalam surat sebaran tertentu, tetapi juga disemua pabrik dimana tersiar kabar tentang fakta-fakta yang terblejeti. Dan karena kesengsaraan serta kemiskinan kaum buruh diberbagai perusahaan dan berbagai lapang pekerjaan hampir saja sama saja, maka "kebenaran tentang kehidupan buruh " menggerakkan semuanya.Bahkan di kalangan kaum buruh yang paling terbelakangpun timbul gairah yang sejati untuk "dipublikasi" --suatu gairah yang mulia akan bentuk embrio perang melawan seluruh sistem sosial dewasa ini yang didasarkan atass perampokkan dan penindasan. Dan dalam kebanyakan hal "suart-surat sebaran" ini sesungguhnya merupakan sutu pernyataan perang, karena pemblejetan-pemblejetan itu sangat membantu membangkitkan kaum buruh dan menimbulkan di kalangan mereka tuntutan-tuntutan bersama untuk melenyapkan keburukkan-keburukkan yang paling menyolok dan membangkitkan pada mereka kesediaan menyokong tuntutan-tuntutan ini dengan pemogokkan-pemogokkan. Akhirnya, tuan-tuan pabrik sendiri terpaksa mengakui arti surat-surat sebaran ini sebagai suatu pernyataan perang sehingga sering sekali mereka tidak mau menunggu-nunggu lagi samapi perang itu sendiri pecah. Sebagaimana biasa, dengan diterbitkannya pemblejetan-pemblejetan ini saja sudah menjadikannya berdaya guna, memperoleh arti pengaruh moril yang perkasa. Bukan satu kali saja bahwa, penerbitan suatu surat sebaran itu saja ternyata cukup untuk menjamin dipenuhinya semua atau sebagian tuntutan. Pendek kata, pemblejetan-pemblejetan ekonomi (pabrik) telah dan tetap merupakan pengungkit penting perjuangan ekonomi. Dan pemblejetan-pemblejetan ini akan terus mempunyai arti demikian ini selama kapitalisme masih ada, yang menyebabkan kaum buruh harus membela diri. Di negeri-negeri Eropa yang paling maju pun sekarang masih dapat kita saksikan bagaimana pemblejetan keburukan-keburukan di suatu “perusahaan” yang terpencil atau suatu cabang industri rumah tangga yang sudah dilupakan orang, merupakan titik pangkal untuk menggugah kesadaran klas, untuk mengawali perjuangan serikat buruh dan untuk menyebar luaskan sosialisme.*

Mayoritas mutlak kaum sosial-demokrat Rusia di waktu belakangan ini hampir sama sekali mencurahkan perhatian mereka pada pekerjaan mengorbankan pemblejetan mengenai keadaan pabrik. Cukuplah mengingat Rabocaya Misl untuk melihat sampai seberapa jauh pencurahan perhatian ini. Pencurahan perhatian itu sampai sebegitu jauh sehingga dilupakan bahwa pencurahan ini sendiri, pada hakekatnya belum merupakan aktivitas sosial-demokratis, melainkan hanya aktivitas trade-unionis. Pada hakekatnya, pemblejetan-pemblejetan ini hanya mencakup hubungan-hubungan antara kaum buruh di lapangan pekerjaan tertentu dengan majikan-majikan mereka, dan apa yang dicapai oleh pemblejetan-pemblejetan itu ialah bahwa para penjual tenaga kerja belajar menjual “barang dagangan” mereka secara lebih menguntungkan dan berjuang melawan para pembeli berdasarkan transaksi dagang semata-mata. Pemblejetan-pemblejetan ini dapat menjadi (jika digunakan sebagaimana mestinya oleh organisasi kaum revolusioner) permulaan dan bagian komponen aktivitas sosial-demokratis, tetapi pemblejetan itu juga dapat menuju (dan dibawah syarat pemujaan kepada spontanitas pasti) menuju ke perjuangan “serikat buruh semata-mata” dan ke gerakan buruh non sosial-demokratis. Sosial-demokrasi memimpin perjuangan klas buruh tidak hanya untuk syarat-syarat yang lebih baik bagi penjualan tenaga kerja, tetapi juga untuk melenyapkan sistem masyarakat yang memaksa kaum tak bermilik menjual diri kepada si kaya. Sosial-demokrasi mewakili klas buruh bukan dalam hubungan klas buruh dengan hanya suatu grup pengusaha tertentu, melainkan dalam hubungan klas buruh dengan semua klas dari masyarakat modern, dengan negara sebagai suatu kekuatan politik yang terorganisasi. Dari sini jelaslah bahwa kaum sosial-demokrat bukan hanya tidak boleh membatasi diri pada perjuangan ekonomi, tetapi juga tidak boleh membiarkan perorganisasian pemblejetan di bidang ekonomi menjadi aktivitas mereka yang berdominasi. Kita harus dengan aktif mencengkam pendidikan politik klas buruh dan pengembangan kesadaran politiknya. Sekarang sesudah Zarya dan Iskra melakukan serangan yang pertama atas ekonomisme, “semua setuju” mengenai ini (meskipun ada yang setuju hanya dalam kata-kata, sebagaimana akan segera kita lihat).

Timbul pertanyaan: berupa apakah seharusnya pendidikan politik itu ? Dapatkah dibatasi hanya pada propaganda ide-ide tentang permusuhan klas buruh terhadap otokrasi? Tentu saja tidak. Tidaklah cukup menerangkan kepada kaum buruh bahawa mereka mengalami penindasan politik (sebagaimana tidak cukup hanya menerangkan kepada mereka bahwa kepentingan-kepentingan mereka berlawanan dengan kepentingan-kepentingan kaum majikan). Agitasi harus dilakukan mengenai setiap manifestasi kongkrit dari penindasan ini (sebagaimana kita telah mulai melakukan agitasi mengenai manifestasi kongret penindasan ekonomi). Dan karena penindasan ini menimpa bermacam-macam klas dalam masyarakat, karena ia menampakkan diri dalam lapangan hidup dan aktivitas yang sangat beraneka warna, dilapangan pekerjaan, sipil, perseorangan, keluarga, agama, ilmu, dan sebagainya dan sebagainya, maka tidakkah jelas bahwa kita tidak akan memenuhi tugas kita mengembangkan kesadaran politik kaum buruh jika kita tidak memikul tanggung-jawab pekerjaan mengorganisasi pemblejetan politik mengenai otokrasi dalam semua seginya? Bukankah untuk melakukan agitasi mengenai manifestasi kongkrit penindasan, orang perlu memblejeti manifestasi tersebut (sebagaimana orang perlu memblejeti penyalahgunaan dalam pabrik untuk melakukan agitasi ekonomi)?

Orang akan berpendapat bahwa hal ini cukup jelas. Tetapi justru disinilah ternyata bahwa hanya dalam kata-kata “semua” setuju tentang perlunya mengembangkan kesadaran politik dalam semua seginya. Disini jugalah ternyata bahwa Raboceye Dyelo, misalnya , bukan hanya tidak memikul tugas mengorganisasi (atau memulai mengorganisasi) pemblejetan politik dalam semua seginya, tetapi malah menyeret mundur Iskra yang telah mengusahakan tugas ini. Dengarlah ini: “perjuangan politik klas buruh hanyalah” (justru bukan “hanya”) “bentuk perjuangan ekonomi yang paling berkembang, paling luas dan paling efektif “ (Program Raboceye Dyelo, Raboceye Dyelo No.1, hal.3). “Kaum sosial-demokrat sekarang dihadapkan kepada tugas memberikan, sedapat-dapatnya, watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri” (Martinov, Raboceye Dyelo No.10, hal42). “Perjuangan ekonomi adalah cara yang paling luas dapat digunakan untuk menarik massa ke dalam perjuangan politik yang aktif” (Resolusi Kongres Perserikatan60) dan amandemen-amandemennya, Dua Kongres, hal. 11 dan 17). Seperti pembaca lihat, semua dalil ini meresapi Raboceye Dyelo, sejak dari nomor pertamanya sampai pada “Instruksi-Instruksi” terakhir ‘kepada Dewan Redaksi”, dan semuanya terang menyatakan satu pendapat mengenai agitasi dan perjuangan politik. Tinjaulah pendapat ini dari sudut pendapat yang lazim di kalangan semua orang ekonomis, bahwa agitasi politik harus mengikuti agitasi ekonomi. Begitulah pada umumnya* perjuangan ekonomi merupakan”cara yang paling luas digunakan” untuk menarik massa ke dalam perjuangan politik? Sama sekali tidak benar. Segala macam manifestasi kelaliman polisi dan perkosaan otokrasi, dan sekali-kali bukan hanya manifestasi yang berhubungan dengan perjuangan ekonomi, sedikitpun tidak kurang “dapat digunakan secara luas” sebagai cara untuk “menarik” massa. Orang-orang Zemski Nacalnik61, pemecutan terhadap petani-petani, korupsi para pegawai, perlakuan polisi terhadap “rakyat biasa” di kota-kota, perjuangan terhadap kaum lapar dan penindasan terhadap aspirasi rakyat untuk penerangan dan pengetahuan, pemerasan pajak, penguberan terhadap sekte-sekte agama, perlakuan yang merendahkan terhadap para serdadu dan perlakuan terhadap para mahasiswa dan intelegensia liberal seolah-olah mereka itu serdadu –mengapa kesemuanya ini dan ribuan manifestasi penindasan lainnya yang serupa itu, yang tidak langsung bersangkutan dengan perjuangan “ekonomi”, merupakan pada umumnya cara dan alasan yang kurang “dapat digunakan secara luas” untuk agitasi politik dan untuk menarik massa ke dalam perjuangan politik? Justru sebaliknya: dari jumlah seluruh kejadian dimana kaum buruh mengalami (mereka sendiri ataupun orang-orang yang dekat dengan mereka) ketiadaan hak, kesewenang-wenangan dan aniaya, pastilah kejadian-kejadian penindasan polisi dalam perjuangan serikat buruh hanyalah merupakan jumlah kecil saja. Mengapa kita harus sebelumnya membatasi ruang lingkup agitasi politik dengan menyatakan hanya satu cara yang “paling luas dapat digunakan”, sedangkan kaum sosial-demokrat, disamping itu, mempunyai cara-cara lain yang pada umumnya tidak kurang “dapat digunakan secara luas”?

Lama, lama telah lalu (setahun yang lalu! ……) Raboceye Dyelo menulis: “Massa mulai mengerti akan tuntutan-tuntutan politik terdekat sesudah satu, atau sekurang-kurangnya, sesudah beberapa kali pemogokan”, “segera sesudah pemerintah mengerahkan polisi dan gendarme” (No.7, hal 15, Agustus 1900). Teori tingkat-tingkat yang opurtunis ini sekarang telah ditolak oleh Perserikatan yang memberikan konsesi kepada kita dengan menyatakan : “Tidak ada perlunya sama sekali melakukan agitasi politik sejak awal mula semata-mata atas dasar ekonomi” (Dua Kongres, Hal.11). Ahli sejarah sosial-demokrasi Rusia yang akan datang dari penegasian oleh Perserikatan terhadap sebagian kesalahannya yang dulu itu saja akan melihat dengan lebih jelas daripada dari segala argumen panjang-panjang sampai seberapa jauh kaum ekonomis kita telah memerosotkan sosialisme! Tetapi Perserikatan sungguh naif membayangkan bahwa penolakan satu pembatasan politik akan dapat mendorong kita menyetujui bentuk pembatasan yang lain! Tidakkah akan lebih logis mengatakan, dalam hal ini juga, bahwa perjuangan ekonomi harus dilakukan seluas-luasnya, bahwa ia harus selalu digunakan untuk agitasi politik, tetapi bahwa “tidak ada perlunya sama sekali” menganggap perjuangan ekonomi sebagai cara paling luas dapat digunakan untuk menarik massa ke dalam perjuangan politik yang aktif?


* Untuk menghindari salah paham perlu kami tegaskan bahwa di sini dan dalam uaraian selanjutnya, dengan perjuang ekonomi kami maksudkan (sesuai dengan arti istilah itu yang lazim kami gunakan) "perjuangan ekonomi praktis" yang disebut oleh Engels, dalam bagian yang dikutip diatas, sebagi "perlawanan terhadap kaum kapitalis", dan yang di negeri-negeri merdeka disebut sebagai perjuangan serikat sekerja, perjuangan sindikat atau perjuangan trade-unionis.

* Dalam bab ini kami hanya membicarakan perjuangan politik, dalam artinya yang lebih luas atau lebih sempit. Karena itu kami hanya samabil lalu menyebutkan, hanya sebagai suatu keanehan, tuduhan Raboceye Dyelo bahwa Iskra “terlalu menahan diri” mengenai perjuangan ekonomi (Dua Kongres, hal.27, yang dikunyah-kunyah oleh Martinov dalam brosurnya Sosial Demokrasi dan Klas Buruh). Jika tuan-tuan penuduh ini menghitung dengan kiloan atau rim-riman (seperti yang suka mereka lakukan) apa yang telah dikatakan tentang perjuangan ekonomi dalam rubrik industri dalam Iskra selama satu tahun, dan membandingkan ini dengan rubrik industri dalam Raboceye Dyelo dan Rabocaya Misl dijadikan satu, maka akan mudahlah mereka melihat bahwa dalam hal ini pun mereka ketinggalan. Rupanya kesadaran akan kebenaran yang sederhana ini memaksa mereka menggunakan argumen-argumen yang dengan jelas memperlihatkan kebingungan memperlihatkan kebingungan mereka. Iskra, tulis mereka, “mau tak mau (!) terpaksa (!) memperhitungkan tuntutan hidup yang mendesak dan sekurang-kurangnya (!!) memuat surat-surat tentang gerakan buruh” (Dua Kongres, hal.27). Nah inilah argumen yang sungguh-sungguh menghancurkan!

60 Yang dimaksud ialah Perserikatan Kaum Sosial Demokrat Rusia Di Luar Negeri.

Kita katakan “pada umumnya”, karena Raboceye Dyelo berbicara justru tentang prinsip-prinsip umum dan tentang tugas-tugas umum seluruh Partai. Tak diragukan lagi bahwa dalam praktek terjadi hal-hal dimana politik betul-betul harus mengikuti ekonomi, tetapi hanyalah kaum ekonomis yang dapat berbicara tentang hal itu dalam sebuah resolusi yang diperuntukan seluruh Rusia. Memang juga terjadi hal-hal dimana dapat dilakukan agitasi politik “sejak awal mula” “semata-mata atas dasar ekonomi”: namun Raboceye Dyelo akhirnya sampai pada fikiran bahwa “hal ini tidak perlu sama sekali” (dua Kongres, hal.11). dalam bab yang akan datang, akan kami tunjukkan bahwa taktik para “politikus” dan kaum revolusioner bukan hanya tidak mengabaikan tugas-tugas trade-unionis dari sosial demokrasi, tetapi bahawa, sebaliknya, hanya taktik itu sajalah yang dapat menjamin penunaian tugas-tugas ini secara konsekwen.

61 Zemski Nacalnik— penguasa desa di Rusia tsar yang diangkat dari bangsawan tuan tanah dan yang menjalankan wewenang administrasi serta kehakiman.

Perserikatan memberikan arti penting kepada kenyataan bahwa ia mengganti kata-kata “cara yang terbaik” yang termuat dalam resolusi yang bersangkutan dari Kongres ke-IV Perserikatan Buruh Yahudi (Bund)62 dengan kata-kata “yang paling luas dapat digunakan”. Kami, sungguh merasa sulit untuk mengatakan mana yang lebih baik dari resolusi-resolusi ini; menurut pendapat kami kedua-duanya “lebih jelek”. Baik Perserikatan maupun Bund disini salah (sebagian, barangkali, bahkan dengan tak sadar, karena pengaruh tradisi) memberikan interpretasi ekonomis, interpretasi trade unionis kepada politik. Pada hakekatnya soalnya sama sekali tidak berubah apakah hal ini dilakukan dengan menggunakan kata-kata “yang terbaik” atau kata-kata “yang paling luas dapat digunakan”. Andaikata Perserikatan mengatakan bahwa “agitasi politik atas dasar ekonomi” adalah cara yang paling luas digunakan (dan bukan “yang dapat digunakan”) maka ia benar mengenai suatu periode tertentu dalam perkembangan gerakan sosial demokratis kita. Ia akan benar mengenai kaum ekonomis dan mengenai banyak (jika bukan mayoritas) pekerja praktis pada tahun-tahun 1898-1901, karena pekerja praktis ekonomis ini menggunakan agitasi politik (karena mereka pada umumnya menggunakannya!) hampir semata-mata atas dasar ekonomi. Agitasi politik yang demikian itu diakui dan, sebagaimana telah kita lihat, bahkan dianjurkan oleh Rabocaya Misl dan Grup Pembebasan Diri ! Raboceye Dyelo seharusnya dengan tegas menghukum kenyataan bahwa pekerjaan agitasi ekonomi yang berguna dibarengi dengan pembatasan perjuangan politik yang merugikan, tetapi bukannya berbuat demikian ia bahkan menyatakan cara yang paling luas digunakan (oleh kaum ekonomis) sebagai yang paling luas dapat digunakan! Tidaklah mengeherankan kalau ketika kami menamakan orang-orang ini kaum ekonomis, mereka tak dapat berbuat lain kecuali memuntahkan segala macam cacian pada kita, dan menamakan kami “penipu”, “pengacau”, “duta-duta paus”, dan “pemfitnah”,* mengadukan kepada seluruh dunia bahwa kami sangat menyakiti hati mereka dan menyatakan hampir dengan bersumpah: “sekarang sama sekali tak ada organisasi sosial-demokrat satupun yang melakukan kesalahan ekonomisme” **. Ah, politikus-politikus busuk dan mefitnah ini! Tidakkah mereka dengan sengaja mengarang-ngarang seluruh ekonomisme itu, hanya karena rasa benci mereka terhadap manusia semata-mata, untuk menyakiti hati orang secara mendalam ? Arti kongkrit real apakah yang diberikan oleh Martinov kepada kata-katanya tentang pengajuan tugas sosial-demokrasi “memberikan watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri”? Perjuangan ekonomi adalah perjuangan kolektif kaum buruh melawan majikan-majikan untuk syarat-syarat yang lebih baik dalam penjualan tenaga kerja, untuk syarat-syarat hidup dan syarat-syarat kerja kaum buruh yang lebih baik. Perjuangan ini mestilah perjuangan lapangan pekerjaan, karena syarat-syarat kerja sangat beraneka ragam di berbagai lapangan pekerjaan, dan oleh karenanya, perjuangan untuk perbaikan syarat-syarat ini tidak dapat tidak dilakukan menurut lapangan pekerjaan (serikat-serikat buruh negeri-negeri barat, gabungan serikat buruh sementara dan surat-surat sebaran di Rusia, dan sebagainya). Oleh karena itu memberi “watak-watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri” berarti berusaha untuk dipenuhinya tuntutan-tuntutan lapangan pekerjaan ini, perbaikan syarat-syarat kerja di lapangan pekerjaan dengan jalan “tindakan-tindakan legislatif dan administrasi” (seperti dinyatakan Martinov pada halaman berikutnya dalam artikel hal 43). Ini adalah justru yang dilakukan dan selalu dilakukan oleh semua serikat buruhnya kaum buruh. Bacalah tulisan-tulisan T. dan Ny. Webb63, sarjana-sarjana berkaliber berat (dan oportunis yang “tidak tanggung-tanggung), maka orang akan melihat bahwa serikat-serikat buruh Inggris sejak lama sekali telah menyadari dan melaksanakan tugas “memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri”, sejak lama sekali berjuang untuk kebebasan mogok, untuk penghapusan segala macam rintangan hukum terhadap gerakan koperasi dan serikat buruh, untuk undang-undang yang melindungi kaum wanita dan anak-anak, untuk perbaikan syarat-syarat kerja dengan jalan perundang-undangan kesehatan dan pabrik dan lain-lain. Jadi, dibelakang kata-kata muluk tentang “memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri” yang kedengarannya “bukan main” mendalam dan revolusionernya, pada hakekatnya tersembunyi hasrat tradisional untuk memerosotkan politik sosial-demokratis ke tingkat politik trade-unionis! Dengan dalih mengkoreksi keberat-sebelahan Iskra yang, katanya, menempatkan “perevolusioneran dogma lebih tinggi dari pada perevolusioneran kehidupan”*, kepada kita disajikan perjuangan untuk reform ekonomi sebagai sesuatu yang baru. Sebenarnya, kata-kata “memberi watak politi kepada perjuang ekonomi itusendiri” berarti tidak lebih daripada perjuangan untuk reform-reform ekonomi. Dan Martinov sendiri semestinya sampai pada kesimpulan yang sederhana ini seandainya dia merenungkan arti kata-kata dia sendiri. “Partai kita”, katanya, seraya menghadapkan meriam-meriamnya yang terberat pada Iskra, ‘bisa dan seharusnya mengajukan tuntutan-tuntutan kongkrit kepada pemerintah supaya melaksanakan tindakan-tindakan legislatif dan administrasi guna menentang penghisapan ekonomi, pengangguran, kelaparan, dan sebagainya” (Raboceye Dyelo No. 10 hal. 42-43). Tuntutan-tuntutan kongkrit untuk tindakan-tindakan --tidakkah ini berarti tuntutan-tuntutan untuk reform-reform sosial? Dan sekali lagi kita bertanya kepada pembaca yang tidak berat sebelah, apakah kita memfitnah orang-orang Raboceye Dyelo-is (maafkan saya atas perkataan yang janggal ini!), dengan menamakan mereka kaum Bernsteinis yang bersembunyi ketika mereka mengajukan tesis tentang perlunya berjuang untuk reform-reform ekonomi sebagai perbedaan pendapat mereka dengan Iskra? Sosial-demokrasi revolusioner dulu dan sekrangpun selalu memasukkan perjuangan untuk reform-reform sebagai bagian aktivitas-aktivitasnya. Tetapi ia menggunakan agitasi “ekonomi” untuk maksud mengajukan kepada pemerintah bukan hanya tuntutan-tuntutan untuk segala macam tindakan, melainkan juga (dan pertama-tama) tuntutan supaya pemerintah tidak lagi menjadi pemerintah otokratis. Kecuali itu sosial-demokrasi revolusioner menganggap sebagai kewajibannya mengajukan tuntutan ini kepada pemerintah, bukan atas dasar perjuangan ekonomi saja, melainkan juga atas dasar segala manifestasi kehidupan sosial dan politik pada umumnya. Pendek kata, sosial-demokrasi revolusioner menempatkan perjuangan untuk kemerdekaan dan untuk sosialisme, sebagimana bagian tunduk kepada keseluruhan. Akan tetapi Martinov menghidupkan kembali teori tingkat-tingkat dalam bentuk lain, dan berusaha keras untuk menetapakan bagi perjuangan politik suatu jalan perkembangan yang, boleh dikatakan, bersifat ekonomi semata-mata. Dengan tampil kedepan pada saat pasang revolusioner dengan “tugas” yang katanya khusus bagi perjuangan untuk reform, Martinov menyeret Partai mundur dan menguntungkan baik oportunisme “ekonomis” maupun oportunisme liberal. Seterusnya, sementara dengan malu-malu menyembunyikan perjuangan untuk reform-reform dibelakang tesis yang muluk-muluk tentang “memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri”, Martinov mengajukan, sebagai sesuatu yang khusus, reform-reform ekonomi semata-mata (dan bahkan reform-reform pabrik semata-mata). Mengapa dia berbuat demikian, tak tahulah kami. Barangkali karena keteledoran? Tetapi jika yang dia maksudkan itu bukan hanya reform-reform “pabrik” maka seluruh tesisnya, yang baru saja kami kutip itu, kehilangan arti sama sekali. Barangkali karena dia menganggap bisa dan mungkin bahwa pemerintah memberi “konsesi-konsesi” hanya dibidang ekonomi saja?** Jika demikian, maka ini adalah kekeliruan yang aneh. Konsesi-konsesi juga mungkin dan diberikan dibidang perundang-undangan mengenai pencambukan, surat pas, uang tebusan, sekte-sekte agama, sensor, dan sebaginya dan sebagainya . Konsesi “ekonomi” (atau konsesi palsu) itu bagi pemerintah tentulah yang paling murah dan paling menguntungkan, karena dengan jalan ini pemerintah mengharapkan dapat memperoleh kepercayaan masa buruh. Tetapi justru karena inilah kita kaum sosial demokrat dalam keadaan apapun juga atau bagaimanapun juga mutlak tidak boleh memberi tempat bagi pendapat (atau bagi salah pengertian) bahwa bagi kita reform-reform ekonomi lebih berharga, bahwa kita menganggap reform-reform ekonomi itu sebagai yang teristimewa pentingnya, dan lain-lain. “Tuntutan-tuntutan demikian itu”, kata Martinov mengenai tuntutan-tuntutan kongkrit yang diajukan di atas untuk tindakan legislatif dan administrasi, “ tidak akan merupakan omong kosong belaka karena, dengan menjanjikan hasil-hasil tertentu yang nyata berwujud, tuntuntutan-tuntutan itu bisa disokong aktif oleh massa buruh”….. Kami bukanlah kaum ekonomis, oh bukan! Kami hanya menyembah secara membudak kepada “dapat dirasakannya” hasil-hasil yang konkrit, seperti halnya orang-orang sebangsa Bernstein, Prokopowic, Struwe, R. M. dan tutti quanti!* Kami hanya ingin menjelaskan (bersama-sama dengan Narcissus Tuporilov) bahwa segala yang tidak “menjanjikan hasil-hasil yang nyata berwujud” adalah “omong-kosong” belaka! Kami hanya mencoba menyatakan pendapat seolah-olah massa buruh tak sanggup (dan belum membuktikan kesanggupan mereka, kendatipun ada orang melemparkan filistinismenya sendiri kepada massa buruh) menyokong dengan aktif setiap protes menentang otokrasi, bahkan protes yang sama sekali tidak menjanjikan kepada massa buruh hasil-hasil apa pun yang nyata berwujud! Ambillah sebagai contoh “tindakan-tindakan” untuk melawan pengangguran dan bahaya kelaparan yang diajukan oleh Martinov sendiri. Selagi Raboceye Dyelo sibuk, ditilik dari apa yang telah dijanjikannya, menyusun dan menggarap program “tuntutan-tuntutan konkrit” (dalam bentuk rancangan undang-undang?) “untuk tindakan-tindakan legislatif dan administrasi” yang “menjanjikan hasil-hasil yang nyata berwujud”, Iskra, yang “selalu menempatkan perevolusioneran dogma lebih tinggi daripada perevolusioneran kehidupan”, mencoba menerangkan hubungan yang tak terpisahkan antara pengangguran dengan seluruh sistem kapitalis; memperingatkan bahwa “bahaya kelaparan sedang mendatang”; menelanjangi “perjuangan” polisi “melawan kaum lapar” dan “peraturan-peraturan hukuman darurat” yang melampaui batas; dan Zarya menerbitkan cetak ulang khusus, dalam bentuk brosur agitasi, sebagian dari “Tinjauan Dalam Negeri” yang mengenai bahaya kelaparan*. Tetapi ya Tuhanku! Alangkah “berat sebelahnya” kaum ortodoks picik yang tak dapat diperbaiki lagi ini, kaum dogmatis yang tuli terhadap panggilan “hidup itu sendiri”. Tidak satupun dari artikel-artikel mereka memuat—ah terlalu!—satu pun, bayangkanlah, sungguh-sungguh satu pun “tuntutan konkrit”, “yang menjanjikan hasil-hasil yang nyata berwujud”! Kaum dogmatis yang malang! Mereka seharusnya dikirim kepada Kricevski dan Martinov untuk diberi pelajaran bahwa taktik adalah proses pertumbuhan, proses dari apa yang tumbuh, dll, dan bahwa perjuangan ekonomi itu sendiri harus diberi watak politik! “Disamping arti revolusionernya yang langsung, perjuangan ekonomi kaum buruh melawan kaum majikan dan pemerintah” (“perjuangan ekonomi melawan pemerintah”!!) “juga mempunyai arti demikian: ia senantiasa menjadikan kaum buruh sadar bahwa mereka tak mempunyai hak-hak politik” (Martinov, hlm. 44). Kami kutip bagian ini bukan untuk mengulangi keseratus dan keseribu kalinya apa yang sudah disebutkan di atas, melainkan terutama untuk menyatakan terima kasih kepada Martinov atas rumusan baru yang sangat bagus ini: “perjuangan ekonomi kaum buruh melawan kaum majikan dan pemerintah”. Alangkah indahnya! Sungguh suatu bakat yang tak tertirukan, sungguh mahir dalam meniadakan semua perbedaan pendapat yang bersifat sebagian-sebagian dan nuansa perbedaan di antara kaum ekonomis, dalil yang singkat dan jelas ini mengungkapkan seluruh hakekat ekonomisme: dari menyerukan kepada kaum buruh supaya terjun “ke dalam perjuangan politik yang mereka lakukan untuk kepentingan umum, dengan maksud memperbaiki keadaan seluruh kaum buruh”*, terus melalui teori tingkat-tingkat dan berakhir dengan resolusi Kongres tentang “yang paling luas dapat digunakan”, dsb. “Perjuangan ekonomi melawan pemerintah” adalah justru politik trade-unionis, yang jauh, jauh sekali dari politik sosial-demokratis. * 62 Bund—Serikat Buruh Umum Yahudi Lithuania, Polandia dan Rusia. Didirikan dalam tahun 1897, mempersatukan terutama tukang-tukang kerajinan-tangan Yahudi di daerah-daerah barat Rusia. Bund masuk PBSDR dalam Kongres ke I PBSDR pada bulan Maret 1898. dalam Kongres ke II PBSDR utusan-utusan Bund menuntut supaya organisasi mereka diakui sebagai satu-satunya wakil proletariat Yahudi. Kongres menolak nasionalisme di bidang organisasi ini, sesudah mana Bund keluar dari Partai. Dalam tahun 1906, sesudah Kongres ke IV (“Persatuan”), Bund masuk lagi menjadi anggota PBSDR. Kaum Bundis senantiasa mendukung kaum Menshevik dan melakukan perjuangan yang terus-menerus menentang kaum Bolshevik. Walaupun secara formal tergabung dalam PBSDR, namun Bund merupakan suatu organisasi yang bersifat nasionalis-borjuis. Bertentangan dengan tuntutan program kaum Bolshevik akan hak bangsa menentukan nasib sendiri, Bund mengajukan tuntutan otonomi kebudayaan-nasional. Selama Perang Dunia I 1914-1918 kaum Bundis berdiri di pihak sosial-sovinisme; pada tahun 1917 Bund mendukung Pemerintah Sementara kontra-revolusioner, berjuang di pihak musuh-musuh Revolusi Sosialis Oktober.selama Perang Dalam Negeri kaum Bundis yang terkemuka menyatukan diri dengan kekuatan kontra-revolusi. Bersamaan dengan itu di kalangan anggota biasa Bund mulai terjadi perubahan yang menuntungkan kerjasama dengan kekuasaan Soviet. Baru ketika kemenangan diktatur proletariat atas kontra-revolusi dalam negeri dan kaum intervensionis asing nampak jelas, Bund menyatakan bahwa ia melepaskan perjuangannya menentang kekuasaan Sovyet. Pada bulan Maret 1921 Bund membubarkan diri, sebagian anggotanya masuk PKR (B) dengan cara biasa. Di antara orang-orang Bundis yang masuk Partai terdapat orang-orang bermuka dua yang masuk Partai dengan tujuan menggerogoti Partai dari dalam; sesudah itu mereka diblejeti sebagai musuh rakyat.

Readmore »»

Mata Hati Manifesto Fotografi Jurnalistik Indonesia

Sajian jurnalistik telah memasuki zaman multimedia. Warta mengepung manusia modern dari berbagai wilayah waktu dan penjuru ruang. Pendengaran tak lagi sanggup menghindar dari kekuatan jelajah gelombang berita radio yang mampu menembus ruang. Nyaris pada setiap waktu, tayangan peristiwa juga beruntun menghadang kala kita menatap layar kaca.

Lalu, di mana lagi sesungguhnya posisi media cetak harian, khususnya foto jurnalistik, jika fungsinya hanya menyampaikan berita? Jawabannya muncul awal pekan ini saat Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama di Bentara Budaya Jakarta membuka pameran dan peluncuran buku koleksi foto terbaik Harian Kompas (1965-2007) yang diberi tajuk Mata Hati.

Sebuah hasil kerja tim foto Kompas untuk memperingati ulang tahun koran nasional yang terbit sejak 28 Juni 1965 itu. Sebentuk persembahan istimewa yang sekaligus menghapus dahaga kita atas kelangkaan pustaka dalam belantara fotografi jurnalistik Indonesia selama ini. Keberadaan buku ini seperti hendak menyapa publik seraya mengungkapkan perwujudan hasil kerja para pewarta foto sebagai saksi mata bagi peradaban Indonesia dengan sebentuk gaya dan selera.

Dengan format sama sisi (30 cm x 30 cm), Mata Hati hadir dengan bobot seberat 2,5 kilogram. Menampilkan sekitar 256 imaji foto hitam-putih dan warna karya 44 wartawan dan pewarta foto Kompas. Disajikan dalam sembilan segmen yang sekaligus membeberkan kepada kita kekuatan himpunan imaji fotografi jurnalistik dalam segala dimensi kemanusiaannya, langsung dari medan kejadian.

Segmen pertama bertemakan Dunia Anak (22 foto), selanjutnya Kejahatan Terorisme (18 foto), Bencana Alam (juga bencana buatan manusia, 30 foto), Api dan Kebakaran (18 foto), Arena Olahraga (25 foto), Reformasi dan Kerusuhan Politik (46 foto), Jeruji dan Kebebasan (16 foto), Pluralisme (23 foto), dan Keseharian (58 foto).

Dengan konsep pembabakan seperti di atas, perwajahan buku dapat tampil lebih bebas dan fleksibel. Mengatur timbre materi foto agar dapat tertata dengan artistik, khususnya dalam menghubungkan satu nuansa foto dengan nada gambar lainnya.Sampai seluruh koleksi foto yang terhimpun dalam 300 halaman itu membentuk ritme yang merdu iramanya. Suatu oase yang ideal bagi materi fotografi jurnalistik yang kreatif.

Buku ini tampaknya memang dipersiapkan untuk memberi ruang sebebas-bebasnya pada koleksi foto yang disunting pewarta foto senior Julian Sihombing. Ia setengah tahun belakangan ini berkonsentrasi dengan tekun dan memilah secara bertahap seluruh koleksi dokumentasi foto Kompas, kurun 1965-2007 yang konon jumlahnya mencapai ratusan ribu frame foto.

Untuk kepentingan penerbitan buku, tampaknya penyunting foto mencoba menyusun pilihan foto utama pada gambar yang beraspek features dan bernuansa subyektif. Bercorak agak pictorial ketimbang yang murni foto jurnalistik spot yang nuansanya kerap terlalu keras.

Format buku yang bujur sangkar tak sekadar memberi kesan netral, tetapi juga memudahkan kerja pengarah visual (Trinid Kalangi) mengatur rambu-rambu komposisi display seluruh foto terpilih.

Teks pengantar oleh Sindhunata yang padat pada setiap segmen serta penulisan judul-judul pendek di bawah setiap foto (teks foto lengkap dapat dibaca pada thumbnail yang terletak di bagian akhir buku) memberi fokus istimewa kepada fotografi, sekaligus meluaskan pentas bagi penampilan fotografi yang dalam buku ini kebanyakan melibatkan opini visual para fotografernya.

Simak karya sarkastis Agus Susanto, Planet Banjir (2002, halaman 18), yang diabadikannya di kawasan Dukuh Atas, menampilkan seorang bocah yang bermain di genangan air dengan latar belakang mural gedung-gedung pencakar langit yang juga terendam banjir. Sebentuk imaji urban yang simbolis dan sarat dengan pesan lingkungan yang kuat.

Penderitaan menjadi representasi dari pemerintahan Soeharto yang represif. Tengok karya Kartono Ryadi, Suka Cita Bung Tomo (April 1979, hal 172-173) yang menampilkan foto rangkaian (sequence) dari pembebasan pahlawan Angkatan 45 tersebut di Kantor Kejaksaan Agung Jakarta. Juga simak bagaimana karakter dan karisma sastrawan Pramoedya Ananta Toer di penjara Pulau Buru (1977, hal 169), yang tertangkap dalam lensa Sindhunata.

Pendekatan portraiture digunakan Eddy Hasby (Maret 1994, hal 180) ketika mengabadikan Xanana Gusmao di depan tembok penjara Cipinang yang berilustrasikan burung-burung terbang bebas, tempat dia ditahan dengan tuduhan menggerakkan massa dan memiliki senjata api secara gelap. Kemampuan membaca lingkungan saat membuat foto potret di lokasi menjadi kapabilitas ekstra seorang pewarta foto dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Ada juga foto Julian Sihombing (Juni 1994, hal 177), yang merekam detik-detik menegangkan bagi kebebasan pers Indonesia. Visualisasinya memperlihatkan Pemimpin Umum Majalah Tempo, Fikri Jufri, dengan bayangan tubuh yang nyaris tumbang di tembok kanan, melihat arloji di lengan kirinya. Menanti di depan layar kaca, detik-detik pengumuman pembredelan majalah Tempo, Detik, dan Editor.

Simak pula ratapan seorang ibu yang rumah dan harta bendanya terbakar habis di Tanah Abang (Yuniadhi Agung, Juli 2004, hal 101), atau para veteran eks Tentara Pelajar yang menghadiri peringatan Serangan Umum (Priyombodo, Agustus 2005, hal 159), maestro seni lukis Indonesia Basuki Abdullah, Affandi dan Sudjojono santai di Pasar Seni (Kartono Ryadi, Oktober 1985, hal 201).

Tema keseharian terlihat dari karya Ahmad Arif (Maret 2005, hal 267) yang memotret puluhan pelajar berangkat ke sekolah menumpang motor tempel di Pangururan, Danau Toba. Atau dua bocah tunawisma (Kartono Ryadi, 1972, hal 224), solidaritas Munir menagih janji Presiden (Agus Susanto, Juni 2005, hal 228), Camdessus-Soeharto (JB Suratno, Januari 1998, hal 275), Bentrokan massa PRD di KPU (Johny TG, Juli 1999, hal 137).

Terkapar adalah judul foto Julian Sihombing (Mei 1998, hal 139) yang dicuplik dari peristiwa Trisakti. Sebentuk foto yang juga menjadi ikon visual Kompas yang imajinya berpengaruh terhadap eskalasi gerakan mahasiswa menentang pemerintahan Soeharto pascatragedi Trisakti.

Begitu juga dengan foto Evakuasi Warga Lapindo (Agustus 2006, hal 70) karya Raditya Helabumi yang dramatis dan menyentuh rasa keadilan serta kemanusiaan.

Imaji dramatis tentu kerap datang dari medan olahraga. Mendiang Kartono Ryadi (Agustus 1992, hal 119) membuat salah satu ikon foto jurnalistik yang begitu familiar dengan kita. Saat dia mengabadikan wajah cool atlet bulu tangkis Susi Susanti yang tak mampu menahan air mata ketika lagu Indonesia Raya berkumandang dalam Olimpiade Barcelona, mengiringi upacara penyerahan medali emas pertama sepanjang sejarah Indonesia di ajang Olimpiade. Suatu pemandangan yang mengharukan sekaligus menyindir sikap pemerintah yang kerap diskriminatif terhadap keberadaan WNI keturunan di Indonesia.

Kartono dalam wawancara terakhir sebelum tutup usia pada 2007 mengakui bahwa foto air mata Susi adalah imaji fotografi yang paling berarti baginya sepanjang karier dia sebagai pewarta foto, bahkan jika dibandingkan dengan foto-fotonya yang pernah mendapatkan sejumlah penghargaan, termasuk dari World Press Photo.

Secara keseluruhan, meskipun terdapat secuil kekurangan dalam masalah teknis, seperti kesalahan ketik pada bagian teks pengantar, adjusting warna pada beberapa foto, dan continuity font teks di halaman-halaman akhir, penggabungan close-up mata lelaki Aileu di atas judul besar pada sampul buku memberi kesan agak verbal, yang barangkali membatasi imajinasi dan keluasan cakrawala persepsi Mata Hati.

Mata Hati karena itu dapat dibaca tidak semata sebagai manifesto para insan foto jurnalistik Kompas, tetapi juga bagi fotografi jurnalistik kita di Indonesia. Yang mencoba mendudukkan posisi foto jurnalistik sebagai suatu elemen dari sistem yang utuh dalam mata rantai prosesi jurnalistik. Yang mengikat teks dan foto. Sastra dan citra, dalam siklus yang padu. Yang tak pernah terkotak-kotak. Yang tak pernah terputuskan.

Readmore »»

Tingkatan Isu (News Value)

Tak jauh beda dengan berita tulisan, foto berita juga memiliki muatan isu yang berkembang di masyarakat. Dan setiap berita mengandung tingkatan atau nilai berita yang dapat mencuat menjadi polemik dan konsumsi di lingkungannya masing-masing.
Tingkatan isu ini juga sudah menjadi sebuah pakem dalam dunia foto jurnalistik. Isu yang beredar meliputi pada tingkatan, lokal, regional, nasional dan internasional.

Lokal
Pada kapitas pemberitaan yang bersifat lingkungan yang sempit, isu ini biasanya menjadi santapan koran-koran daerah. Beritanya, sebatas antar kampung, desa dan sebagainya, sebagai contoh sebuah berita yang memiliki hubungan emosional yang sempit, mungkin skandal pemilihan ketua RT atau RW. Namun kadang kala isu dapat berkembang ketingkatan regional maupun nasional bila keterkaitan unsur berita lokal dengan wilayah pusat.

Regional
Konsumsi pemberitaan pada setingkat lebih tinggi dari local, biasa jadi isu-isu yang mengalir dalam masyarakat tumbuh berkembang ketingkat regional atau provinsi. Seperti skandal yang melanda pemilihan camat atau bupati. Perkembangan isu juga dapat mencuat ketingkat nasional apabila ada intraksi antara daerah dan pusat.

Nasional
Pemberitaan dalam kadar tingkat nasional biasanya banyak disajikan oleh koran-koran yang konsumsinya seluruh Indonesia. Isu yang beredar mempengaruhi dan dapat merubah masyarakat dalam tatanan nasional. Isu korupsi pejabat tinggi, Soeharto yang sakit-sakitan, bencana alam yang merenggut ratusan nyawa korban. Berita tingkat nasional ini juga dapat mencuat ke level Internasional, seperti krisis ekonomi menjadi isu ditingkat investor asean dan dunia.

Pemakaman Mantan Presiden Soeharto
Upacara militer mengiringi proses pemakaman mantan Presiden Soeharto di Astana Giribangun, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (28/1). Kompas/Agus Susanto

Internasional
Yang mempengaruhi perkembangan isu dan gejolak seluruh dunia, seperti rontoknya gedung WTC di New York bulan September 2001 lalu. Efeknya dirasakan langsung ke seluruh dunia, mulai dari penyerangan Amerika ke Afganistan hingga laju pekembangan ekonomi ke pelosok dunia.

Dalam dunia jurnalistik, tingkatan muatan berita yang ada di atas tersebut dapat dilihat pada halaman-halaman koran, baik koran daerah maupun nasional.

Berita-berita pokok yang biasanya menjadi isu internasional dan nasional selalu berada pada halaman utama atau cover. Kemudian disusul dengan halaman dalam yang menyajikan berita-berita regional, local. Berita yang memiliki unsur isu ditingkat international, nasional, regional dan lokal tersebut dapat berupa berita politik, ekonomi, olahraga dan sebagainya yang dapat mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Readmore »»

Teks Foto dalam Foto Jurnalistik

Foto jurnalistik merupakan salah satu produk jurnalistik yang dihasilkan oleh wartawan selain tulisan yang berbau berita (straight news/ hard news, berita bertafsir, berita berkedalaman/deep reports) maupun non berita (artikel, feature, tajuk rencana, pojok, karikatur dan surat pembaca). Dan sebagai produk dalam pemberitaan, tentunya foto jurnalistik memiliki peran penting dalam media cetak maupun cyber media (internet). Jadi karya foto jurnalistik sudah mendapat pengakuan sebagai karya jurnalistik dalam bentuk visual untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.

Ada beberapa pengertian mengenai foto jurnalistik sebagai ilmu maupun cabang dari jurnalistik itu sendiri.

Menurut Oscar Motuloh dalam makalahnya “Suatu Pendekatan Visual Dengan Suara Hati”, foto jurnalistik adalah suatu medium sajian untuk menyampaikan beragam bukti visual atas suatu peristiwa pada masyarakat seluas-luasnya, bahkan hingga kerak di balik peristiwa tersebut, tentu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Melihat foto jurnalistik sebagai suatu kajian artinya memasuki matra yang memiliki tradisi kuat tetang proses “sesuatu” yang dikomunikasikan – dalam hal ini yang bernilai berita – kepada orang lain atau khalayak lain dalam masyarakat.

Wilson Hick redaktur senior majalah ‘Life’ (1937-1950) dalam buku World and Pictures (new York, Harper and Brothers, Arno Press 1952, 1972), foto jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan.

Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka “Magnum” yuang terkenal dengan teori ‘Decisive Moment’ -- menjabarkan, “foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersembul mengungkap sebuah cerita.”

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa foto jurnalistik merupakan kombinasi antara bentuk visual (foto) dengan kata-kata (yang memngungkapkan sebuah cerita dari sebuah peristiwa dalam bentuk kerangka 5W+1H) dan kemudian disebarluaskan/dipublikasikan kepada masyarakat. Sehingga foto jurnalistik menjadi sebuah berita ataupun informasi yang dibutuhkan masyarakat, baik local, regional, nasional maupun pada tingkat internasional.

Suatu foto/gambar sama nilainya dengan seribu kata.

Akan tetapi, hal ini baru benar jika disertai dengan teks keterangan foto yang baik.

Judul dan keterangan foto termasuk paling banyak dibaca pembaca koran. Dari keseluruhan berita yang dimuat, hanya judul berita dan berita utama yang mengungguli judul dan keterangan foto. Karena itu penulisan judul dan keterangan foto harus mengikuti kaidah-kaidah seperti: akurat, jelas, lengkap, dan cara penulisan yang baik. Seperti juga penyajian berita, judul atau keterangan foto harus mudah dibaca dan bersifat informatif.

Karena itu perlu adanya pemahaman untuk lebih serius dalam membuat keterangan gambar.

Sebuah foto jurnalistik yang baik tidak hanya sebatas pembahasan visual atau foto belaka, teks foto yang kuat berdasarkan fakta dan data akan memberikan nilai lebih secara lengkap sebuah informasi yang akan diberikan kepada pembaca.

Foto jurnalistik terdiri dari visual (foto) berkoloborasi dengan teks yang terdiri dari Headline (judul foto), Caption (teks yang menerangkan isi foto berkaidah 5 W + 1 H), Byline (pemotret) dan Credit (pemegang hak siar atau penerbitan yang menyiarkan foto jurnalistik tersebut). Elemen penting ini terlihat pada foto-foto jurnalistik di media cetak, yang merupakan dasar dari pemaknaan foto jurnalistik secara umum.

Contoh foto yang sudah dilengkapi metadata

Lebih dari itu foto jurnalistik saat ini terutama berkiblat pada digital photojournalism sudah wajib hukumnya untuk mengisi metadata IPTC dan EXIF foto agar dengan mudah meintragrasi dengan sistem online maupun workflow foto digital yang sudah menjadi kesepakatan antara produsen kamera, pengembang software foto digital, wartawan foto, agensi foto dan dunia arsip foto di dunia dengan dikeluarkannya Photo Metadata White Paper 2007 - Document Revision 11 - (www.phmdc.org) di Malta. Pembahasan mengenal metadata foto akan dijelaskan pada kesempatan lainnya dalam manifesto metadata foto jurnalistik.

Pengertian dari elemen dasar foto jurnalistik yang terpapar diatas:

- Headline
Suatu judul pendek di atas kata-kata yang menerangkan isi foto. Judul foto sebaiknya tidak lebih dari tiga kata. Di dalam flow metadata foto, kalimat yang terlalu panjang dapat menyebabkan, tidak terbacanya kalimat tersebut dan lebih para membuat sistem menjadi error.

- Caption
Kalimat atau kata-kata yang menjelaskan isi atau keterangan yang ada di dalam foto tersebut berkaidah 5 W + 1 H. Tidak semua elemen di dalam visual foto dapat menjelaskan secara informatif, seperti lokasi, kapan foto dibuat, siapa di dalam foto tersebut. Maka penjelasan secara rinci dan detil, ditulis dalam keterangan foto.

- Byline
Ini berkaitan dengan copyright, hak cipta atau pencipta/ pembuat dari foto tersebut. Maka di dalam sebuah media cetak terlihat atau terbaca di bawa foto, Kompas/ Agus Susanto atau Adri Irianto (Tempo).

Nama-nama wartawan foto atau pencipta wajib untuk dituliskan sebagai suatu penghargaan kepada penciptanya. Namun sering juga permintaan dari pencipta untuk tidak disebut atau ditulis untuk melindungi pencipta.

- Credit
Pemegang hak siar atau penerbitan yang menyiarkan foto jurnalistik tersebut. Hak siar merupakan lembaga yang bertanggungjawab untuk menyiarkan foto berita tersebut ke publik.

Aturan semacam ini masih sering rancu dan sering disalah artikan. Aturan di dalam setiap media atau kebijakan untuk tidak menulis credit tergantung pada media itu sendiri. Ada yang tidak menuliskannya dengan kebijakan foto tersebut karya atau pemilik foto bukan staf dari media tersebut. Namun foto-foto yang berasal dari sebuah sumber berita baik dari online, agensi foto, majalah, foto-foto pemberian secara gratis dan nara sumber lainnya, secara etika sebaiknya memang harus ditulis lengkap.

Elemen keterangan foto terpapar di bawah ini:

Rezeki Poster Presiden (headline)
Tarbini (66) –who-, pedagang poster presiden RI dan pahlawan, sedang membersihkan poster dagangannya yang dijual Rp 15.000 hingga Rp 25.000 –what- Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, -where - Rabu (6/6) –when-. Pria asal Garut ini telah memperdagangkan poster sejak 40 tahun lalu saat Bung Karno masih menjabat. Menurut ayah tujuh anak dan kakek dari dua cucu ini, pembeli poster Bung Karno masih mendominasi hingga saat ini –why-. (caption)

Kompas/Riza Fathoni (RZF) (credit/byline)

Tidak setiap foto ada judulnya. Foto-foto bersifat ilustrasi untuk mendukung atau memperkuat nilai sebuah tulisan/ artikel tidak membutuhkan headline atau judul foto, juga foto-foto yang bersifat portraits (headshot) hanya ditulis nama tokoh.

Contoh text editor untuk pengisian metadata foto (IPTC)

Penulisan keterangan foto harus memperhatikan:

1. Kebiasaan Pembaca

Ketika menulis keterangan foto dengan atau tanpa judul, sangat baik bila dibuat dengan memahami karakter pembaca:

Pertama, saat pembaca melihat suatu foto maka pikirannya menangkap semua atau sebagian besar informasi visual (gambar) yang ditampilkan. Namun, sering juga pembaca hanya melihat sepintas, sehingga ada hal-hal kecil terlewatkan.

Kedua, begitu melihat foto yang menarik perhatiannya, umumnya pembaca melihat ke bawah foto untuk mencari informasi yang menerangkan foto itu. ltu sebabnya judul foto dan keterangan foto harus berkualitas.

Ketiga, biasanya setelah mencerna informasi dari judul dan keterangan foto. pembaca kembali melihat foto. Jadi teks yang dibuat harus memperkaya apa yang sudah ditampilkan visual (gambar) dan menjelaskan hal-hal yang perlu dijelaskan.

2. Kebutuhan Informasi

Kebutuhan informasi dari foto bisa berbeda-beda. Umumnya pembaca ingin tahu tentang:

• Siapakah dia? (Pada banyak kasus perlu mengidentifikasi orang dari kiri ke kanan,kecuali aksi pada foto itu memerlukan keterangan lain)
• Mengapa foto itu dimuat yang dimuat?
• Apa yang tengah terjadi?
• Kapan dan di mana terjadinya?
• Mengapa tokoh/subyek dalam foto teriihat demikian?
• Bagaimana terjadinya?

Penting: teks keterangan foto harus menjelaskan apa yang tampak di foto (gambar). sehingga pembaca puas dan memahami maksud foto itu. Mereka tidak ingin (dan sebaiknya tidak) mendapat keterangan lagi atas apa yang sudah tampak jelas dalam foto. Keterangan foto sebaiknya memberi penjelasan tambahan yang tidak tampak dalam foto. Sebagai contoh, suatu foto menggambarkan penjaga gawang yang melompat untuk menangkap bola, tetapi yang tidak kelihatan adalah bagaimana hasilnya. Teks foto harus bisa menjelaskannya.

3. Saran dan syarat:

• Ringkas
• Padat
• Tidak bertele-tele.

Keterangan foto harus ringkas, padat, tetapi tidak seperti telegram. Tidak seperti judul berita yang menggunakan kata sandang dan penghubung, keterangan foto sebaiknya seperti alinea dalam berita. Keterangan foto harus jelas dan langsung ke tujuannya.

Hindari penulis bertele-tele. Jangan mengulang hal-hal yang sudah jelas dalam foto dengan menggunakan ungkapan: seperti yang terlihat, tampak dalam gambar di atas.

Jangan sok tahu

Penulis teks keterangan foto sebaiknya tidak mengasumsikan apa yang sedang dipikirkan seseorang dalam foto itu atau mencoba menginterpretasikan perasaan dari ekspresinya. Sebaiknya berikan saja fakta-fakta dan serahkan kepada pembaca untuk memutuskan sendiri situasi yang ia lihat.

Hindari yang diketahui, jelaskan yang tidak diketahui. Penulis teks keterangan foto harus menghindari penggambaran foto seperti cantik, dramatik, mengerikan, atau mendiskripsikan kejadian yang seharusnya muncul dalam foto tetapi tidak ada. jika kejadian itu tidak terbukti di dalam foto, apa yang Anda ceritakan ke pembaca tetap saja tidak terjadi.

Namun demikian, teks keterangan foto sebaiknya tetap menjelaskan kondisi bagaimana foto itu dibuat, terutama bila ada sesuatu yang tidak biasa menurut penglihatan manusia, adanya efek khusus, misalnya menggunakan inset atau memasang rangkaian foto.

Gambarkan yang terjadi

Penulis teks foto harus yakin bahwa kata-kata yang digunakannya menggambarkan apa yang ada di foto dengan tepat. Bila foto menunjukkan dua orang atau lebih, penulis teks foto harus menghitung dan mengindentifikasi orang tampak dalam foto, kemudian mencocokkan jumlah, jenis kelamin, dan identitas orang tersebut dengan teks keterangan yang dibuat. Perhatian khusus perlu terutama agar orang yang sudah dipotong gambarnya (cropped) dari foto asli tidak lagi disertakan dalam keterangan foto.

Selalu, selalu, dan selalu cek ejaan. Penulis teks foto harus mengecek ejaan nama-nama orang di dalam foto, apalagi bila foto itu berkait dengan suatu tulisan, agar tidak terjadi perbedaan penulisan.

"Wild art"
Foto yang berdiri sendiri dan tidak disertai berita disebut "wild art". Karena itu, teks keterangan foto "wild art" harus menyediakan informasi dasar seperti tulisan atau berita. Standar 5W+1H (who, what, when, where and why) baik untuk menjadi pedoman dalam menulis teks keterangan foto. Bila Anda tidak memiliki semua informasi yang dibutuhkan, angkat telepon dan carilah informasi pelengkapnya. Jangan mencoba menulis teks foto tanpa fakta-fakta yang dibutuhkan. Kadang "wild art" dipasang di halaman depan untuk "menggoda" pembaca agar mau membaca cerita di halaman dalam. Akan tetapi, tidak sama seperti televisi, jangan menggoda pembaca melalui teks foto. Berikan penjelasan selengkapnya, berikan kesempatan untuk bisa masuk lebih dalam dengan keterangan yang lebih detail.

Foto ilustrasi
Jika foto menyertai suatu cerita, teks keterangan foto yang panjang umumnya tidak diperlukan. Kadang-kadang cukup satu baris keterangan tentang orang atau situasi yang tampak dalam gambar, sekadar untuk menjelaskan kaitannya dengan tulisan/berita. Ingat, kebanyakan pembaca teks keterangan foto belum membaca berita terkait.

Sebagian dari mereka bahkan tidak membaca beritanya, hanya teks keterangan foto dan judul berita. Jadi teks keterangan foto harus jelas, langsung ke sasaran, dan seimbang antara memberikan cukup informasi kepada pembaca agar memahami foto itu dan konteksnya dengan format yang ringkas dan padat.

Makin pendek makin baik. Penulisan teks keterangan foto sering memicu godaan untuk menggunakan kalimat-kalimat panjang. Hindarilah.

4. Unsur Waktu

Kebanyakan surat kabar menggunakan gaya penulisan teks keterangan foto yang menggunakan kalimat dengan waktu sekarang (present tense) dan rangkaian kalimat berikutnya dalam bentuk lampau (past tense). Alasannya, kalimat pertama menceritakan kepada pembaca apa yang terjadi dalam foto.

Selalu sertakanlah unsur waktu untuk menginformasikan kepada pembaca kapan peristiwa dalam foto tersebut terjadi.


Readmore »»

Idul Fitri, Moralitas, dan Spiritualitas

Selasa, 30 September 2008 | 00:37 WIB
Puasa Ramadhan selama sebulan merupakan pelatihan diri yang amat positif. Hal ini terkait tuntunan untuk selalu meningkatkan kesadaran individual yang bersifat mental dan spiritual.
Dengan penguatan aspek kedirian itu, akan dicapai keberagamaan yang ideal, seimbang antara ritual dan spiritual. Modal keseimbangan akan berarti bagi pembangunan kultur bangsa.
Banyak orang menyebut abad ke-21 sebagai ”abad spiritualitas”. Meski terdengar sloganistis, penyebutan itu merefleksikan kecenderungan global yang ditandai pesatnya perhatian terhadap dunia mistik-spiritual. Wacana spiritualitas telah diperkenalkan sebagai cara baru dalam menumbuhkan penghayatan agama dan pada gilirannya memahami kenyataan secara menyeluruh dan mendalam. Dalam tingkatan tertentu, tren spiritualitas telah dikemas menjadi komoditas yang ditawarkan melalui iklan.

Kebangkitan spiritualisme itu bisa saja disebut perubahan revolusioner menuju ”zaman baru” (New Age), semacam harapan untuk meninggalkan ”zaman lampau yang penuh kegelapan”. Semua ini karena berbagai temuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggiring manusia ke jurang krisis kemanusiaan yang menyengsarakan
Standar moral
Kata moral sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata krama, etiket, dan sebagainya. Dalam kosakata bahasa Arab, istilah itu sering disebut al-akhlaq atau al-adab. Al-akhlaq adalah bentuk jamak dari al-khuluq, artinya budi pekerti atau moralitas. Kata itu semula diproyeksikan sebagai sandingan kata al-khalq, berarti ciptaan.
Meskipun berasal dari akar kata sama (kha-la-qa), kedua istilah itu memiliki arti yang bersifat immateri dan permanen, sedangkan al-khalq sebagai partner keberadaan manusia yang bersifat materi, bisa dilihat, kasat mata, dan sementara. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Meniadakan salah satu berarti memudarkan jati diri manusia. Karena itu, manusia sejati (insan kamil) adalah pengungkapan ahsan taqwim, ciptaan Tuhan yang terbaik, yang baru terwujud jika antara al-khuluq memiliki irama dan ritme yang selaras dengan al-khalq.
Pengertian akhlak yang esensial itu merujuk sifat-sifat eksistensial yang melekat diri manusia. Manusia adalah tubuh dan jiwa yang menyatu sehingga manusia bisa hidup, bernapas, bergerak, berpikir, dan merenung.
Karena itu, dalam proses bertindak, manusia harus selaras dengan penciptaan yang telah dititahkan Tuhan. Maka, berakhlak baik (akhlaq al-karimah) berarti bersesuaikan langkah dengan hakikat penciptaan. Sebaliknya, berakhlak buruk (akhlaq al-madzmumah) berarti melanggar kehakikian penciptaan atau menerabas batas hukum Tuhan (sunnatullah). Jelasnya, berakhlak adalah keselarasan dengan hakikat penciptaan ilahiyah. Berakhlak adalah berseturut fitrah manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang baik.
Alam dan isinya adalah anugerah Tuhan kepada manusia. Manusia diberi potensi mengolah dan menata alam secara kreatif, produktif, konstruktif, dan humanis. Dalam mengelola alam diperlukan tindakan moral yang baik agar tidak terjadi pembelokan dan perusakan yang menyengsarakan.
Dalam konteks moral, agama memberi petunjuk praktis dalam menyempurnakan moralitas manusia. Dalam diri manusia tersimpuh dorongan baik dan buruk (al-ba’its al-din wa al-ba’its al- syaithan). Agama tidak menyangkal, manusia dengan akalnya mampu membedakan antara baik (al-haq) dan buruk (al-bathil). Namun, agama mewartakan, hanya dengan akal manusia tidak akan mampu menangkap hakikat moralitas. Sebab, akal mudah terbelokkan oleh unsur lain dalam diri manusia, terutama apa yang disebut nafsu (syahwathiyah). Masalah moral boleh dikatakan amat lembut, sering meremangkan pandangan manusia.
Agama mengajarkan untuk selalu bersikap ramah kepada sesama, bersedekah, saling membantu (ta’awun) sehingga terbentuk kohesi dan solidaritas sosial (hablum min al-nas). Ini adalah ajaran moral standar yang secara ’aqliyah maupun naqliyah diterima. Islam menjunjung perenungan rasional (ta’aqqul, tadabbur, I’tibar), karena dengan itu manusia bisa merengkuh pemahaman secara baik.
Menuju spiritualitas
Dalam sejarah Islam, kita mengenal figur Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Farabi atau al-Ghazali yang menunjukkan bagaimana mereka menuntut ilmu dan menanamkan dimensi keagamaan dalam dirinya. Mereka tampil sebagai manusia komplet dalam memahami dan mempraktikkan ajaran agama. Akhlak, ketaatan syariah, intelektualitas, dan spiritualitas merasuk pada diri dan intensional.
Walhasil, puasa dan Idul Fitri kali ini dapat menjadi panjatan refleksi ulang untuk membangun cara dan pendekatan yang jitu. Bangkitnya intelektualitas, kesadaran keagamaan, serta spiritualitas dewasa ini bisa menjadi momentum untuk lebih menguatkan penanaman keagamaan.
Pergumulan terhadap dunia modern dengan segala kembangnya ini bukan lagi menjadi penghalang (mawani’), tetapi justru menjadi kesadaran baru untuk lebih menggiatkan kerja mulia demi membangun mentalitas, intelektualitas, dan spiritualitas bangsa sehingga mampu memberi warna ideal bagi pembangunan bangsa.
Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

Readmore »»

Mahkamah Agung

Upaya Percepatan Pembahasan RUU MA untuk Sementara Berhenti
Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Upaya luar biasa untuk memacu pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung untuk sementara berhenti. Undangan Rapat Paripurna DPR pada 6 Oktober dengan agenda pengambilan keputusan atas RUU tersebut dibatalkan.
Menurut anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), yang dihubungi Senin (29/9), Ketua DPR Agung Laksono (Fraksi Partai Golkar) sudah mengabarkan kepada pimpinan fraksi mengenai pembatalan agenda tersebut.
Tahapan pembahasan berikutnya baru dilakukan 9 Oktober, yaitu pertemuan tim sinkronisasi dengan staf ahli DPR dan Departemen Hukum dan HAM.

Eva juga berpegang pada pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin (Fraksi Partai Golkar) bahwa pengambilan keputusan atas RUU MA di tingkat Komisi III tidak akan dilakukan jika pembahasan RUU Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi belum rampung.
Ketiga RUU itu ditargetkan rampung pada masa persidangan saat ini yang akan berakhir 24 Oktober mendatang.
Namun, anggota Komisi III, Arbab Paproeka (Fraksi Partai Amanat Nasional), secara terpisah menyebutkan, tahapan pembahasan sudah dijalani. Tinggal fase rapat pleno Komisi III yang mesti dilalui untuk kemudian RUU diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR. Arbab menekankan, klausul soal usia pensiun hakim agung diputuskan demi kepentingan bangsa dan negara, bukan sekadar kepentingan seseorang atau kelompok tertentu.
Harus pensiun
Mantan hakim agung, Benjamin Mangkoedilaga, Senin, berharap Mahkamah Agung (MA) tidak terjebak dengan hiruk-pikuk pembahasan RUU MA, terutama terkait dengan wacana perpanjangan usia pensiun hakim agung dari 67 ke 70 tahun, sebab hal itu hanya akan menjatuhkan wibawa MA dan hakim agung yang tahun ini berusia 67 tahun.
Untuk itu, lanjut Benjamin, para hakim agung yang akan pensiun pada tahun 2007 sebaiknya tetap pensiun meski kelak RUU MA mengesahkan usia pensiun menjadi 70 tahun.
Sebab, sejak enam bulan sebelum pensiun, artinya paling lambat pada Juni lalu, mereka sudah mengajukan permohonan pensiun kepada Presiden.
”Sehingga, apa pun kelak keputusan DPR, mereka sebaiknya tetap harus pensiun karena sudah mengajukan permohonan pensiun ke Presiden. Dengan cara ini, masyarakat akan melihat mereka tidak memburu kekuasaan dan citra lembaga MA akan terselamatkan,” harap Benjamin.
Menurut Benjamin, kebijakan tetap pensiun di usia 67 tahun sudah diambil oleh hakim agung Sasanti Adi Nugroho yang pensiun 14 Juli lalu dan Titi Nurmala yang pensiun pada 26 Agustus 2008.
Kebijakan pensiun untuk semua hakim agung yang tahun ini berusia 67 tahun itu tidak akan membuat MA goyah, sebab sudah ada 43 calon hakim agung yang tengah diseleksi oleh Komisi Yudisial.
Sangat cepat
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR Lukman Hakim Saifuddin mengakui, pembahasan RUU MA sangatlah cepat jika pada 6 Oktober nanti disahkan. ”Inilah proses pembahasan RUU tercepat dalam sejarah DPR. Hanya dalam waktu tujuh hari, pembahasan RUU itu selesai dan disahkan. Museum Rekor Indonesia (MURI) wajib mencatatnya,” katanya, Senin.
Lukman Hakim menjelaskan, pembahasan RUU MA dimulai dengan Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta pada 4 September 2008.
Rapat Panitia Kerja (Panja) pertama dilakukan pada 15 September 2008, dilanjutkan pada 18, 19, dan 20 September 2008. Tim Perumus membahasnya pada 25 dan 26 September 2008.
”Jadi, hanya tujuh hari untuk membahas RUU MA. Itu ’prestasi’ DPR,” kata Lukman Hakim, yang juga anggota Komisi III DPR.
Ia mengaku tidak mengetahui pasti mengapa sejumlah anggota Komisi III DPR memperlakukan istimewa RUU MA, terutama untuk meloloskan usulan pensiun hakim agung hingga 70 tahun. Akan tetapi, terkait atau tidak, Ketua MA Bagir Manan pensiun pada usia 67 tahun pada tanggal 6 Oktober mendatang. (DIK/NWO/TRA)



Readmore »»

SBY Dipertanyakan, Pernyataan Pencalonan di Istana

Selasa, 30 September 2008 | 00:44 WIB
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak risau dengan 20 persen atau 30 persen hasil pemilihan umum legislatif sebagai syarat pencalonan presiden, seperti diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Yudhoyono yang akan maju kembali sebagai calon presiden dalam Pemilu 2009 berharap Undang-Undang (UU) Pemilihan Presiden/Wapres berlaku lama dan mengabdi pada kepentingan rakyat.
”Kalau saya, fleksibel. Silakan saja mana yang dianggap tepat untuk persyaratan. Yang penting, kalau kita membuat UU, jangan dikaitkan dengan kepentingan sesaat atau kepentingan orang per orang. UU harus berlaku lama untuk kepentingan rakyat,” ujar Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Minggu (28/9).
Sebelum berbicara tentang Rancangan UU Pilpres, Yudhoyono terlebih dahulu menyatakan akan maju kembali sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden/Wapres 2009. Ia merasa masih memerlukan waktu untuk bisa mewujudkan perubahan yang dijanjikan dalam Pilpres 2004 sehingga perlu maju lagi.

Siap dihadang
Terhadap upaya terselubung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar dalam penyusunan dan pembahasan RUU Pilpres, Yudhoyono mengaku cukup tenang meskipun menyayangkannya.
”Bagi partai politik yang kurang berhasil dalam Pemilu 2004 dan ingin lebih berhasil kembali, bagi tokoh politik yang tidak berhasil memenangkan kompetisi Pilpres, sejak itu harusnya berjuang dan berusaha agar Pemilu 2009 berhasil dan menang. Bukan lantas UU-nya harus kita ubah setiap saat,” ujarnya.
Yudhoyono mengaku nyaman dengan syarat pencalonan presiden cukup 15 persen. Karena itu, Partai Demokrat yang didirikannya diberi target perolehan suara minimal 15 persen dalam Pemilu Legislatif 2009. Jumlah itu sama dengan dua kali lipat perolehan suara Partai Demokrat dalam Pemilu 2004.
”Silakan, mana yang dianggap paling baik untuk kepentingan yang lebih besar untuk memperkuat sistem kabinet presidensiil. Kalau saya tidak risau dihadang dengan persyaratan 20 persen atau 30 persen,” ujarnya.
Selain PDI-P, syarat pencalonan presiden/wapres harus didukung perolehan 20 persen suara dalam pemilu legislatif juga disampaikan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai Golkar bertahan, partai atau gabungan parpol yang ingin mengajukan calon presiden/wapres harus memperoleh dukungan minimal 30 persen suara pada pemilu legislatif.
Yudhoyono, yang menyatakan mungkin akan berpasangan kembali dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, menyatakan, pencalonan resminya baru akan dilakukan setelah pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, April 2009.
Pencalonan di Istana
Secara terpisah, Senin, Ketua PDI-P Firman Jaya Daeli mempertanyakan langkah Yudhoyono yang mengumumkan kesediaannya menjadi calon presiden kembali di Istana Negara. Pencalonan presiden bukanlah ranah pemerintahan, melainkan ranah parpol dan pribadi sehingga seorang calon tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
”Seharusnya simbol negara tak dipakai untuk mengumumkan pencalonan seseorang. Istana itu merupakan simbol negara,” kata Firman. Yudhoyono menyatakan kesediaannya dicalonkan lagi di Istana Negara, Minggu. Ia menjawab pertanyaan saat bertatap muka dan berbuka puasa dengan wartawan (Kompas, 29/9).
Firman juga mengkhawatirkan dengan penegasan Yudhoyono bersedia dicalonkan kembali, padahal pemilihan presiden masih setahun lagi, langkah pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semakin terabaikan. Presiden sebagai kepala pemerintahan akan lebih memerhatikan langkahnya untuk memenangi kembali pemilihan presiden.


Readmore »»

Kampanye Pemilu

Iklan Politik, KPK, dan DPR yang Lebih Baik
Selasa, 30 September 2008 | 00:43 WIB
Punya anak berusia 17 tahun yang hamil tetapi belum menikah, keras terhadap korupsi, dan menentang pandangan beruang kutub sebagai spesies yang terancam. Itulah sebagian dari rekam jejak Sarah Palin, Gubernur Alaska yang akan mendampingi John McCain, calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, dalam pemilihan kepala negara itu, November mendatang.
Pemahaman dunia, khususnya rakyat Amerika Serikat (AS), atas rekam jejak Palin ini sama mendetailnya dengan pemahaman mereka atas sejarah hidup veteran perang Vietnam, McCain, berikut lawannya dari Partai Demokrat, pasangan Senator Illinois Barack Obama dan Joe Biden.
Tersebarnya latar belakang dua pasang calon pemimpin AS ini terjadi karena rakyat negara itu menyadari, rekam jejak merupakan instrumen penting untuk melihat seseorang. Dengan melihat masa lalunya, berikut ideologi partai yang membawanya, diyakini akan diperoleh gambaran jelas seorang calon pemimpin.

Hal ini karena dalam diri seseorang, antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, bukanlah garis waktu yang terputus. Ketiganya selalu membentuk sejarah yang saling berkaitan.
Dengan melihat latar belakang Obama yang lahir dari ibu berkulit putih dan ayah berkulit hitam, pernah hidup di berbagai negara, termasuk Indonesia, serta pernah merasakan hidup sebagai warga kelas menengah di AS, tidak sulit memahami maksud dari ”perubahan” yang menjadi tema kampanyenya.
Akibat selanjutnya, tema yang diusung Obama, juga pasangan McCain-Palin, menjadi sangat hidup, membumi, dan memberi pilihan yang jelas bagi rakyat AS. Iklannya pun dihargai karena mencerminkan kondisi yang sebenarnya dari kualitas mereka.
Ironisnya, hal itu nyaris tidak terlihat dalam iklan sejumlah tokoh politik Indonesia yang sekarang sedang bersiap menghadapi Pemilu 2009. Iklan mereka bukan hanya cenderung tidak jelas karena tidak diisi dengan program nyata atau gambaran kualitas pribadi si pengiklan. Iklan itu bahkan cenderung dipakai untuk menutup masa lalu mereka yang kurang beres atau ”tidak berisi apa-apa”.
Gejala ini dapat dilihat, misalnya, seorang yang diduga punya masalah dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bidang sipil dan politik, dalam iklannya yang tiba-tiba sangat peduli pada pemenuhan HAM bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Seorang yang selama ini dikenal berpikiran neoliberal tiba-tiba diiklankan sangat mengagumi tokoh pendiri bangsa ini yang cenderung punya pemikiran sebaliknya. Atau, orang yang kiprahnya selama ini lebih banyak dikenal di dunia selebriti digambarkan sangat peduli pada nasib orang kecil.
Secara hukum, tidak ada pelanggaran yang dilakukan tokoh itu saat mereka mengiklankan diri meski gambaran mereka bangun di iklan dapat menyesatkan masyarakat. Bahkan, langkah ini terbukti efektif untuk membangun citra, sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam era politik pemilihan langsung seperti sekarang.
Efektivitas iklan politik ini sudah terbukti di Pemilu 2004. Kekuatan citra, yang antara lain dibangun pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla di berbagai media massa, ternyata dapat mengalahkan kekuatan jaringan partai politik yang diandalkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi.
Danarka Sasangka, pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya (UAJ) Yogyakarta, menuturkan, efektivitas pembentukan citra melalui iklan, antara lain, disebabkan oleh sifat masyarakat kita yang cenderung pelupa dan tidak punya genggaman kuat. Masa transisi dari otoriter ke demokrasi atau tradisional ke modern membuat banyak perubahan di masyarakat. Nilai lama sudah dianggap ketinggalan zaman, sedangkan nilai baru belum dipahami sepenuhnya.
Kemiskinan yang masih membelenggu sebagian rakyat dan tingkat kecerdasan yang belum merata juga makin membuat mereka mudah dininabobokan dengan janji politik yang tidak jelas asal-usulnya dan politik uang.
Namun, sejarah membuktikan, masalah bangsa tidak dapat diselesaikan dengan iklan politik. Politisi yang dibangun dari citra kosong seperti itu yang justru akan makin menyulitkan Indonesia bangkit dari keterpurukan. Indonesia butuh pemimpin yang telah teruji kemampuan, keberanian, dan kredibilitasnya.
Gerakan tandingan
Dalam kondisi ini, langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belakangan memproses hukum kasus di DPR tidak hanya dapat dilihat sebagai upaya membersihkan lembaga yang, menurut survei Transparansi Internasional Indonesia (TII), sejak tahun 2005 dipersepsikan sebagai salah satu lembaga terkorup.
Upaya KPK ini juga dapat dilihat sebagai langkah untuk memberikan gambaran yang sebenarnya atas wajah para politisi di Indonesia, yang selama ini coba ditutup dengan iklan-iklan yang mereka pasang.
Seperti disampaikan Sekretaris Jenderal TII Rizal Malik, upaya KPK itu akan membantu masyarakat untuk menilai, politisi serta partai politik mana yang sebenarnya pantas dipilih di Pemilu 2009. Bagi partai politik, langkah KPK ini juga dapat dijadikan petunjuk untuk membersihkan diri dari para anggotanya yang bermasalah.
Langkah KPK itu juga dapat mendorong pemilu yang lebih bersih. Sebab, mereka yang akan bertarung, secara tidak langsung, akan diingatkan agar tidak menggunakan cara tercela, seperti korupsi, jika tidak ingin direpotkan di kemudian hari.
Penegakan hukum KPK terhadap sejumlah anggota DPR ini bukannya tanpa risiko. Upaya itu dapat menimbulkan arus balik, seperti pelemahan KPK, karena kewenangan yang dimiliki komisi itu sedikit banyak tergantung dari keputusan DPR.
Arus balik ini sekarang mulai terlihat seperti dengan munculnya gagasan untuk mengatur kembali tata cara penyadapan yang selama ini terbukti amat membantu KPK atau lewat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.
Pertanyaan sejumlah anggota DPR tentang langkah KPK mengumumkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara sehingga akses masyarakat terhadap data itu sekarang tak lagi semudah dahulu, juga bisa dilihat sebagai gejala dari arus balik itu. Namun, KPK (semoga) tidak perlu gentar dengan berbagai ancaman arus balik ini karena masyarakat ada di belakang mereka. Akhirnya, jika arus balik ini benar terjadi, misalnya dengan memandulkan KPK, akan kian jelas terlihat siapa yang sesungguhnya bermasalah di negara ini....


Readmore »»

Politika

Pilpres 2008 atau 2009?
Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB
Semoga di tengah kesibukan silaturahim Idul Fitri pekan ini Anda masih punya waktu mengikuti terus perkembangan pilpres. Maksud saya bukan Pilpres 2009, tetapi Pilpres 2008 di Amerika Serikat.
Mengapa Pilpres 2008 layak disimak? Sebab, ia bukan hanya sekadar ”pilpres biasa”, tetapi sebuah ”pilpres istimewa”.
Ia istimewa karena hasilnya memengaruhi nasib warga dunia—termasuk kita. Beda dengan Pilpres 2009 yang hasilnya kayaknya enggak ngaruh ke nasib kita.

Pilpres 2008 berlangsung di tengah krismon yang mirip dengan krismon di Indonesia tahun 1998. Gangguan di sektor properti beberapa bulan terakhir memicu kebangkrutan sejumlah lembaga keuangan di AS.
Masalahnya, AS adalah salah satu ekonomi terbesar di dunia. Jika AS sedang ”meriang”, ekonomi negeri-negeri lain bisa ikut ”batuk-batuk” atau ”pilek”.
Telah terbukti mulai kemarin krismon di AS merembet ke lembaga keuangan di beberapa negara Eropa Barat. Tak mustahil wabah itu akan menular ke Asia pula—termasuk ke sini.
Apalagi, tak sedikit lembaga keuangan AS dan Eropa yang beroperasi di sini. Oleh sebab itu, walau tak mungkin ikut Pilpres 2008, tak ada salahnya Anda buka mata dan kuping selebar mungkin membaca koran dan memelototi teve untuk mengikutinya.
Jika perlu, bantulah Barack Obama dengan doa. Sebab, kalau dia yang menang, siapa tahu tiba-tiba muncul the feel good factor, yang insya Allah bisa mengobati penyakit krismon.
Celakalah andai John McCain yang menang. Sebab, sebagai senator, ia mendukung 90 persen kebijakan Presiden George W Bush selama delapan tahun berkuasa.
Bush menyerbu Irak dengan dongeng senjata nuklir dan McCain mendukungnya. Bush, mantan pengusaha minyak bergelar MBA, memihak pengusaha kaya raya dan McCain mendukungnya pula.
Irak sekarang berantakan. Kini Bush mau menggelontorkan bantuan 700 miliar dollar AS untuk para eksekutif kaya raya di Wall Street, New York, yang bergaji selangit itu.
Rencana yang kurang masuk akal itu ditentang keras Obama yang didukung mayoritas rakyat AS. Sekarang semua jajak pendapat membuktikan popularitas Obama makin melonjak meninggalkan McCain.
Ambil contoh hasil survei RealClearPolitics kemarin yang mencatat Obama merebut 47,9 persen suara dibandingkan McCain 43,1 persen. Survei ini malah sudah berani memproyeksikan Obama merebut 278 suara anggota EC (Electoral College) dibandingkan McCain (230).
Total ada 538 anggota EC dari 51 negara bagian yang memilih presiden baru berdasarkan prinsip the winner takes all. Diperlukan minimal 270 suara agar terpilih dan Obama telah melewati angka itu.
Mari ambil contoh lain dari survei Gallup yang membuktikan popularitas Obama telah menembus angka 50 persen dibandingkan McCain yang 42 persen per 27 September. Obama unggul berkat kemenangan saat debat pertama pada 26 September.
Masih ada dua debat lagi tanggal 7 dan 15 Oktober. Debat bukanlah penentu kemenangan, tetapi bisa membantu meningkatkan popularitas capres.
Sebaliknya, debat capres tak ubahnya pertandingan tenis yang mengenal istilah unforced error. Kesalahan substansi atau penampilan sedikit saja bisa memupuskan mimpi menghuni Gedung Putih.
Obama memenangi debat 26 September karena, pertama, McCain tak mampu keluar dari bayang-bayang Bush. Kedua, Obama menang karena menawarkan program-program ekonomi yang lebih memadai dibandingkan McCain.
Perhatian rakyat AS tertuju pada krismon, tak lagi peduli dengan isu-isu panas seperti terorisme, Irak, Iran, Korea Utara, atau Rusia. Seperti di sini, mereka mulai ogah pada model strong leadership ala militer.
Ketiga, Obama menang karena tampil seperti profesor yang memahami duduk perkara persoalan domestik/internasional. Sebaliknya, McCain tak lebih dari Rambo yang mengandalkan ”gaya ketimbang substansi”.
Ia bolak-balik menuding Obama enggak nyandak soal Irak, enggak mampu membedakan strategi dengan taktik militer, atau kurang akrab dengan tentara dan veteran perang. Ia bahkan ogah kontak mata dengan Obama yang dianggap kurang berpengalaman.
Untung Obama tak emosional dan tetap tenang. Jika tampil ”galak”, Obama akan terjebak jadi tokoh kulit hitam militan yang biasanya selalu dicurigai akan konfrontatif terhadap kulit putih, seperti halnya Jesse Jackson.
Nah, jika tertarik menyaksikan dua debat selanjutnya, Anda bisa belajar banyak untuk Pilpres 2009 di sini. Pelajaran pertama, jangan terpukau dengan gaya capres yang more style than substance alias penjual citra.
Penampilan, pidato, dan pembuatan program merupakan bagian yang bisa dipoles. Ibarat buah, semua itu hanya kulit yang kurang bermanfaat bagi kebutuhan rakyat yang belum pulih 100 persen dari krismon 1998.
Oleh sebab itu, kedua, pelajarilah masa lalu capres. Seperti halnya komputer, Anda perlu refresh sebentar saja ingatan Anda tentang prestasi sang capres yang pada masa lalu pernah jadi pejabat—termasuk juga jadi presiden.
Ketiga, meski bimbang dengan wajah-wajah lama, jangan buru-buru percaya pada nama-nama baru. Walau ditambahi imbuhan kata new di depannya karena ganti wajah, toh isi mesin sedan Anda tetap sama.
”Minal aidin wal faidzin/Maafkan lahir dan batin/Selamat para pemimpin/Rakyatnya makmur terjamin”. Ah, masa?


Readmore »»

Publik Masih Ragukan Aktualisasi Pancasila

JAJAK PENDAPAT "KOMPAS"
Publik Masih Ragukan Aktualisasi Pancasila
Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB
Pancasila yang dijadikan pijakan paling dasar, sekaligus menjadi identitas kebangsaan Indonesia selama ini, sepertinya menjadi konsep yang makin hilang dari ingatan publik. Dalam konteks bernegara, masyarakat menilai pemerintah belum mampu mengaktualisasi Pancasila dalam setiap kebijakan yang dibuatnya.
Sebagian anggota masyarakat yang menjadi responden jajak pendapat Litbang Kompas mempertanyakan kemampuan negara dalam mengaktualisasikan Pancasila dalam setiap kebijakan yang dihasilkan, terutama terkait kebijakan negara yang dinilai tidak pro-kesejahteraan sosial, seperti yang disebut dalam pasal terakhir Pancasila. Ini tercermin dari pendapat mayoritas responden (79,8 persen) yang menilai pemerintah belum mampu menunjukkan sikap adil terhadap masyarakat.

Hasil Jajak Pendapat Kompas, yang diselenggarakan terhadap 860 responden di sepuluh kota di Indonesia, ini juga menunjukkan, ternyata cukup banyak orang yang lupa dan tidak hafal isi Pancasila. Saat responden diminta untuk membacakan lima sila dari Pancasila, sebanyak 90,8 persen hafal sila pertama.
Namun, saat dilanjutkan pada sila berikutnya, sedikitnya 27,8 persen lupa isi sila kedua, 23,8 persen lupa sila ketiga, dan sebanyak 30,2 persen tidak ingat sila keempat. Juga, 28,8 persen lupa bunyi sila kelima. Jika hafal saja tidak, sulit untuk membayangkan warga memahami dan menghayatinya.
Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini.
Ritual peringatan Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya yang dilakukan setiap tahun terus mengalami perubahan makna dalam setiap rezim yang berkuasa. Rezim Orde Baru memaknainya sebagai kemenangan Pancasila atas gerakan Partai Komunis Indonesia dalam tragedi 30 September 1965.
Keberhasilan menumpas gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan oleh rakyat dan ABRI saat itu seolah diyakini sebagai bukti saktinya Pancasila dari upaya penggeserannya sebagai dasar negara. Karena di hari setelah peristiwa G30S/PKI, 1 Oktober atau titik awal periode Orde Baru, dicanangkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini gaungnya lebih kuat ketimbang peringatan atas hari lahirnya Pancasila.
Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi.
Rezim Soeharto menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Upaya penunggalan interpretasi juga dilakukan oleh negara terhadap seluruh warga negara tanpa kecuali. Setiap organisasi massa dalam bentuk apa pun, termasuk organisasi keagamaan, wajib menjadikan Pancasila sebagai asas institusi mereka. Cap anti-Pancasila diberikan kepada mereka yang menolak asas tunggal Pancasila. Langkah ini dipercaya sebagai upaya memelihara Pancasila agar tetap sakti.
Ideologi atau bukan?
Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis (Kompas, 6/12/2001).
Rezim Orde Baru dianggap menyalahgunakan Pancasila sekadar sebagai alat untuk memberangus berbagai upaya dan tuntutan demokratisasi. Seperti diungkapkan Franz Magnis-Suseno (Kompas, 23/10/2005), Orde Baru menyimbolkan peristiwa G30S/PKI sebagai kekuatan anti-Pancasila. Cap PKI terhadap kelompok yang kritis terhadap pemegang tampuk kekuasaan di saat itu pun tak jarang digunakan sebagai alat pemberangus gerakan mereka.
Bahkan, pada sejumlah konflik antara negara dan rakyat, seperti kasus konflik pertanahan atau demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, simbol anti-Pancasila sering digunakan sebagai penyelesaian.
Indoktrinasi Pancasila sebagai sebuah kekuatan sakral nan sakti, yang kadung dilakukan selama periode Orde Baru, oleh sebagian kelompok dipercaya justru mendangkalkan pemaknaan terhadap Pancasila. Penafsiran tunggal atas dasar negara ini lebih banyak digunakan sebagai alat untuk memperkuat otoriterianisme, sekaligus menutup pemahaman kritis terhadap Pancasila.
Rezim keterbukaan saat ini memang memungkinkan berkembangnya cara pandang baru terhadap Pancasila. Namun, di tengah berbagai pandangan atas peran dan posisi Pancasila yang berkembang saat ini, tampak satu garis merah yang disepakati bersama bahwa Pancasila, bagaimanapun, telah menjadi ciri khas dan jati diri bangsa Indonesia yang harus dipertahankan.
Sebatas jargon
Mayoritas responden dalam jajak pendapat ini sepakat, sebagai identitas bangsa, Pancasila tetap menjadi landasan terbaik berdirinya bangsa ini. Hampir seluruh responden (96,6 persen) menyatakan, Pancasila haruslah dipertahankan sebagai dasar negara. Sebanyak 92,1 persen menegaskan, Pancasila sebagai landasan terbaik untuk bangsa ini.
Meski demikian, sebagian publik (55 persen responden) meragukan keseriusan pemerintah menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Ini sangat mungkin dipicu oleh keprihatinan atas kondisi sosial dan ekonomi saat ini.
”Bukan rakyat yang seharusnya dituntut memahami dan menghayati Pancasila, melainkan pemerintah yang dicerminkan lewat kebijakan yang dibuatnya,” kata Suzan (32), seorang responden asal Jakarta.
Warga Jakarta itu berpendapat, Pancasila yang seharusnya menjadi landasan dari segala proses pembuatan kebijakan belum terlihat aktualisasinya. ”Bukankah dalam membuat kebijakan pemerintah harus sesuai dengan isi Pancasila? Lalu, kenapa banyak kebijakan negara yang sangat jelas tidak pro-keadilan sosial seperti disebut dalam Pancasila itu?” tanya Suzan.
Suara Suzan mewakili 74,5 persen dari 860 responden lain yang menyatakan, pemerintah belum mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini Pancasila memang lebih banyak dipahami sebatas konsepsi politik. Pancasila lebih banyak digunakan sebagai jargon yang bias makna jika dihadapkan pada realitas sosial yang ada.
Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya belum mampu diwujudkan secara riil. (Litbang Kompas)


Readmore »»

27/09/08

Silat China Tong Liong To

Sesudah merobohkan beberapa musuh, In Lie Heng merasa sangat tidak tega. “Siluman-siluman Swie Kim-kie dengarlah!” teriaknya. “Jalan kamu hanya jalan mati. Lemparkanlah senjatamu! Kami akan mengampuni jiwamu.”
“Ciang kie Hoe soe (wakil pemimpin) Swie Kim-kie tertawa terbahak-bahak. “Ha…ha…ha…Kau terlalu memandang rendah Beng kauw,” katanya. “Sesudah Tong Chung Toako binasa, bagaimana kami bisa hidup terus?”
“Saudara-saudara Koen Loen, Go Bie, Hwa San dan Khong Tong, mundurlah sepuluh langkah!” teriak In Lie Heng lagi. “Berikan kesempatan supaya mereka bisa menyerah.”
Semua orang kecuali Biat Coat, segera saja mengundurkan diri. Si nenek yang sangat benci Mo kauw tidak meladeni dan terus membasmi sepuas hati. Di mana Ie Thian Kiam berkelabat, di situ tentu ada senjata putus atau manusia roboh. Melihat guru mereka menyerang terus, murid-murid Go Bie lantas saja maju kembali, sehingga dalam gelanggang pertempuran terjadi perubahan yaitu Go Bie-pay bertempur sendirian dengan Swie Kim-kie.
Kekuatan Swie Kim-kie masih ada enam puluh orang lebih dan jago-jago yang berkepandaian tinggi, sedikitnya masih ada dua puluh orang lebih, sehingga dengan begitu, dibawah pimpinan Ciang kie Hoe soe, Hoew Kin Coe, jumlah mereka masih lima kali lipat lebih banyak daripada belasan orang Go Bie-pay. Seharusnya dengan lima lawan satu, pihak Swie Kim-kie berada di atas angin. Tapi Biat Coat hebat luar biasa dan Ie Thian Kiam merupakan senjata terhebat pada jaman itu, maka dalam sekejap tujuh delapan anggota Swie Kim-kie sudah roboh lagi tanpa bernyawa.
Boe Kie merasa sangat tidak tega. Sambil berpaling ke Coe Jie, ia berkata, “Ayolah kita pergi.” Ia mengangsurkan tangannya untuk membuka jalan darah si nona yang ditotok Biat Coat. Tapi sesudah menotok beberapa kali, jalan darah Coe Jie masih belum juga terbuka. Ternyata Biat Coat memiliki ilmu Lweekang yang sangat tinggi, maka totokannya masuk sangat dalam sehingga meskipun usaha Boe Kie dilakukan menurut cara yang tepat, jalan darah Coe Jie tak bisa terbuka dengan segera.
Sambil menghela nafas Boe Kie mengawasi jalannya pertempuran. Ketika itu, sisa pasukan Swie Kim-kie yang berjumlah beberapa puluh orang sudah tak bersenjata lagi. Senjata mereka telah diputuskan si nenek. Tapi karena dikurung rapat oleh rombongan partai dan juga mereka tidak berniat untuk melarikan diri, maka dengan tangan kosong mereka meneruskan perlawanan terhadap murid-murid Go Bie.
Sebagai seorang yang berkedudukan sangat tinggi, Biat Coat sungkan menggunakan senjata terhadap musuh yang sudah tak bersenjata. Di lain saat, tubuhnya berkelabat dan jari tangannya menyambar-nyambar dan dalam sekejap lima puluh lebih anggota Swie Kim-kie sudah berdiri tegak seperti patung dengan jalan darah tertotok. Melihat kepandaian si nenek yang luar biasa semua orang bersorak-sorai.
Fajar menyingsing, tiba-tiba di sebelah tenggara dan barat laut terlihat bayangan-bayangan manusia yang bergerak mendekati. Mereka adalah orang-orang Peh Bie kauw. Selagi Go Bie bertempur dengan Swie Kim-kie, dengan rasa kuatir, Song Ceng Soe terus memperhatikan gerak-gerik Peh Bie kauw. Kini mereka mulai mendaekati tapi dalam jarak kira-kira dua puluh tombak, mereka berhenti lagi.
“A Goe Koko, kita harus cepat pergi,” kata Coe Jie. “Celaka benar bila kita jatuh ke tangan Peh Bie kauw.”
Tapi, di dalam hati pemuda itu terdapat semacam perasaan yang tak bisa dilukiskan terhadap Peh Bie kauw. Pihak itu adalah pihak mendiang ibunya, tapi ia sendiri belum pernah bertemu dengan orang Peh Bie kauw. Setiap ingat mendiang ibunya, ia selalu berkata di dalam hati, “Aku tak bisa bertemu lagi dengan ibu. Kapankah aku bisa bertemu dengan kakek dan paman?” Dan kini mereka berada begitu dekat dengan dirinya. “Ah, biar bagaimanapun juga aku harus melihat, apakah kakek dan paman berada dalam pasukan itu,” katanya di dalam hati.
Sementara itu Song Ceng Soe mendekati Biat Coat. “Cian pwee,” katanya, “Cepatlah mengambil keputusan terhadap orang-orang Swie Kim-kie supaya kita bisa segera menghadapi Peh Bie kauw.”
Si nenek mengangguk. Waktu itu matahari pagi sudah mulai memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Bayangan Biat Coat yang tinggi besar yang terpeta di pasir kuning kelihatan angker sekali, tapi dalam keangkeran itu terasa sesuatu yang menyedihkan. Dalam kebenciannya terhadap Mo kauw, si nenek ingin sekali meruntuhkan semangat orang-orang itu. Maka itu, ia lantas saja membentak, “Hei, orang-orang Mo kauw! Kamu dengarlah. Siapa yang masih ingin hidup bisa mendapatkan pengampunan asal saja meminta ampun.”
Tapi pengumuman itu dijawab dengan gelak tawa.

“Tertawa apa kamu?” bentak Biat Coat dengan gusar.
“Dengan Chung Toako kami ingin hidup dan mati bersama-sama!” teriak Ciang kie Hoe soe, Gouw Kin Co. “Kau jangan banyak rewel, cepat ambil jiwa kami.”
Si nenek mengeluarkan suara di hidung, “Baikalh,” katanya. “Tapi kau jangan mimpi bahwa kau bisa mampus dengan enak.” Seraya berkata begitu ia membabat putus lengan orang itu.
Gouw Kin Co tertawa terbahak-bahak. “Beng kauw mewakili langit menjalankan keadilan, membereskan dunia menolong rakyat dan kami menganggap bahwa hidup atau mati tiada bedanya,” katanya dengan suara nyaring. “Bangsat tua, jika kau mengharap takluknya kami maka seperti mimpi di siang bolong!”
Biat Coat menjadi makin gusar. Ie Thian Kiam menyambar tiga kali dan tiga orang putus lengannya. “Bagaimana kau?” tanyanya pada orang yang kelima. “Apa kau mau minta ampun?”
“Tutup mulutmu!” bentak orang itu sambil tertawa.
Kali ini sebelum gurunya bergerak, Ceng hie sudah melompat mendahului dan memutuskan lengan kanan orang itu dengan pedangnya. “Soehoe, biarlah teecoe saja yang menghukum siluman-siluman itu,” katanya. Dengan beruntun ia menanyai beberapa musuh tapi tak satupun yang sudi menyerah. Sesudah membabat putus lengan beberapa orang ia berpaling kepada gurunya seraya berkata, “Soehoe, mereka sangat keras kepala….” Dengan berkata begitu, ia mengharapkan belas kasihan Biat Coat.
Tapi si nenek tidak memperdulikan suara memohon dari muridnya itu. “Putuskan lengan kanan semua siluman itu!” bentaknya. “Kalau mereka masih belum mengenal takut, putuskan lengan kirinya.”
Ceng hie tak berdaya. Ia kembali mengangkat pedang dan memutuskan pula beberapa lengan.
Sampai disitu Boe Kie tak dapat menahan dirinya lagi. Ia melompat dari kereta salju dan menghadang di depan Ceng hie. “Tahan!” bentaknya.
Semua orang terkejut begitu juga Ceng hie yang langsung mundur selangkah. “Apa kau tak malu sudah menyakiti sesama manusia secara begitu kejam?” teriak Boe Kie dengan suara terengah.
Semua orang kaget tetapi sesudah melihat pakaian Boe Kie yang compang-camping mereka tertawa.
Sesudah tertawa dengan nyaring, Ceng hie berkata, “Semua orang ingin membinasakan kawanan siluman yang sesat. Dalam hal ini tak ada soal kejam atau tidak kejam.”
“Para cian pwee dan toako ini adalah orang-orang yang berkepribadian luhur dan tidak takut mati,” kata Boe Kie. “Sikap mereka sikap ksatria tulen. Bagaimana kau bisa menganggap mereka sebagai kawanan siluman yang sesat?”
“Apa kawanan Mo kauw bukan siluman?” tanya Ceng hie dengan gusar. “Dengan matamu sendiri kau telah menyaksikan bagaimana Ceng-ek Hong-ong membunuh manusia dan menghisap darahnya. Dia sudah membunuh soate dan soemayku. Kalau itu bukan siluman apa yang bisa dinamakan siluman?”
“Ceng-ek Hok-ong hanya membunuh dua orang tapi kamu sudah membinasakan sepuluh kali dua orang,” kata Boe Kie. “Dia menggunakan gigi, gurumu menggunakan Ie Thian Kiam. Dia membunuh, gurumupun membunuh. Apa bedanya?”
Ceng hie emosi, “Bocah!” bentaknya. “Kau berani menyamakan guruku dengan siluman?” Seraya membentak ia memukul Boe Kie dengan telapak tangannya.
Dengan cepat pemuda itu berkelit. Tapi Ceng hie adalah murid kepala Go Bie-pay yang memiliki kepandaian yang tinggi. Pukulan yang ditujukan ke muka Boe Kie hanya pukulan gertakan dan begitu cepat pemuda itu berkelit, kaki kirinya sudah menendang dada. “Duk…” Sesosok tubuh terpental beberapa tombak jauhnya, tapi tubuh itu tubuh Ceng hie yang telah patah tulang betisnya.
Dalam ilmu silat Boe Kie memang kalah jauh dari Ceng hie. Tapi ia memiliki Kioe-yang Sin-kang yang keluar secara wajar, jika ia diserang orang. Makin berat serangan itu makin hebat tenaga menolak dari Kioe-yang Sin-kang. Untung juga, waktu menendang Ceng hie tidak berniat mengambil jiwa Boe Kie dan hanya menggunakan separuh tenaganya. Maka itu walaupun tulangnya patah ia tidak mendapat luka berat.
Semua orang termasuk Biat Coat, terkesiap. “Siapa dia?” tanya si nenek di dalam hati. “Selama beberapa hari aku tidak memperhatikan dia dan tak disangka dia seorang yang berkepandaian tinggi. Aku sendiripun belum tentu bisa melemparkan Ceng hie dengan cara begitu. Dalam dunia mungkin Thio Sam Hong yang memiliki Lweekang sedemikian dahsyat.”
Biat Coat adalah manusia yang beradat aneh, keras dan kejam. Ia tidak berani memandang rendah kepada Boe Kie, tapi saat itu juga ia segera mengambil keputusan untuk mengadu jiwa dengan pemuda itu. Dengan sorot mata tajam ia mengawasi Boe Kie dari kepala sampai kaki.
Tapi pemuda itu tidak menghiraukan karena ia sedang repot menolang orang Swie Kim-kie. Dengan cepat ia menotok jalan darah mereka dan sesudah ditotok darah yang mengalir keluar dari lengan yang putus segera berkurang. Di antara orang-orang itu terdapat banyak ahli ilmu totok, tapi tak satupun mengenal ilmunya Boe Kie yang lain dari yang lain.
“Terima kasih atas pertolongan Siauw hiap,” kata Gauw Kin Co. “Bolehkah aku mengetahui she dan nama Siauw hiap yang mulia?”
“Aku she can namaku A Goe,” jawabnya.
“Bocah kemari,” bentak Biat Coat dengan suara dingin, “Sambutlah tiga seranganku.”
“Tunggu dulu,” kata Boe Kie seraya membalut luka korban yang terakhir. Sesudah selesai, barulah ia menghampiri si nenak dan berkata seraya merapatkan kedua tangannya, “Biat Coat Soethay, aku bukan tandinganmu. Aku sama sekali tak berniat untuk bertanding sama Loo jinke (panggilan menghormati untuk seorang yang tua). Aku hanya berharap supaya kedua belah pihak menghentikan pertempuran dan mengadakan perdamaian.”
Ia bicara sungguh-sungguh dengan nada memohon. Dalam hatinya ia mencintai kedua belah pihak itu, karena pihak yang satu adalah pihak mendiang ayahnya sedang pihak yang lain adalah golongan mendiang ibunya.
Biat Coat tertawa dingin, “Apakah kami harus menghentikan pertempuran atas perintahmu, bocah bau?” katanya. “Apakah kau seorang Boe-lim Cie-coen?” (Boe-lim Cie-coen adalah seorang yang termulia dalam dunia persilatan)
Boe Kie terkejut, “Apa artinya perkataan Soethay!” tanyanya.
“Andaikan dalam tanganmu memegang golok To Liong To, kau masih harus melawan Ie Thian Kiam-ku untuk menentukan siapa menang siapa kalah,” kata si nenek. “Sesudah kau menjadi Cie-coen dalam dunia persilatan, barulah kau boleh memerintah di kolong langit.”
Mendengar ejekan sang guru semua murid Go Bie tertawa geli.
Boe Kie kaget dan ia segera berpikir, “Apakah tujuan orang-orang dunia persilatan yang mencari ayah angkatku hanyalah untuk merampas To Liong To? Apakah mereka hanya bermaksud untuk menjadi yang termulia dalam dunia persilatan agar bisa memerintah di kolong langit?”
Selagi berpikir begitu, murid-murid Go Bie masih belum berhenti tertawa.
Sebagai seorang muda yang tak mempunyai nama, memang juga tak pantas Boe Kie mengatakan “mengharapkan kedua belah pihak menghentikan pertempuran”. Mendengar suara tawa orang, paras mukanya lantas saja berubah merah.
Ia menengok dan di antara murid-murid Go Bie, ia melihat Cioe Cie Jiak yang tengah mengawasinya dengan sorot mata kagum dan menganjurkan, sehingga semangatnya lantas saja bangkit, “Mengapa kau mau membunuh begitu banyak orang?” katanya. “Setiap orang mempunyai ayah ibu, istri dan anak. Jika kau membunuh mereka, anak-anak mereka akan jadi yatim piatu, yang tentu akan dihina orang. Kau adalah seorang pertapa yang menyucikan diri. Dengan melakukan pembunuhan itu, apakah di dalam hati kau bisa merasa tenteram?” Waktu mengatakan kata-kata itu, suaranya bersungguh-sungguh dan mengharukan karena ia ingat akan nasibnya sendiri yang sejak kecil sudah ditinggal oleh orang tua.
Paras muka nona Cioe berubah pucat dan kedua matanya mengambang air.
Tapi muka Biat Coat sekalipun tak berubah. Ia adalah seorang manusia yang tidak pernah atau sedikitpun jarang memperlihatkan perasaan hatinya pada paras mukanya. Waktu ia membuka mulut suaranya tetap dingin bagaikan es. “Bocah, apakah aku masih perlu dinasehati olehmu? Dengan mengandalkan tenaga dalammu yang kuat, kau membacot di sini. Baiklah, jika kau bisa menerima tiga pukulanku aku akan melepaskan manusia-manusia itu.”
“Mana berani aku bertanding dengan Soethay?” kata Boe Kie, “Aku hanya mengharap supaya Soethay suka menaruh belas kasihan.”
“Can Siangkong, tak usah banyak bicara dengan bangsat tua itu!” teriak Gouw Kin Co. “Kami lebih suka mampus daripada menerima belas kasihannya yang diliputi kepalsuan.”
Biatcoat mengawasi Bie Kie dengan sroto mata tajam. “Siapa gurumu?” tanyanya.
Goe Kie berpikir sejenak. “Ayah dan ayah angkatku pernah mengajar ilmu silat kepadaku tapi mereka bukan guruku,” katanya didalam hati. Maka itu, ia lantas saja menjawab, “Aku tidak punya guru.”
Jawaban itu mengejutkan semua orang. Dalam Rimba Persilatan, seorang guru sangat dihormati. ADalah lumarh jika seorang murid tidak mau menyebutkan nama gurunya, tapi tak mungkin terjadi bahwa seoran gyan gmempuynya guru mmengatakan tak punya guru. Makau itu kalau Boe Kie mengatakan tak punya guru, ia pasti tak punya guru.
Sekarang Biatcoat tak mau banyak omong lagi. “Sambutlah!” katanya seraya menepuk dengan tangannya.
Boe Kie tidak bisa tidak melawan. Sambil mengerahkan Lweekang, ia mendorong dengna kedua tangannya untuk menyambut pukulan si nenek. Mendadak Biatcoat menundukkan tangannya dan bagaikan seorang ikan kecil, tangan itu melejit dari sambutan Boe Koe. Akan kemudian bagaikan kilat, menyambar kedada pemuda itu. Dalam kagetnya, tenaga Kioe-yang Sin kang dalam tubung Boe Kie keluar secara wajar. Pada detik kedua tenaga hampir beradu, tenaga pukulan Biatcoat mendadak menghilang. Dengan tercengang Boe Kie mengawasi si nenek. Pada saat itulah, mendadak ia merasa dadanya seperti dipukul martil, kakinya bergoyang dan ia berjumpalitan beberapa kali. “Uah!” ia memuntahkan darah dan roboh.
Tenaga pukulan Biatcoat yang sebentar ada dan sebentar hilang, sungguh2 merupakan ilmu yag sudah mencapai puncak kesempurnaan. Tanpa merasa, dengan serentak semua orang bersorak sorai.
Sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati Coe Jie melompat dan berlari2 menghampiri “AGoe Koko, kau… kau… “ katanya seraya coba membangunkannya.
“Boe Kie merasa dadanya menyesak. Ia menggoyang2kan tangannya dan kemudian berkaa dengan suara perlahan. “Jangan kuatir, aku tak mati.” Perlahan2 ia merangkak bangun.
Biatcoat menengok pada tiga murid perempuannya dan berkata “Putuskan lengan kanan semua siluman itu!”
“Baik,” jawab mereka seraya bertindak kearah orang2 Swie Kim Kie.
“Biatcoat Soethay,” kata Boe Kie tergesa2.
“Kau mengatakan, jika aku… aku bias menerima tiga pukulanmu, kau akan melepaskan mereka. Aku sduah menerima pukulan pertama… masih ada dua.”
Sesudah mengirim pukulan yang barusan, si nenek mengetahui, bahwa Lweekang Boe Kie bukan saja bukan Lweekang dari golongan Mo kauw, malah hampir sama dengan Lweekangnya sendiri. Ia juga tahu, bahwa biarpun ia mencoba melindungi orang2 Mo Kauw, Boe Kie bukan anggota “Agama” itu. Maka itu, ia lantas saja berkata. “Anak muda! Jangan kau coba mengurus urusan orang lain. Lurus dan sesat harus dibedakan sejelas2nya. Barusan aku hanya menggunakan sepertiga bagian tenagaku. Apa kau tahu?”
Boe Kie yakin, bahwa sebagai Ciangboenjin Biat Coat tentu tidak berdusta. Tapi ia sudah mengambil keputusan, bahwa biarpun mesti mati, ia tak bias mengawasi penyembelihan terhadap orang2 Mo Kaouw sambil berpeluk tangan. “Dengan tidak mengimbangi tenaga sendiri, biarlah aku menerima dua pukulan lagi,” katanya.
Boe Kie tidak menghiraukan dan segera berkata pula, “Biatcoat Soethay….” Tapi ia hanya dapat mengeluarkan empat perkataan itu, karena mendadak Ia memuntahkan darah lagi.
Coe Jie bingung bukan main. Tiba2 ia bangun berdiri dan coba memapah pemuda itu. Tapi dilain saat, kedua ulunya lemas kembali dan ia jatuh pula dipasir. Ternyata, walaupun “hiat” yang ditotok oleh Biatcoat sudah dibuka Boe Kie, tapi darahnya belum mengalir biasa. Sekarang melihat pemuda itu terluka, dalam kagetnya ia dapat berdiri dan bergerak. Kejadian itu bersamaan sebab musababnya dengan seorang lumpuh, yang dalam kebakaran mendadak bias lari cepat. Tapi semangat dan tenaga Coe Jie yang luar biasa hanya keluar untuk sementara waktu.
Dengan rasa mendongkol Biatcoat menghampiri si nona yang dianggapnya rewel. Ia mengimbas tangan jubahnya dan tubuh Coe Jie terapung kebelakang. Cioe Cie Jiak yang berdiri di sebelah belakang buru2 menyangga badan si nona dengan kedua tangannya dan kemudia, perlahan2 menaruhnya di atas pasir.
“Ceoi cie cie,” kata Coe Jie, “cobalah bujuk supaya dia jangan menerima kedua pukulan lagi. Ia akan menurut apa yang kau katakan.”
“Bagaimana kau tahu dia akah menurut?”” tanyanya nona Cioe dengan heran.
“Dia suka kepadamu,” jawabnya. “Apakah kau tak tau?”
Paras muka Cie Jiak lantas saja bersemu dadu.
“Mana bias jadi!” katanya, kemalu2an.
Sementara itu sudah terdengar suara Biao coat yg menyeramkan. “Kau sendiri yang cari mati dan kau tak boleh menyalahkan aku”. Seraya berkata begitu, ia mengangkat tangan kanan nya dan menghantam dada Boe Kie.
Pemuda itu tak berani menangkis. Bagaikan kilat ia mengengos. Si nenek tiba2 menekuk sedikit sikunya dan dari sudut yang tidak diduga2, telapak tangannya menyambar punggung Boe Kie. “Plak!” dan tubuh pemuda (??? Tidak terbaca)
Boe Kie roboh tanpa berkutik lagi, seolah2 ia sudah putus jiwa. Pukulan Biatcoat sebenarnya pukulan yang lihai luar biasa dan menurut partai kawan2nya dari lain lan partai harus bersorak sorai untuk memujinya. Tetapi semua orang berdiam seperti patung, karena didalam hati, mereka merasa kasihan dan kagum terhadap pemuda itu yang telah mengunjuk perbuatan seorang kesatria.
“Coe ciecie,” kata Coe Jie dengan suara parau, “aku memohon… memohon… lihat… lihat… lukanya!”
Jantung nona Cioe memukul keras. Permintaan itu diajukan dengan meratap dan didalam hati, ia ingin sekali memenuhinya. Akan tetapi mana ia berani? Kalau ia menolong Boe Kie, berarti ia tidak mengindahkan guru sendiri. Kakinya sudah melangkah, tetapi di tarik lagi.
Beberapa saat kemudian, perlahan lahan tubuh pemuda itu bergerak dan kemudian, ia mencoba untuk berduduk. Tapi setelah beberapa detik mengandalkan sikutnya di pasir kuning, tenaganya habis dan ia terus roboh kembali.
Ketika itu,matahari sudah memancarkan sinarnya yang gilang gemilang dan semua orang bisa melihat bahwa Boe Kie seolah tidur dikobakan darah.
Pemuda itu berada dalam keadaan lupa ingat. Tanpa bergerak ia rebah dan ingin sekali bisa rebah disitu untuk selama lamanya. Tapi sayup2 ia ingat, bahwa untuk menolong orang2 Swie Kim Kie, ia maish haru smenerima satu pukulan lagi. Sesaat kemudian, ia menarik napas dalam2 dan dengan dorongan tenaga kemauan yg tiada taranya tiba2 ia teruduk! Tapi badannya lantas saja bergemetaran dan setiap detik, ia bisa roboh kembali.
Semua orang mengawasi dengan mata membelak.
Disekitar itu terdapat ratusan manusia. Tapi keadaan sunyi senyap bagaikan kuburan dan andaikata sebatang jarum ditanah, suaranya munkgin dapat didengar orang.
Dalam susunan itulah dalam otak Boe Kie mendadak berkelebat beberapa baris perkataan dalam Kioe yang Cing Keng yang berbunyi begini:
“Dia kuat, biarlah dia kuat,
Angin sejuk meniup bukit,
Dia ganas, biarlah dia ganas,
Bulan terang menyoroti sungai.”
Sebegitu jauh, semenjak meninggalkan lembah itu ia belum pernah bisa menangkap artinya perkata2an itu. Sekarang, dalam menghadapi kekuatan dan keganasan Biat coat yang sama sekali bukan tandingannya, sekonyong2 otaknya seperti dapat menangkap arti daripada perkataan2 itu, yang seperti juga ingin mengunjuk, bahwa tak perduli bagaimana kuat dan ganasnya musuh, kita selalu dapat menganggapnya seperti angin yang meniup bukit atau rembulan yang memancarkan sinarnya diatas sungai. Angin dan rembulan itu takkan bisa mencelakai kita.
Tapi bagaimana? Bagaimana kita harus berhubungan sehingga kekuatan dan keganasan itu tidak menolakan kita?
Perkataan selanjutnya dalam Kioe yang Cia Keng adalah seperti berikut.
Biar dia ganas
Biar dia jahat
Bagiku cukuplah jika aku sekali menyedot hawa tulen!
Hawa tulen!
Sekarang Boe Kie tersadar. Baru2 ia bersila dan sesuai dengan ajaran kitab itu, ia menjalankan pernapasan dan mengalirkan hawa “tulen” seluruh tubuhnya.
Dalam sekejap, ia merasa semacam hawa panas muncul dibagian “tian2” (pusar) dan hawa tulen mengalir terputar putar diseluruh tubuhnya, terus sampai ketangan dan kaki. Ia kagum bukan main. Baru sekarang ia tahu hebatnya ajaran Kioe yang Cin Keng. Ia mendapat luka berat, tapi tanaga dalam dan hawa “tulen” yang berada dalam tubuhnya sedikitpun tak berubah.
Hiat coat terus memperhatikan garak gerik pemuda itu dengan perasaan heran. Ia mengerti, bahwa Boe Kie benar2 kuat dan alot. Pukulannya yg pertama adalah salah satu pukulan dari Piauw soat Coan in ciang (pukulan salju melayang menembus awan). Pukulan kedua lebih liehay lagi yaitu Ciat chioe Kioe-sit dan yang telah digunakan olehnya adalah jurus ketiga. Kedua pukulan itu yalah pukulan2 terhebat dari ilmu silat Go Bie pay. Dalam pukulan pertama ia hanya menggunakan tiga barisan tenaga. Menurut perhitungannya, biarpun tidak mati, Boe Kie akan terluka berat dan patah tulang. Tapi tak dinyana, sesudah rebah beberapa saat, ia bisa duduk lagi (Ciat Chioe Kio sit).
Pukulan yang memutuskan terdiri dari sembilan jurus.
Menurut perhitungan pie boe (adu silat) dalam Rimba Persilatan, Biat coat sebenarnya boleh tidak usah menunggu sampai Boe Kie menjalankan pernapasannya untuk mengobati luka. Tapi sebagai orang tua yang berdudukan tinggi, ia merasa malu untuk turun tangan selagi lawan nya yang masih muda belia berada dalam bahaya.
Tapi Teng Bie Koen merasa tidak sabaran lantas saja berteriak, “Hie orang she Can! Jika kau tak berani menerima pukulan ketiga dari guruku, lebih baik kau lekas lekas berlalu dari sini. Apakah karat mesti menggu kau seumur hidup disini?”
“Teng Soe cie, biarlah ia mengaso lebih lama sedikit,” kata Cioe Cie Jiak dengan suara pelan.
Si perempuan she Tang lantas saja jadi gusar. “E!” bentaknya “Apa…. Apa kau mau melindungi orang luar? Apa karena melihat bocah itu…” Ia sebenarnya ingin mengatakan “apa karena melihat bocah itu tampan mukanya kau jadi menuju padanya,” tapi mendadak ia ingat, bahwa dihadapan begitu banyak orang dari berbagai partai, tidaklah pantas ia mengeluarkan kata2 sekasar itu. Maka itu, perkataannya putus di tengah jalan. Tapi tentu saja semua orang mengerti, apa yang ia mau mengatakan.
Cioe Cie Jiak malu bercampur gusar, sehingga mukanya berubah pucat, “Siaowmoay berakta begitu karena mengingat keangkeran partai dan guru kita,” katanya dengan tawar. “Siauwmoay tak mau orang luar berbicara yang tidak2.”
“Tidak, tidak apa?” bentak sang kakak.
“Ilmu silat partai kita tersohor dikolong langit dan guru kita seorang cian pwee yg berkedudukan sangat tinggi,” jawabnya dengan bernapsu. “Maka itu, guru kita pasti tidak boleh mempunyai pandangan ygn bersamaan dengan seorang bocah. Hanyalah karena dia sangat kurang ajar, maka guru kita sudah memberi ajaran kepadanya. Apa Soecie menduga SoeHoe benar2 mau mengambil jiwa bocah itu? Selama kurang lebih seratus tahun, partai kita dikenal sebagai parai dari para ksatria. Guru kita dikagumi orang berkata kesatriaannya dan kemudian hatinya yang selamanya bersedia untuk memotong sesama manusia. Bocah itu adalah seperti api lilin, sehingga cara bagaimana dia dapat menandingi matahari dan rembulan. Biarpun dia berlatih seabad lagi, dia masih belum tentu bisa menandingi guru kita. Maka itu, apa jahatnya jika kita membiarkan dia mengaso terlebih lama?”
Indah sungguh pembelaan nona Cioe!
Semua orang manggut2, sedang orang yg plg bergirang adalah Biat Coat sendiri. Ia merasa, bahwa murid yg kecil itu sudah mengangkat baik nama Go bie pay dihadapan orang banyak.
Sesudah hawa “tulen” mengalir disekujur badannya, tenaga Boe Kie pulih kembali, semangatnya terbangun dan otaknya terang lagi. Setiap perkataan nona Cioe didengar jelas olehnya dan ia merasa sangat berterima kasih, karena tahu bahwa dengan berkata begitu, si nona coba menyelamatkan jiwanya. Beberapa saat kemudian ia bangun berdiri seraya berkata, “Soethay biarlah boanpwe membuang jiwa dalam menerima pukulan terakhir.”
Tak kepalang herannya si nenek. Ia sungguh tidka mengerti, cara bagaimana, dengan hanya bersila beberapa saat tenaga pemuda itu sudah pulih kembali. Apa dia mempunyai ilmu siluman? Sambil menatap wajah Boe Kie, ia berkata, “Sekarang kau boleh menyerang aku. Mengapa kau tidak mau membalas?”
Boe Kie bersenyum getir. “Dengan kepandaian yg tidak artinya, jubah Soethay saja boanpwee tak akan dapat menyentuh,” jawabnya. Bagaimana boanpwee bisa menyerang?”
“Kalau kau tahu, pergilah lekas2,” kata si nenek dengan suara lebih sabar. “Pemuda yang seperti kau memang suka dicari tandingannya. Biat coat Soethay sebenarnya tidak pernah mengampuni orang tpai hair ini aku melanggar kebiasaan itu.”
Boe Kie membungkuk seaya berkata, “Terima kasih atas kasihan Cianpwee mengampuni juga saudara2 dari Swie Kim Kie?”
Kedua alis nenek turun dan ia tertawa dingin. “Kau tahu apa Hoat Bengku?” tanyanya. (Hoat Beng nama seorang pendeta).
“Nama Ciapwee yang mulia ialah Biat dan Coat,” jawabnya. (Biat berarti memusnakan sedang Coat bearti menumpas atau membinasakan).
“Bagus,” kata si nenek. “Aku bertekad untuk memusnakan dan menumpas semua kawanan Mokauw. Apa kau kira “Biat coat” suatu nama kosong?”
“Kalau begitu biarlah Cianpwee mengirim pukulan yang ketiga kata Boe Kie.”
Si nenek tercengang. Seumur hidup ia belum pernah bertemu dengan manusia yang begitu nekad dan keras kepala. Ia sebenarnya seorang berhati dingin. Tapi sekarang tiba2 ia merasa sayang kalau pemuda gagah seperti Boe Kie harus mati konyol. Sesudah memikir sejenak ia segera mengambil keputusan untuk memukul saja di bagian tan tian supaya pemuda itu pingsan untuk sementara waktu dan kemudian, sesudah membinasakan orang orang Swe Kim Kie, ia dapat menolongnya lagi. Memikir begitu ia segera mengibas tangan kirinya dan bergerak untuk mengirim pukulan ketiga.
Sekonyong2 dari tempat jauh terdengar teriakan, “Biat Coat Soethay, tahan!” suara itu tahan luar biasa dan telinga semua orang merasa tak enak.
Dilain saat seraya menggoyang goyangkan kipas seorang pria sudah berdiri dihadapan sinenek. Orang itu mengenakan baju warna putih dna pada tangan baju sebelah kiri tersulam sebuah hiat-chioe (tangan berlumuran darah). Waktu berjalan tak sebutir pasirpun naik keatas dan semua orang lantas saja mengerti, bahwa ia adalah seorang yang berkedudukan tinggi dalam Peh bie Kauw.
Seragam resmi Peh Bie kauw, sama dengan seragam Mo Kauw yaitu pakaian warna putih. Perbedaannya ialah kalau di tangan baju anggauta Mo-kaow terdapat sulaman obor, anggauta Peh bie kauw menggunakan tanda hiat chioe.
Sambil menyoja orang itu tertawa dan berkata, “Soethay selamat bertemu. Pukulan ketiga biarlah diterima olehku.”
“Siapa kau?” tanya biat coat.
“Aku she In namaku yang rendah Ya Ong,” jawabnya.
Mendengar nama “In Ya Ong” semua orang terkejut. Selama kira2 duapuluh tahun, nama itu menggetarkan dunia Kang ouw. Ayahnya yaitu Peh bie Eng ong In Thian Cong memusatkan seantero perhatiannya dalam pelajaran ilmu silat dan mneyerahkan semua urusan Pe bie kauw kepadanya, secara resmi. In Ya Ong hanya hiocoe, Thian wie tong, tapi sebenarnya ia seorang wakil Kauw coe.
Dengan mata tajam Biat coat mengawasi jago Peh Bie Kauw itu baru berusia kira2 empatpuluh tahun. Tapi bermata sangat tajam, seolah2 sinar kilat yang dingin. “Pernah apakah bocah itu kepadamu?” tanyanya dengan suara dingin.
Jantung Boe Kie memukul keras. Hampir2 ia berteriak. “In Koekoe-ke!” (Koe Koe – paman, saudara lelaki dari ibu).
In Ya Ong tertawa besar, “Aku belum pernah mengenal dia,” jawabnya. “Tapi karena melihat jiwanya yg luhur, yang berbeda dengan manusia2 palsu dalam Rimba persilatan, maka aku merasa sayang dan didalam hatiku lantas saja timbul niatan untuk menjajal tenaga Soethay” Perkataannya yg paling belakang tidak sungkan2, seolah2 ia tidak memandang mata kepada si nenek.
Tapi Hiat coat tidak menjadi gusar. “Bocah,” katanya kepada Boe Kie. “Kalau kau ingin hidup lebih lama, kau masih mempunyai kesempatan.”
“Untuk menyelamatkan jiwa sendiri, boanpwee tidak berani melupakan budi orang”, jawabnya.
Si nenek mengangguk dan lantas saja berkata kepada In Ya Ong, “Anak ini masih hutang satu pukulan. Perhitungan harus dibereskan satu persatu. Sebentar, sesudah beres yang satu, aku pasti tidak akan mengecewakan tuan.”
In Ya Ong tertawa terbahak2. “Biat coat Soe Thay!” bentaknya. “Kalau kau mempunyai nyali binasakanlah anak itu! Jika dia binasa, kamu semua, tak seorangpun yang bakal terluputkan mampus tanpa kubura!” seraya berkata begitu bagaikan melayang diudara, ia berlalu dari hadapan si nenek. “Keluar semua!” teriaknya.
Hampir berbareng, diseputar rombongan Biat coat dan kawan2nya, muncul sejumlah besar orang yg membekal tameng dan kedua tangannya mementang busur, dengan semua anak panah ditujukan ke arah rombongan Biat Coat.
Ternyata selagi Biat Coat berurusan dengan Boe Kie, kawanan Peh Bie Kauw telah membuat parit di pesisir dan sudah mengurung rombongan musuhnya. Perkerjaan itu dilakukan tanpa di ketahui oleh siapapun jua, karena perhatian semua orang ditujukan kepada Biat Coat dan Boe Kie.
Paras muka semua orang lantas saja berubah pucat. Dengan melihat mata anak panah yang berwarna biru, mereka tahu, bahwa senjata itu mengandung racun. Sekali In Ya Ong memberi perintah, kecuali beberapa orang yang berkepandaian tinggi, mereka semua akan binasa.
Diantara orang2 lima partai yg berada disitu, Biat Coatlah yang berkedudukan paling tinggi. Maka itu semua oran gmengawasinya dan menunggu keputusannya.
Si nenek adalah manusia keras kepala. Biarpun ia menarik, bahwa pihaknya telah menghadapi bencana, sikapnya tetap tidak berobah. “Bocah kau tidak boleh menyalahkan orang lain untuk nasibmu,” katanya kepada Boe Kie. “Dilain saat tulang2 dlm tubuhmu berkerotokan seperci kacang di goreng,” dan kemudian dengan telapak tangan menepuk dada Boe Kie.
Pukulan itu pukulan terlihat Go Bie Pay dan dikenal sebagai Hoedkong Po-tiaw (Sinar Budha menyorot diselebar dunia). Menurut kebiasaan ilmu silat, setiap pukulan berisi sejumlah jurus yg saling susul seperti mata2 rantai dan saban jurus mengandung pula perubahan2 yang tidak sedikit jumlahnya. Tapi Hoedkong Po-tiauw hanya sejurus dan jurus itu tidak ada perubahannya. Biarpun begitu jurus tunggal itu lihai bukan main. Tak nanti ada manusia yang dapat mengelakkannya. Tenaga dahsyat terdapat didalamnya adalah Go Bie Kioe yang kang. Pada jaman itu dalam kalangan Go Bie Pay hanya Biat Coat soerang yg dapat menggunakan pukulan tersebut.
Semula si nenek hanya ingin memukul tantian Boe Kie, supaya ia pingsan untuk sementara waktu. Tapi sesudah munculnya In Ya Ong, ia mengambil keputusan untuk tidak malu kasihan lagi. Menurut anggapannya, jika ia menaruh belas kasihan kepada Boe Kie it artinya takut menghadapi In Ya Ong. Demikianlah ia mengirim Hoedkon Po Tiauw dengan seantero tenaga Go Bie Kioe yang kang.
Mendengar suara berkerotoknya tulang2 si nenek, Boe Kie mengerti, bahwa ia akan di serang dengan pukulan membinasakan. Ia tahu jiwanya tergantung atas selembar rambut. Pada detik itu untuk menolong jiwa, ia hanya mempunyai satu pegangan, yaitu perkataan yg terdapat dalam Kioe yang cie keng. “Biar dia jahat, biar dia ganas, bagiku, cukuplah jika aku sekali menyedot hawa tulen.”
Maka itulah tanpa menghiraukan segala apa ia segera mengerahkan pernapasannya dan mengumpulkan hawa tulen didadanya.
“Plak!” telapak tangan Biat coat mampir tepat di dada Boe Kie!
Semua orang terkesikap, beberapa antaranya mengeluarkan seruan tertahan. Mereka menduga tulang2 pemuda itu akan hancur. Tapi muka Boe Kie kelihatan seperti orang kaget. Tapi ia tetap berdiri tegak diatas pasir, sedang paras Biat Coat pucat pasi bagaikan mayat, tanggannya yang barusan memukul bergetar.
Apa yang sudah terjadi?
Tenaga pukulan Hoed kong Po tiauw adalah Go bie Kioe yang kang. Yang digunakan Boe Kie tenaga Kioe yang sin kang, Go Bie Kioe yang kang digubah Kwee Siang sesudah mendengari Kak Wan Tay Soe menghafal Kioe yan Cin Keng. Karena hanya mendengar satu kali, maka dapatlah di mengerti, jika Kwee Siang tidak dapat menangkap isi kitab itu. Maka itu, Go Bie Kioe yang kang tidak dapat dibandingkan dengan Kioe yang Sin kang dari Boe Jie yang mendapatkannya dengan membaca kitabnya sendiri. Dengan lain perkataan Kioe yang Sin kang Boe Kie yang lebih tulen dan lebih murni terlebih kuat daripada Go Bie Kioe yang kang yg di miliki Biat Coat. Sebagai akibatnya, begitu lekas kedua tenaga kebentrok, Go Bie Kioe yang kang hilang bagaikan batu jatuh di laut.
Untuk sedetik Boe Kie merasa dadanya tergetar, tapi dilain saat, seluruh tubunya berubah nyaman dan semangatnya bertambah besar.
Mengapa?
Karena Go Bie Kioe yang kang dihisap Kioe yang sin kang dan tenaga Go Bie Kioe yang kang berbalik menambah tenaga Boe Kie. Pemuda itu tak sengaja menghisap tenaga si nenek. Itu semua sudah terjadi secara wajar, sebab kedua rupa tenaga bersamaan sifatnya, sehingga yang lebih kuat menyedot yang lebih lemah.
Dalam pukulan pertama kedua Biat coat tak menggunakan Go Bie yang kang dan Boe Kie sudah terluka.
Sebab musabab dair ini semua tak di ketahui oleh siapapun jua. Semua orang Rimba persilatan sudah mendengar bahwa didalam dunia terdapat Kioe Im Cin Keng. Tapi semenjak kerajaan Lam Song, Kioe Im menghilang dari Rimba persilatan. Disamping Kioe Im ada Kioe Yang cin kang. Tapi kecuali kak wan tay soe, belum pernah ada manusia yang dapat melihatnya,s ehingga secara aneh dan kebetulan, Boe Kie mendapatkannya dari perut seekor kera. Maka itu kenyataan Go Bie Kioe yang sin kang tidak di ketahui oleh siapapun jua, bahkan tak diketahui pula oleh Biat Ciat sendiri yang hanya menggangap bahwa pemuda itu memiliki Lweekang yang sungguh2 luar biasa.
Sebab mempunyai Lweekwang yg sangat tinggi biarpun dalam bentrokan itu tenaga Go Bie Kie yang kang telah terhisap, lweekang Biat Coat tidak menjadi rusak dan ia sama sekali tak mengunjuk tanda ygn jelek. Maka itu, ratusan orang yang menyaksikan peristiwa itu memberi tafsiran yg beraneka warna. Ada yg menduga si nenek menaruh belas kasihan, ada yg menduga dia tak mau mencelakai jiwa ratusan lawan dan ada juga yg menduga berayali kecil dan takut akan ancaman In Ya Ong.
Sementara itu Boe Kie menyoja sambil membungkuk. “Terima kasih atas belas kasihan Soe thay,” katanya.
Biat Coat mengeluarkan suara dihidung. Ia malu bercampur gusar. Ia sekarang serba salah, kalau memukul lagi, sebagai seorang cianpwee ia tak menepati janji. Kalau menyudahi saja, ia seperti jug mukuek lutut dibawah ancaman Peh Bie Kauw.
In Ya Ong tertawa terbahak2. “Orang yang bisa melihat selatan adalah seorang gagah katanya.” “Tak mau Biat Coat menjadi sorang yg berkedudukan tinggi pada jaman ???.” Ia mengibas tangannya dan membentak “Mundur semua!”
Dengan serentak dan rapi, pasukan anak panah Peh Bie Kauw menghilang dalam parit.
Biat Coat malu besar, tapi orang tentu tidak mau percaya, jika ia mengatakan, bahwa barusan ia memukul sungguh2. orang tentu menggangap, bahwa ia takut akan ancaman In Ya Ong. Maka itu ia hanya mengawasi Boe Kie dengan sorot mata gusar. Sesaat kemudian, ia berseru, “In Ya Ong! Jika kau ingin menjadi pukulanku, marilah!”
“Sesudah hari ini menerima budi Soethay, aku tak berani membuat kdeosaan lagi,” jawabnya. “Di hari kemudia masih ada kesempatan untuk bertemu pula.”
Si nenek mengibas tangannya dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengajak murid2nya pergi ke arah barat. Rombongan Koen Loen Hwasan dan Kongtong bersama In lie Heng dan Song Ceng Soe lantas berangkat.
Coe Jie yang masih belum bisa jalan lantas saja berteriak “A Go koko! Bawalah aku pergi dari sini!”
“Tunggu sebentar,” kata Boe Kie yang inign bicara dengan In Ya Ong. Ia mendekati dan berkata. “Terima kasih atas budi cianpwee, Boanpwee takkan dapat melupakannya.”
Sambil mencekal tangan pemuda itu dan mengawasi mukanya dengan mata tajam. In Ya Ong bertanya. “Apa benar kau she Can?”
Didalam hati Boe Kie ingin sekali menubruk dan memeluk pamannya, tapi sebisa bisa ia mempertahankan diri. Bahwa terharu, kedua matanya mengembang air.
Kata orang, “Melihat paman seperti melihat ibu sendiri.” Sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia, selama belasan tahun, baru sekarang Boe Kie berjumpa dengan keluarga sendiri sehingga dapatlah di mengerti, jika ia merasa sangat terharu. Di lain pihak, In Ya Ong hanya menafsirkan menangisnya pemuda itu sebgai suatu tanda berterima kasih. Tiba2 ia melihat Coe Jie yg rebah di tanah dan ia terus saja tertawa dingin. “A lee,” tegurnya. “Apa kamu sudah tidak mengenal aku?”
Paras si nona lantas saja berubah. “Thi!” katanya dengan suara bergemetar.
Boe Kie terkejut dan berbareng ia melihat segala apa yg semula gelap baginya. “Ah! Kalau begitu ia putrinya Koekoe dan saudari sepupuku,” pikirnya. “Ia telah membunuh ibu tirinya, menyebabkan meninggalnya ibu kandungnya sendiri dan ia mengatakan, bila bertemu ayahnya, akan membunuh dirinya…. Ah! Ia membinasakan In Boe Lok dengan Cian coe Ciat hoe cioe. Mungkin sekali ketiga orang itu pernah menyakiti hatinya. Biarpun membenci In Boe Hok dan In Boe Sioe tidak berani melawan dia dan lari dengan membawa mayat Boe Lok….” Ia mengawasi si nona dan berkata pula dalam hatinya. “Tak heran ia agak mirip dengan ibu. Tak dinyana, ibuku adalah bibinya sendiri.”
Sementara itu, seraya tertawa dingin In Ya Ong berkata. “Hm!… kau masih memanggil aku ‘thi’. Kukira sesudah mengikuti Kim hoa Popo, kau tak memandang sebelah mata lagi kepada Peh Bie kauw. Kau tiada bedanya denagn ibumu. Hm!… mempelajari Ciaon coe ciat hoe cioe. Ambillah kaca pandang mukamu yg tak keruan macam. Apakah didlm keluarga In ada manusia yg beroman seperti memedi?”
Coe Jie ketakutan dan menggigil. Tiba2 ia mendongak dan menatap wajah ayahnya. “Thia” katanya dengan nyaring. “Jika kau tak menyebutkan kejadian dahulu hari, akupun takkan menggusik usiknya. Tapi sesudah kau menyebutkan itu, kini aku ingin menanya. Ibu telah menikah denganmu dan telah merawat engkau sebagai mana mesti. Tapi kenapa kau mengambil istri kedua?”
“Kurang ajar kau!” bentak sang ayah. “Orang lelaki manakah yang tak mempunyai beberapa istri dan gundik? Kau berdosa besar… tak guna kau coba membela diri dengan pertanyaan2 kurang ajar… hm… Kim hoa Popo… Gin hip Sian Seng… sedikit pun kau tak memandang mata kepada Peh bie kauw”. Sambil menengok kepada In Boe Hok dan In Boe Sioe, ia berkata, “Bawa budak ini!”
“Tahan!” kata Boe Kie. “In… Cian pwee, perlu apa kau membawa dia?”
“Budak ini adalah anakku sendiri,” jawabnya dengan mendongkol. “Dia meracuni ibu tirinya sehingga mati dan diapun menyebabkan matinya ibu kandungnya sendiri. Perlu apa manusia binatang itu dibiarkan hidup didalam dunia?”
“Waktu itu In Kouwnio masih sangat muda dan sebab jengkel melihat ibunya dihina orang. Ia sudah melakukan perbuatan yg tak pantas,” kata pula Boe Kie. Dengan mengingat kecintaan antara ayah dan anak, aku mengharap Cianpwee suka mengampuninya.”
In ya Ong tertawa terbahak2. “Bocah! Siapa sebenarnya kau, sehingga kau berani campur2 urusan rumah tanggaku? Apakah kau seorang Boe Lim Cie Coen?”
Didalam hati Boe Kie ingin menjawab, “Aku bukan orang luar, aku keponakanmu,” tapi perkataan itu yang sudah hampir keluar ditelan lagi.
Sesudah berdiam sejenak, In Ya Ong berkata pula, “Bocah secara mujur, hari ini jiwamu ketolongan. Tapi jika kau tidak mengubah adat, jika kau terus coba2 campur urusan orang, biarpun kau mempunyai sepuluh jiwa juga tak cukup.” Ia mengibas tangannya dan In Boe Hok serta In Boe Siong segera mengangkat Coe Jie dan menaruhnya dibelakang In Ya Ong.
Boe Kie mengerti, bahwa begitu lekas si nona dibawa oleh ayahnya, jiwanya pasti akan melayang. Dalam bingungnya, ia melompat merampasnya. Alis In Ya Ong berkerut. Bagaikan kilat tangannya menyambar dan mencengkram dada Boe Kie yang lalu dilontarkan. “Bruk!” ia ambruk di pasir kuning. Dengan Kie yang Sin Kang melindungi dirinya. Ia tidak dapat mendapat luka; tapi muka dan pakaiannya gelepotan pasir. Dengan cepat ia merangkak bangun dan lekas mengulangi usaha untuk merampas Coe Jie.
“Bocah!” bentak In Ya Ong. “Barusan aku menaruh belas kasihan. Tapi sekali lagi aku tak akan menaruh sungkan.”
“In… cian pwee,” meratap Boe Kie. “Dia adalah anak kandungmu sendiri. Dahulu kau sedang mendukung ida… kau pernah menyintainya… Dengan mengingat kecintaan itu, ampunilah dia…”
Mendengar ratapan itu, hati In Ya Ong tergerak jg. Ia mengawasi puterinya, tapi begitu melihat muka Coe Jie yg tak keruan macamnya, darahnya meluap lagi. “Minggir!” bentaknya.
Sebaliknya daripada menyingkir, Boe Kie melompat pula merebut si nona.
“A Goe Koko,” kat Coe Jie. “Kau tak usah mempedulikan aku!” Aku takkan melupakan budimu. Pergilah! Kau bukan tandingan ayahku.”
Pada saat itulah mendadak muncul seorang pria yang mengenakan jubah berwarna hijau. Dengan kedua tangan ia mencekal belakang leher In Boe Hok dan In Boe Sioe dan lalu membentrokkan kepala kedua orang itu yang lantas saja menjadi pingsan. Hampir berbareng, dengan kecepatan kilat, ia mendukung tubuh Coe Jie dan segera kabur.
“Ceng ek Hong ong!” bentak In Ya Ong dengan gusar. “Kau juga mau campur2 urusanku!”
Ceng ek Hok ong Wie It Siauw tertawa dan terus lari dengan secepat2nya. Sesuai dengan namanya “It Siauw” (Sekali tertawa), tertawa2nya nyaring dan panjang luar biasa.
In Ya Ong dan Boe Kie lantas saja mengubar. Kali ini Ceng ek Hok ong tak lari berputaran tapi terus menuju kejurusan tenggara. Dia sungguh lihai. In Ya Ong adalah seorang ahli silat kelas utama yg mempunyai lweekang sangat tinggi, sedang Boe Kie memiliki Kioe yang sin kang. Tapi makin lama mereka mengejar, Wie It Siauw yang mendukung orang, mereka ketinggalan makin jauh, sehingga si Raja Kelelawar tidak kelihatan bayang2nya lagi.
Bagaikan kalap, In Ya Ong mengubar terus. Diam2 dia merasa heran karena Boe Kie bisa terus merendenginya. Sesudah tak punya harapan menyusul musuh ia sekarang ingin menjajal kepandaian pemuda itu. Ia segera menggunakan seantero tenaga dalamnya dan lari bagaikan anak panah yg baru terlepas dari busurnya. Tapi pundak Boe Kie tetep berendeng dengan pundaknya. Tiba2 pemuda itu berkata, “In cianpwee, meskipun Ceng ek Hong bisa lari sangat cepat, lweekang nya belum tentu seberapa tinggi. Cobalah kita mengubar terus untuk mencoba kekuatannya.
In Ya Ong kaget bukan main. “Dengan lari secepat ini, aku telah menggunakan seantero tenaga dalamku,” pikirnya. “Jangankan berbicara, bernapas salahpun sudah tak boleh. Tapi anak ini bisa berbicara dengan kecepatan lari yg tidak berubah. Apa dia mempunyai ilmu siluman?” Mendadak ia menghentikan tindakan dan dalam sedetik itu, tubuh Boe Kie sudah melesat belasan tomak jauhnya. Buru2 pemuda itu berhenti dan menghampiri In Ya Ong.
“Saudara Can,” kata In Ya Ong, “Siapakah gurumu?”
“Tidak… tidak….” Kata Boe Kie tergugu. “In Cianpwee, janganlah kau memanggil aku dengan istilah “saudara”. Panggil saja namaku A Goe. Aku tak punya guru.”
Mendengar jawaban itu, serupa ingatan tidak baik mendadak muncul dalam hati In Ya Ong. “Bocah ini memiliki kepandaian yang sangat aneh,” pikirnya. “Kalau dia hidup terus, dia bisa jadi bibit penyakit. Sebaiknya sekarang saja aku mangambil jiwanya.”
Sekonyong-konyong di tempat jauh terdengar suara terompet yang terbuat daripada keong raksasa. Itulah tanda bahaya dari Peh bie kauw.
Alis In Ya Ong berkerut.
“Tak salah lagi Ang soei dan Liat Hwee yang cari lantaran,” pikirnya. “mereka rupanya marah sebab aku tidak membantu Swie kim kie. Kalau sekarang aku menyerang dan tidak membinasakan bocah itu dengan satu kali pukul, aku mesti bertempur lama, sedang aku tak banyak waktunya. Aah…. Lebih baik aku meminjam tenaga orang, biarlah dia mampus dalam tangan Wie It Siauw.” Memikir begitu, ia lantas saja berkata. “Peh bie kauwsedang menghadapi musuh, dan aku harus segera kembali. Kau saja yang pergi mencari Wie It Siauw. Manusia itu sangat lihay dan jahat. Kalau bertemu, kau mesti turun tangan lebih dulu.”
“Kepandaianku sangat cetek, bagaimana aku bisa melawan dia?” kata Boe Kie “Musuh dari manakah yang menyerang pihakmu?”
Sesaat itu terdengar suara terompet keong.
“Benar2 Ang soei, Liat Hwee dan Houw touw yang menyerang.” Kata In Ya Ong.
“kalian semua adalah dari satu golongan Mo kauw, tapi mengapa kalian saling bunuh?” tanya Boe Kie.
Paras muka In Ya Ong berubah, “Tahu apa Kau!” bentaknya seraya memutar tubuh dan lalu berlari lari ke arah datangnya suara terompet.
Sesudah berada sendirian, Boe Kie segera teringat keselamatan Coe Jie. “Kalau lehernya digigit dan darahnya dihisap, dia tentu lantas mati” pikirnya. Mengingat begitu, ia bingung dan segera mengerahkan Lweekang, ia mengubar pula.
Untung juga, walaupun Wie It Siauw memiliki ilmu ringan badan yang sangat tinggi, tapi sebab mendukung orang, ia tidak bisa menghilangkan tapak kakinya di atas pasir. Dengan demikian, walaupun manusianya sudah tidak kelihatan, Boe Kie masih dapat mengikutinya. Ia mengambil keputusan untuk mengjar terus tanpa mengaso dan ia percaya dalam beberapa hari ia akan dapat menyusulnya.
Tapi mengubar orang berhari2 dibawah teriknya matahari bukan pekerjaan mudah. Sesudah mengubar samapi magrib, mulutnya kering dan keringat membasahi pakaiannya. Tapi sungguh heran, ia bukan saja tidak merasa lelah bahkan kekuatan kakinya tidak berubah. Tenaga Kioe Yang Sin Kang yang telah dilatihnya selama beberapa tahun, sekarang memperlihatkan manfaatnya yang tiada batasnya. Makin banyak tenaga digunakan. Semangatnya makin berkobar2. kalau haus, ia hanya meminum air dari kobakan yang terdapat di pinggir jalan dan sesudah minum ia mengejar lagi.
Waktu mengubar sampai tengah malam, dengan hati berdebar2 ia mengawasi rembulan. Ia sangat berkuatir. Ia kuatir Coe Jie keburu dibinasakan.
Sekonyong2 ia mendengar suara tindakan di belakangnya, tapi waktu menengok, tak terlihat siapapun jua. Ia lari terus. Sesaat kemudian suara tindakan terdengar pula. Ia heran bukan main dan segera memutar tubuh. Tapi ia tetap tidak melihat bayangan manusia. Dengan matanya yang sangat tajam, ia mengawasi pasir. Diatas pasir terdapat tiga renteng tapak kaki, yang satu tapak Wie It Siauw, yang lain tapak kakinya sendiri, sedang yang ketiga tapak orang itu. Tapi siapakah dia? Ia memutar badan dan mengawasi ke sebelah depan. Didepan hanya terdapat serentetan tapak yaitu tapak kaki Wie It Siauw. Dengan lain perkataan, orang itu hanya mengikuti dari belakang. Siapa dia? Apa siluman? Apa dia seorang berilmu yang bisa menghilang?
Dengan rasa heran dan sangsi, ia mengubar lagi. Lagi lagi di sebelah belakang terdengar suara tindakan!
“Siapa?” teriak Boe Kie.
“Siapa?” kata orang di belakangnya.
Boe Kie terkesiap.
“Apa kau manusia atau setan?” tanya pemuda itu.
“Apa kau manusia atau setan?” mengulangi suara itu.
Bagaikan kilat Boe Kie memutar badan. Kali ini ia melihat berkelebatnya bayangan manusia. Sekarang ia tahu, bahwa seseorang yang gerakannya cepat luar biasa sedng mempermainkan dirinya.
“Perlu apa kau mengikuti aku?” teriaknya.
“Perlu apa kau mengikuti aku?” tanya orang itu.
Boe Kie tertawa. “Bagaimana kutahu,” katanya. “Aku justru mau menanya kau,”
“Bagaimana kutahu? Aku justru mau menanya kau,” mengulangi orang itu.
Boe Kie tahu orang itu tidak mengandung maksud jahat. Kalau mau dengan mudah dia bisa mengambil jiwanya. “Siapa namamu?” tanyanya pula.
“Tak bisa diberitahukan,” jawabnya.
“Mengapa tidak bisa diberitahukan?” mendesak pemuda itu.
“Tidak bisa diberitahukan, tidak bisa diberitahukan.” Jawabnya.
“Keterangan apa lagi yang bisa diberikan kepadamu? Eh siapa namamu?”
“Aku…..aku Can A Goe,” jawab Boe Kie.
“Justa!” bentak orang itu.
“Justa ya Justa” jawabnya. “Eh sekarang aku yang mau menanya kau. Perlu apa kau berlari2 seperti orang edan di tengah malam buta?”
Boe Kie mengerti, bahwa ia sedang manghadapi sesorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Maka itu, ia lantas saja menjawab. “Salah seorang sahabatku telah ditawan oleh Ceng ek Hok ong dan aku mau coba menolongnya”
“Kau takkan mampu menolong sahabatmu” kata orang itu.
“Mengapa?” tanya Boe Kie.
“Ilmu silat Ceng ek Hok ong banyak lebih tinggi dari pada kepandaianmu. Kau takkan dapat menandinginya”
“Biarpun kalah aku mesti tetap melawan dia”.
“Bagus! Semangatmu harus dipuji. Sahabatmu seorang wanita, bukan?”
“Benar. Bagaimana kau tahu?”
“Kalau bukan wanita, tak mungkin seorang pemuda rela mengorbankan jiwa untuk menolongnya. Apa dia cantik?”
“Sangat jelek.”
“Kau sendiri? Apa mukamu bagus?”
“Mari. Datanglah dihadapanku. Kau bisa lihat sendiri”
“Tak perlu kulihat mukamu. Apa nona itu mengerti ilmu silat.”
“Cukup pandai. Dia adalah putrinya In Ya Ong Cianpwee dari Peh Bie Kauw. Dia pernah berguru pada Kim Hoa popo dari Leng coa to.”
“Tak guna kau mengubar. Wie It Siauw pasti tak akan melepaskan dia.”
“Mengapa?”
Orang itu mengeluarkan suara dihidung. “Kau sungguh tolol,” katanya.
“Pernah apa In Ya Ong kepada In Thian Ceng?”
“Mereka adalah Ayah dan anak.”
“Antara Peh bie Eng ong dan Ceng ek Hok ong, siapa yang lebih tinggi ilmu silatnya?”
“Tak tahu. Bagaimana pendapat Cianpwee.”
“Akupun tak tahu. Antara mereka berdua pengaruh siapakah yang lebih besar?”
“Eng ong adalah Kauwcoe dari Peh bie kauw. Kurasa ia lebih berpengaruh”
“Benar. Itulah sebabnya, mengapa Wie It Siauw sudah menawan cucu perempuannya In Thian Ceng. Ia ingin menggunakan nona itu sebagai semacam barang tanggungan untuk mendesak In Thian Ceng guna kepentingannya sendiri. Itulah sebabnya, mengapa menurut pendapatku Wie It Siauw tak akan melepaskan tawanannya.”
“Boe Kie menggeleng-gelengkan kepalanya. “Maksud itu tak akan tercapai.” Katanya. “Ian Ya Ong Cianpwee ingin sekali mebunuh putrinya itu.”
“Apa?” menegas orang itu dengan suara heran.
Boe Kie lantas saja menceritakan riwayatnya Coe Jie, cara bagaimana nona itu telah meracuni ibu tirinya, sehingga belakangan ibu kandungnya sendiri turut binasa.
“Tak dinyana! Tak dinyana! Sunguh2 bakat yang baik!” memuji orang itu.
“Mengapa bakat yang baik?” tanya Boe Kie.
“Dia masih begitu muda, tapi dia sudah bisa meracuni ibu tirinya dan ibu kandungnya sendiri sampai turut binasa,”jawabnya “Disamping itu dia telah mendapat pelajaran dari Kim hoa popo. Aku sungguh menyanyang nona yang jempolan itu. Sekarang kutahu, Wie It Siauw mau mengambilnya sebagai murid.”
Boe Kie kaget. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya.
“Wie It Siauw adalah sahabatku,” jawabnya. “Aku mengenal adatnya”
Pemuda itu terkesinap. “Celaka!” teriaknya dan lari sekeras-kerasnya.
Orang itu tertawa dan mengikuti dari belakang.
Sambil berlari2 Boe Kie bertanya. “Mengapa kau terus menguntit aku?”
“Aku ingin menonton keramaian,” jawabnya “Perlu apa kau mengubar Wie It Siauw?”
“Coe Jie sudah berhawa sesat, aku tak akan mengijinkan dia berguru kepada Wie It Siauw.” Jawabnya dengan suara gusar. “Celaka sungguh kalau dia menjadi siluman yang menghisap darah manusia!”
“Apa kau menyukai dia?”
“Tidak….Hanya….hanya dia mirip dengan ibuku.”
“Kalau begitu, ibumu seorang wanita yang bermuka jelek.”
“Jangan ngaco! Ibuku sangat cantik.”
Orang itu tertawa. Sesaat kemudian, ia berkata sambil menghela nafas. “Sayang! Sayang sungguh!”
“Sayang apa?”
“Semangatmu cukup baik, nyalimu cukup besar. Hanya sayang, dalam sekejap kau akan menjadi mayat yang tidak ada darahnya lagi.”
Boe Kie kaget. Didalam hati, ia membenarkan apa yang dikatakan orang itu. Andaikata Wie It Siauw dapat disusul, ia tetap tak akan dapat menolong Coe Jie. Bukan saja begitu, ia malah akan membuang jiwa secara Cuma2. maka ia lantas memohon. “Cianpwee apa bisa kau bantu aku?”
“Tak bisa,” jawabnya. “Pertama. Wie It Siauw adalah sahabatku dan kedua, belum tentu aku bisa menandingi dia.”
“Wie It Siauw adalah manusia siluman yang suka menghisap darah manusia,” kata Boe Kie”Kalau dia sahabatmu, mengapa kau tidak coba membujuknya, supaya dia tidak melakukan perbuatan yang terkutuk itu?”
Orang itu menghela nafas. “Tak guna aku membujuk dia,” katanya dengan suara duka. “Dia bukan kepingin menghisap darah secara suka2. Dia berbuat itu karena terpaksa. Kutahu, ia sendiri sangat menderita.”
“Karena terpaksa” menegas Boe Kie dengan heran. “Apa i-ia?”
“Dahulu waktu berlatih Lweekang, ia telah berbuat kesalahan besar,” menerangkan orang. “”Belakangan, setiap kali menggunakan Lweekang ia harus minum darah manusia, sebab, jika tidak, sekujur badannya kedinginan dan jika tidak tertolong, ia akan mati beku.”
Boe Kie berpikir sejenak dan kemudian berkata “Bukankah penyakit itu sudah terjadi karena ketidakberesan pada pembuluh darah Sam-in?”
“Ih! Bagaimana kau tahu?” tanya orang itu dengan heran.
“Aku hanya menebak2,” jawabnya.
“Tiga kalo aku mendaki gunung Tiang pek san untuk menangkap kodok api guna mengobati penyakitnya,” kata orang itu. Ia menghela nafas dan berkata pula. “Ketiga2 kalinya tidak berhasil. Dalam usaha yang pertama, aku bertemu seekor kodok api, tapi tidak berhasil menangkapnya. Dalam usaha yang kedua dan ketiga, kodok itu tidak terlihat bayangannya. Sesudah kesulitan yang serasa dapat diatasi, aku ingin pergi ke Tiang pek san lagi.”
“Apa boleh aku mengikuti?” tanya Boe Kie.
“Hm…Lwekangmu sudah boleh juga, tapi ilmu ringan badan masih belum cukup,” jawabnya “Nanti saja, kalau waktunya tiba, kita bicara lagi. Eh! Perlu apa kau mau membantuku?”
“Kalau berhasil, kita bukan saja akan bisa menolong Wie It Siauw, tapi juga bisa membantu lain2 orang yang dihinggapi penyakit yang sama.” Jawabnya. “Cianpwee, dia sudah pergi begitu lama dan sudah menggunakan banyak tenaga dalam. Apakah mungkin, sebab terpaksa, ia menghisap darah Coe Jie?”
“Mungkin…….memang sangat mungkin,” jawabnya.
Boe Kie sangat kuatir dan ia lari makin keras. Tiba2 orang itu berteriak. “Hei! Coba lihat, ada apa dibelakangmu?”
Pemuda itu menengok ke belakang. Mendadak matanya gelap dan tubuhnya terangkat dari bumi. Ia merasa badannya masuk ke dalam karung yang kemudian diangkat dan digendong di punggung orang itu. Dengan hati mendongkol ia mencoba merobeknya. Ia kaget sebab tak berhasil. Karung itu terbuat dari semacam kain yang a lot dan kuat luar biasa.
“Plak!” orang itu memukul pantat Boe Kie. Ia tertawa lantas berkata. “Bocah, jangan kau banyak lagak dalam karungku. Ku akan bawa kau ke suatu tempat yang menyenangkan. Kalau kau bersuara dan diketahui oleh lain orang, aku takkan bisa menolong jiwamu lagi”.
“Kemana kau akan membawaku?” tanya Boe Kie.
Orang itu tertawa. “Setelah kau masuk ke dalam karung Kian koen tay apa kau rasa bisa lari jika aku benar2 maui jiwamu?” tanyanya. “Asal kau dengar kata, tidak bergerak dan tidak bersuara, kau akan mendapat keuntungan”.
Boe Kie merasa, bahwa orang itu bicara sebenarnya dan tidak bergerak lagi.
Sekonyong2 orang itu melontarkan karungnya ditanah dan tertawa terbahak2.
“Bocah! Kalau kau bisa keluar, kau benar2 lihay,” katanya.
Pemuda itu segera mengerahkan Lweekang dan kedua tangannya mendorong ke depan sekeras2nya. Tapi karung dan a lot tu tetap utuh. Ia menendang dan memukul kalang kabutan. Karung itu tetap tak bergeming.
Selang beberapa lama. Orang itu tertawa dan bertanya “Kau menterah?”
“menyerah.” Jawabnya.
“Bahwa kau bisa masuk ke dalam karungku adalah rejekimu yang besar,” kata orang itu seraya mengangkat tangannya, menggendong di punggung dan lalu berlari2.
“Bagaimana dengan Coe Jie?” tanya Boe Kie.
“mana aku tahu?” jawabnya. “Bila rewel aku akan melemparkan kau keluar dari karungku”.
Boe Kie ingin sekali orang itu membuktikan ancamannya, tapi ia tak berani membuka mulut lagi.
Orang itu berlari-lari dengan kecepatan luar biasa. Selang beberapa jam, pemuda itu merasakan hawa yang hangat. Ia tahu matahari sudah keluar. Ia juga dapat merasakan, bahwa ia sedang dibawa ke atas gunung. Sesudah lewat kira2 2 jam lagi, hawa udara berubah dingin.
“Hm………sudah tiba di puncak yang tertutup salju,” pikirnya. Mendadak, ia merasa kurang begitu mengapung keatas dan tubuhnya seolah2 terbang di angkasa. Ia terkesiap dan berteriak. Dilain detik, orang itu sudah hinggap di tanah. Ia mengetahui, bahwa orang itu sedang melalui puncak yang berbahaya dan harus melompat kian kemari. Sekali meleset, habislah! Baru saja memikir begitu, karung sudah mengapung lagi keatas.
Ia memeramkan matanya dan menyerahkan segala apa kepada nasib.
Tiba2 di sebelah kejauhan terdengar teriakan orang. “Swee Poet Tek! Hey! Mengapa kau baru datang?”
“ditengah jalan aku menemui sedikit urusan” jawab orang yang menggendong Boe Kie. “apa Wie It Siauw sudah datang?”
“Belum” jawab suara yang jauh itu. “Heran sungguh. Swee Poet Tek, apa kau bertemu dengan dia?” seraya menjawab orang itu datang.
Boe Kie tersadar. Sekarang ia tahu, orang itu bernama “Swee Poet Tek. ”Tak heran, pada waktu ia menanyakan namanya, orang itu menjawab “Swee Poet Tek,” yang berarti “Tidak dapat diberitahukan”. Mengapa namanya begitu aneh?
“Tian koan Soeheng,” kata Swee Poet Tek.
“Mari kita cari saudara Wie. Kukuatir terjadi sesuatu yang hebat?” kata Tiat koan Toojin, “Ceng ek Hok ong seorang pintar dan berkepandaian tinggi,”
“Tapi aku tetap merasa tak enak” kata Poet Tek.
Sekonyong2 dari sebuah lembah di bawah puncak terdengar teriakan “Hweesio bau Swee Poet Tek! Tua bangka Tiat koan! Lekas kemari! Bantulah aku. Aduh celaka benar!”
“Cioe Tian!” teriak kedua orang itu, hampir berbareng.
“Dia seperti mendapat luka,” kata Swee Poet Tek. “Mengapa suaranya begitu lemah?” tanpa menunggu jawaban, ia segera melompat lompat ke bawah sambil menggendong karung.
“Ah!” Kata Tiat koan yang mengikuti di belakang, “Lihat! Siapa yang digendong Cioe Tian? Apa Wie It Siauw?”
“Cioe Tian jangan bingung!” teriak Swee Poet Tek. “Kami akan membantu kau”
Cioe Tian tertawa, “Kurang ajar” bentaknya “Bingung apa? Yang hampir mampus ialah si kelelawar penghisap darah!”
“Saudara Wie?” menegas Swee Poet Tek dengan kaget. “Mengapa dia?” Seraya bertanya, ia mempercepat tindakannya.
Boe Kie merasa dirinya seperti terbang ke angkasa jadi ketakutan dan berbisik. “Cianpwee lepaskan aku untuk sementara waktu. Yang penting adalah menolong orang”
Swee Poet Tek tak menyambut. Tiba2 ia mengikat karungnya yang lalu diputar2 beberapa kali. Bukan main kagetnya Boe Kie. Kalau terlepas jiwanya bisa melayang. “Bocah! Aku bicara terang2an kepadamu. Aku adalah Poet thay Hweesio Swee Poet Tek. Yang dibelakangku Tiat Koan Toojin Thio Thiong. Orang yang berada di lembah itu bernama Cioe Tian. Kami bertiga dengan Leng bian Sianseng Leng Kiam dan Pheng Eng Giok Pheng Hweesio dikenal sebagai Bgo sian jin dari Mo Kouw. Apa kau tahu apa yang dinamakan Mo Kauw?”
“Tahu.” Jawabnya “Kalau begitu taysoe adalah anggota Mo kauw.”
“Aku dan Cioe Tian tidak suka membunuh orang.” Kata pula Swee Poet Tek. “Tapi Tit koan Toojin, Leng bian Sianseng dan Pheng Hweesio bisa mebunuh manusia tanpa berkedip. Kalau mereka tahu kau berada dalam karungku, sekali hajar saja, tubuh bisa hancur luluh,”
kata Boe Kie. “Aku tak berdosa, mengapa?”
“Apa kau anggap Tiat koat Toojin membunuh orang dengan lebih dulu menanyakan kedosaannya?” memutus Swee Poet Tek. “Aah! Kalau kau masih ingin hidup, mulai dari sekarang tak dapat kau mengeluarkan sepatah katapun. Mengerti?”
didalam karung Boe Kie manggut2kan kepala.
“Eh! Mangapa kau tak menjawab?” tanya Swee Poet Tek.
“Bukankah kau melarang aku bicara?” Boe Kie balas menannya.
Swee Poet Tek tersenyum. “Bagus kalau kau tahu.” Katanya. “Hei! Bagaimana keadaan Wie?” perkataan yang belakangan itu ditujukan kepada Cioe Tian.
“Dia….dia….celaka besar!….celaka besar!” jawab Cioe Tian dengan suara terputus2.
“Hm………….saudara Wie masih bernafas, yang menolongnya?”
sebelum Cioe Tian keburu menjawab, Tiat Koan Toojin mendahului “Cioe Tian, apa kau luka? Mengapa mukamu pucat?”
“Tadi aku ketemu si kelelawar yang menggeletak seperti mayat, nafasnya sudah hampir putus, menerangkan Cioe Tian. “Aku segera mengerahkan Lweekang untuk menolongnya. Diluar dugaan, racun dingun dalam tubuh si kelelawar benar2 lihay. Begitulah duduk persoalannnya.”
“Cioe Tian kali ini kau telah melekukan auatu perbuatan mulia,” kata Swee Poet Tek.
Cioe Tian mengeluarkan suara di hidung. “peduli apa mulia, atau jahat,” katanya “Si kelelawar sangat beracun dan aneh dari biasanya aku sangat membenci dia. Tapi kali ini dia melakukan perbuatan yang cocok dengan hatiku. Maka itu, aku coba menolongnya. Aku tak nyana, bukan saja aku tak berhasil, malah racun itu berbalik masuk ke dalam badanku. Celaka sungguh! Mungkin sekali jiwaku akan turut melayang.” Ia berdiam sejenak dan berkata pula. “Penghabisan!……ini namanya pembalasan……si kelelawar dan Cioe Tian seumur hidup belum pernah melakukan perbuatan baik. Sekali berbuat baik, bencana datang.”
“Perbuatan baik apakah yang dilakukan saudara Wie?” tanya Swee Poet Tek.
“Sesudah menggunakan Lweekang, racun dingin dalam tubuhnya mengamuk hebat dan menurut kebiasaan, dia bisa menolong diri sendiri dengan mengisap darah manusia,” terang Cioe Tian. “Ketika itu di sampingnya terdapat seorang gadis. Tapi dia lebih suka mati daripada menghisap darah nona itu. Melihat itu aku berkata, si Kelelawar berlaku aneh, akupun mau berlaku aneh. Baiklah, Cioe Tian coba tolong dia. Aku lantas saja bekerja dan beginilah hasilnya.”
Boe Kie kegirangan, tanpa merasa tubuhnya bergerak.
“Siapa wanita itu?” tanya Swee Poet Tek sambil menepuk karungnya. “Ke mana dia sekarang?”
“Akupun bertanya begitu kepada si Kelelawar,” sahutnya. “Ia mengatakan bahwa nona itu bernama In Lee, cucu perempuannya si tua bangka Peh Bie. Karena sudah menerima si nona sebagai muridnya, maka si Kelelawar tidak bisa lagi menghisap darahnya.”
Swee Poet Tek dan Tiat Koan Toojin menepuk tangan. “Perbuatan Wie heng (saudara Wie) yang mulia itu mungkin akan merupakan titik kebangkitan kembali dari agama kita,” kata Swee Poet Tek. “Kelelawar hijau dan Eng (burung Eng) putih bisa bergandengan tangan, kekuatan Beng-kauw akan bertambah banyak,” seraya berkata begitu, ia menyambut tubuh Wie It Siauw dari tangan Cioe Tian. “Badannya sudah dingin seperti es,” katanya dengan suara kaget. “Bagaimana baiknya?”
“Itu sebabnya mengapa aku minta kau datang lebih cepat,” kata Cioe Tian. “Dalam sepuluh bagian, si Kelelawar sudah mati sembilan bagian. Kalau bangkai Kelelawar bergandengan tangan dengan Peh Bie Eng-ong, bagi Beng-kauw tak ada kebaikannya sedikitpun juga.”
“Kalian tunggulah di sini,” kata Tiat Koan. “Aku akan turun gunung untuk membekuk seorang manusia hidup guna dijadikan minuman bagi Wie heng,” seraya berkata begitu, ia mengayunkan tubuh untuk melompat ke bawah.
“Tahan!” teriak Cioe Tian. “Tua bangka, kau sungguh tak punya otak! Gunung ini sangat sepi, hampir tak ada manusianya. Kalau mesti menunggu kau, Wie It Siauw (Wie sekali tertawa) sudah menjadi Wie Poet Siauw (Wie tidak tertawa). Swee Poet Tek, paling baik kau keluarkan bocah yang berada dalam karungmu untuk menolong saudara Wie.”
Mendengar itu, Boe Kie ketakutan setengah mati.
“Tak bisa,” kata Swee Poet Tek. “Dia telah berbudi sangat besar kepada agama kita. Jika Wie heng membinasakan dia, Ngo Beng-kie (Lima Bendera) sudah pasti tak mau.” Sehabis berkata begitu, dengan cepat ia segera menuturkan bagaimana pemuda itu sudah menolong jiwa berpuluh-puluh anggota dari pasukan Swie Kim-kie. “Waktu itu aku menyusup di dalam pasukan Peh Bie-kauw dan dengan mataku sendiri, aku menyaksikan semuanya,” katanya. “Dengan berhutang budi yang begitu besar, Ngo Beng-kie pasti akan membela dia mati-matian.”
“Apakah kau ingin menggunakan bocah itu untuk menaklukkan Ngo Beng-kie?” tanya Tiat Koan.
“Tidak bisa diberitahukan! Tidak bisa diberitahukan!” jawabnya. “Bagaimanapun juga, ini kenyataaan bahwa sekarang di dalam Beng-kauw sudah terjadi keretakan hebat. Pada saat menghadapi bencana, Peh Bie-kauw telah bentrok dengan Ngo Beng-kie. Untuk menyelamatkan diri dari kemusnahan, jalan satu-satunya adalah bersatu padu. Bocah yang berada dalam karungku mempunyai arti penting dalam usaha mendamaikan orang-orang kita.”
Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangan kanannya dan menempelkan Leng Tay-hiat di punggung Wie It Siauw. Kemudian ia mengerahkan hawa murni untuk membantu menindih racun dingin yang sedang mengamuk dalam tubuh Wie It Siauw.
Cioe Tian menghela nafas, “Swee Poet Tek, aku tentu tidak bisa mengatakan apapun juga, jika kau rela menjual jiwa demi kepentingan seorang sahabat,” katanya.
“Biar kubantu kau,” kata Tiat Koan Toojin sambil menempelkan telapak tangan kanannya pada telapak tangan kiri Swee Poet Tek. Disaat itu, bagaikan gelombang, dua hawa murni menerjang masuk ke dalam tubuh Wie It Siauw.
Kira-kira semakanan nasi, Wie It Siauw merintih dengan perlahan dan sesaat kemudian ia tersadar, tapi giginya masih gemeletukan. Ia membuka kedua matanya dan berkata, “Cioe Tian, Tiat Koan Tooheng terima kasih atas pertolongan kalian.” Ia tidak menghaturkan terima kasih kepada Swee Poet Tek sebab mereka berdua mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga pernyataan terima kasih memang tidak perlu. Tiat Koan dan Swee Poet Tek yang sedang mengeluarkan tenaga untuk melawan racun dingin tidak bisa lantas memberi jawaban.
Tiba-tiba di puncak gunung sebelah timur sayup-sayup terdengar suara Khim.
“Leng Bian Sianseng dan Pheng Hweeshio sudah tiba,” kata Cioe Tian yang lalu mendongak dan berteriak sekeras-kerasnya. “Leng Bian Sianseng! Pheng Hweeshio! Ada seorang terluka. Kemari!”
Suara Khim berhenti dengan mendadak, suatu tanda teriakan itu sudah didengar.
“Siapa…yang…terluka…,” demikian terdengar teriak Pheng Hweeshio.
“Setan tak sabaran!” caci Cioe Tian dengan suara perlahan. “Sedikitpun ia tidak bisa menunggu.”
Sementara itu Pheng Hweeshio terus memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan yang saling susul. “Siapa yang terluka?…Apa Swee Poet Tek? Apa Tiat Koen heng?….” Hampir berbareng dengan selesainya pertanyaan-pertanyaan itu ia tiba di hadapan rombongan Cioe Tian.
“Aduh!” serunya. “Kalau begitu Wie It Siauw yang terluka.”
“Perlu apa kau begitu tergesa-gesa?” kata Cioe Tian, “Saudara Leng Kiam, mengapa kau membungkam saja?”
Leng Kiam hanya menyahut “hm”. Ia sungkan membuang tenaga sia-sia. Biarlah Pheng Hweeshio yang minta keterangan. Benar saja pendeta itu segera menghujani Cioe Tian dengan berbagai pertanyaan dan pada waktu Cioe Tian selesai memberi penjelasan, Swee Poet Tek dan Tiat Koan pun sudah selesai memasukkan hawa murni ke dalam tubuh Wie It Siauw.
“Aku datang dari timur laut,” kata Pheng Hweeshio. “Kudengar Cian Boenjin Siauw Lim-pay, Kong Boen Taysoe bersama soeteenya, Kong Tie Taysoe dan seratus lebih murid-muridnya sedang menerjang ke Kong Beng-teng.”
“Di sebelah timur Boe Tong Ngo hiap!” kata Leng Kiam yang paling tidak suka bicara panjang-panjang.
Enam partai sudah mulai mengurung dan Ngo Beng-kie yang sudah bertarung dengan mereka beberapa kali selalu mendapat pukulan,” kata Pheng Hweeshio pula. “Menurut pendapatku, kita harus pergi ke Kong Beng-teng secepat mungkin.”
“Omong kosong!” bentak Cioe Tian, “Bocah Yo Siauw tidak mengundang kita, apakah Beng-kauw Ngo Sian-jin harus menyembah dia?”
“Cioe Tian, sekarang Beng-kauw sedang menghadapi bencana,” kata Pheng Hweeshio dengan suara membujuk. “Jika mereka berhasil menghancurkan Kong Beng-teng dan memadamkan api suci, apakah kita masih bisa menjadi manusia? Memang benar Yo Siauw telah berbuat tidak pantas terhadap Ngo Sian-jin, tapi bantuan kita adalah untuk Beng-kauw dan bukan untuk kepentingan Yo Siauw.”
“Aku menyetujui pendapat Pheng Hweeshio,” sambung Swee Poet Tek. “Biarpun Yo Siauw sangat kurang ajar, kita harus ingat kepentingan agama kita yang lebih besar daripada kepentingan pribadi.”
“Omong kosong!” teriak Cioe Tian. “Dua keledai gundul sama-sama omong kosong! Tiat Koan Toojin, Yo Siauw pernah menghancurkan pundak kirimu, apa kau masih ingat?”
Tiat Koan tidak menyahut. Lewat beberapa saat barulah ia berkata, “Melindungi agama kita dan memundurkan musuh adalah hal yang sangat penting. Perhitungan dengan Yo Siauw dapat dibereskan sesudah musuh dipukul mundur. Dengan Ngo Sian-jin bersatu padu, tak usah kuatir bocah itu tidak tunduk.”
Cioe Tian mendengus, “Leng Kiam, bagaimana pendapatmu?” tanyanya.
“Kaupun rela bertekuk lutut di hadapan Yo Siauw?” tegas Cioe Tian. “Dahulu kita pernah bersumpah bahwa Ngo Sian-jin tak akan memperdulikan lagi urusan Beng-kauw. Apakah sumpah itu hanya omong kosong?”
“Semua omong kosong!” kata Leng Kiam.
Cioe Tian gusar tak kepalang, ia melompat bangun dan berteriak, “Kamu semua manusia berotak miring!”
“Kita harus bertindak cepat,” kata Tiat Koan tanpa menghiraukan kegusaran kawannya. “Mari kita berangkat.”
“Cioe heng,” bujuk Pheng Hweeshio, “Dahulu kita bermusuhan karena tak mendapat kecocokan dalam urusan memilih Kauwcoe. Memang benar Yo Siauw berpandangan sempit. Tapi bila dipikir-pikir, Ngo Sian-jin pun ada salahnya….”
“Dusta!” teriak Cioe Tian, “Kita berlima tak sudi menjadi Kauwcoe. Salah apa?”
“Biarpun kita bertengkar setahun, kita tak dapat membereskan soal siapa salah siapa benar,” kata Swee Poet Tek. “Cioe Tian, kau jawablah pertanyaanku. Apakah kau bukan murid Beng Coen Thian-seng?” (Beng Coen Thian-seng pemimpin Beng-kauw)
“Benar, aku muridnya Beng Coen Thian-seng,” jawabnya.
“Pada saat ini agama kita tengah menghadapi bencana dan bila kita terus berpangku tangan, apakah dalam baka kita ada muka untuk bertemu dengan Beng Coen Thian-seng?” tanya Swee Poet Tek. “Jika kau takut, biarlah kami berempat yang pergi ke Kong Beng-teng. Setelah kami binasa, kau boleh mengubur mayatku.”
Cioe Tian jadi kalap. Seraya melompat, ia mengayunkan tangan. “Plok!” tangannya memukul.
Swee Poet Tek tidak bergerak dan juga tak mengeluarkan sepatah kata. Perlahan-lahan ia membuka mulut dan menyemburkan belasan gigi yang rontok akibat pukulan itu. Sebelah pipinya berubah merah dan bengkak.
Pheng Hweeshio dan yang lain terkejut, sedang Cioe Tian sendiri mengawasi hasil pukulannya dengan mata membelalak. Ilmu silat Swee Poet Tek dan Cioe Tian kira-kira sebanding. Jika Swee Poet Tek berkelit atau menangkis, pukulan itu pasti takkan melukainya. Diluar dugaan, ia diam dipukul.
Cioe Tian merasa sangat tak enak. “Swee Poet Tek, pukullah aku!” teriaknya, “Bila kau tidak mau, kau bukan manusia.”
Swee Poet Tek tersenyum tawar. “Tenagaku hanya digunakan terhadap musuh dan takkan dipakai terhadap orang sendiri,” sahutnya.
Cioe Tian gusar bercampur malu. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya dan menghantam pipinya sendiri. Sesaat kemudian, iapun menyemburkan belasan gigi dari mulutnya.
“Cioe Tian, mengapa kau berbuat begitu?” tanya Pheng Hweeshio dengan suara kaget.
“Tak pantas aku memukul Swee Poet Tek,” jawabnya. “Aku suruh dia membalas, dia tidak mau. Tak bisa lain, aku harus turun tangan sendiri.”
“Cioe Tian, hubungan antara kita seperti antara saudara kandung,” kata Swee Poet Tek. “Kami berempat sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan jiwa di atas Kong Beng-teng. Kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Apa ada masalah jika memukul aku sekali dua kali?”
Bukan main rasa terharunya Cioe Tian dan ia lantas saja mengucurkan air mata. “Sudahlah!” katanya, “Akupun akan ikut. Biarlah perhitungan dengan Yo Siauw dibereskan belakangan.”
Pheng Hweeshio dan yang lain jadi girang sekali.
Mendengar pembicaraan itu, Boe Kie berkata dalam hatinya, “Mereka berlima bukan saja berkepandaian tinggi tapi juga mempunyai budi pekerti yang sangat luhur. Apakah orang-orang seperti itu sesat semua?” Sesaat kemudian ia merasa karung diangkat dan semua orang mulai berangkat ke Kong Beng-teng. Setelah mengetahui bahwa Coe Jie tak kurang suatupun, hati pemuda itu memikirkan soal pertarungan antara enam partai Tiong-goan dan Beng-kauw. Siapa yang akan menang? Dilain saat, ia ingat bahwa setibanya di Kong Beng-teng, ia akan bertemu dengan Yo Poet Hwie. Apakah si nona masih mengenali dirinya?
Setelah berjalan sehari semalam, tiba-tiba Boe Kie merasa karung itu menyentuh-nyentuh tanah. Semula ia tak mengerti sebab musebabnya. Belakangan, waktu ia mengangkat kepala, kepalanya terbentur batu yang menyerupai dinding. Sekarang ia baru tahu bahwa ia sedang berada di dalam terowongan, di bawah tanah, yang hawanya sangat dingin. Berselang kira-kira satu jam barulah mereka keluar dari terowongan. Mereka terus naik ke atas dan tak lama kemudian masuk ke dalam terowongan lain. Sesudah keluar masuk lima terowongan, tiba-tiba terdengar teriakan Cioe Tian, “Yo Siauw, si Kelelawar dan Ngo Sian-jin datang untuk menemuimu!”
Lewat beberapa saat barulah terdengar jawaban. “Aku sungguh tak menyangka Hok-ong dan Ngo Sian-jin sudi datang berkunjung. Yo Siauw tak bisa menyambut dari tempat jauh dan harap kalian sudi memaafkan.”
“Jangan berlagak bicara manis-manis,” kata Cioe Tian. “Di dalam hati, kau tentu mencaci kami. Kau tentu mencaci kami sebagai badut yang sudah bersumpah tak mau naik lagi ke Kong Beng-teng dan tak mau ikut campur lagi urusan Beng-kauw, sekarang datang tanpa diundang.”
“Tidak, tidak begitu,” kata Yo Siauw. “Siauw tee justru sedang kebingungan. Enam partai besar telah mengurung Kong Beng-teng dan Siauw tee seorang diri. Dengan memandang muka Coen Thian-seng, Hok-ong dan Ngo Sian-jin datang berkunjung untuk memberi bantuan. Ini benar-benar rejekinya Beng-kauw.”
“Bagus kalau kau tahu,” kata Cioe Tian.
Yo Siauw segera mengajak tamu-tamunya masuk ke dalam dan seorang pelayan menyuguhkan teh.
Tiba-tiba si pelayan mengeluarkan teriakan menyayat hati. Boe Kie tak tahu sebabnya, tapi teriakan itu membangunkan bulu romanya.
Beberapa saat kemudian, Wie It Siauw tertawa dan berkata, “Co soe cia, kau telah membinasakan pelayanmu. Aku pasti akan membalas budimu itu.” Ia mengucapkan kata-kata itu dengan suara lantang dan bersemangat. Boe Kie terkejut, sekarang ia tahu bahwa si Kelelawar telah membunuh dan menghisap darah pelayan itu.
“Di antara kita tak ada soal budi,” kata Yo Siauw dengan tawar. “Bahwa Hok-ong sudi datang ke sini merupakan bukti bahwa ia menghargai aku.”
Ketujuh orang itu adalah jago utama dari Beng-kauw. Walaupun di antara mereka terdapat perselisihan tapi pertemuan yang terjadi pada saat Beng-kauw menghadapi musuh-musuh berat telah membangunkan semangat. Sehabis makan kue-kue mereka segera merundingkan usaha untuk melawan musuh.
Swee Poet Tek menaruh karung di samping kakinya. Boe Kie lapar dan haus tapi ia tak berani bersuara atau bergerak. Yang hadir berjumlah tujuh orang tapi seperti enam karena Leng Kiam tak pernah membuka mulut.
Sesudah berunding beberapa lama, Pheng Hweeshio berkata, “Cie san Liong-ong dan Kim mo Say-ong tak ketahuan ke mana perginya, sedang mati hidupnya Kong beng Yoe-soe juga belum dapat dipastikan. Mereka bertiga tak usah dimasukkan ke dalam perhitungan. Di pihak kita, bentrokan antara Ngo Beng-kie dan Peh Bie-kauw yang makin lama makin hebat dan kedua belah pihak menderita kerusakan besar. Andaikata mereka bisa berdamai dan bisa datang ke sini, jangankan hanya enam, dua belas atau delapan belas partaipun pasti akan dapat dipukul mundur.”
Seraya menyentuh karung dengan ujung kaki, Swee Poet Tek berkata, “Bocah ini berada di dalam Peh Bie-kauw dan iapun telah berbudi besar kepada Ngo Beng-kie. Mungkin sekali dikemudian hari ia akan memainkan peranan penting dalam usaha mendamaikan permusuhan di antara kita.”
Wie It Siauw tertawa dingin. “Sebelum Kauwcoe dipilih, perselisihan dalam kalangan agama kita pasti tak akan bisa dibereskan,” katanya.
“Manusia yang paling tinggi kepandaiannya tak akan berhasil mendamaikan kita. Co-soe cia, aku yang rendah ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu. Sesudah musuh dipukul mundur, siapakah yang akan didukung olehmu untuk menjadi Kauwcoe?”
“Siapa yang bisa mendapatkan Seng Hwee-leng dialah yang jadi Kauwcoe,” jawabnya tawar. “Ini adalah peraturan agama kita. Perlu apa kau bertanya lagi?”
Wie It Siauw tertawa nyaring. “Seng Hwee-leng sudah hilang kira-kira seratus tahun,” katanya.
“Apakah sebegitu lama Seng Hwee-leng tidak muncul, sebegitu lama juga Beng-kauw tidak mempunyai Kauwcoe? Bahwa enam partai persilatan sudah berani menyerang adalah karena mereka tahu terjadinya perpecahan di dalam Beng-kauw.”
“Wie heng, kau benar,” kata Swee Poet Tek. “Po-tay Hweeshio tidak miring ke manapun juga. Aku bukan orang partai In, juga bukan dari partai Wie. Siapapun juga menjadi Kauwcoe disetujui olehku. Yang penting, kita harus mempunyai Kauwcoe. Andaikata belum ada Kauwcoe, untuk sementara waktu, boleh juga diangkat seorang wakil Kauwcoe. Kalau tak ada orang yang memegang tampuk pimpinan, bagaimana kita bisa melawan musuh secara teratur?”
“Aku menyetujui pendapat Swee Poet Tek,” kata Tiat Koan Toojin.
Paras muka Yo Siauw lantas saja berubah, “Apa maksud sebenarnya kedatangan kalian?” tanyanya. “Apa kalian mau membantu atau mau menyusahkan aku?”
Cioe Tian tertawa terbahak-bahak. “Yo Siauw,” katanya. “Apa kau rasa aku tak tahu maksudmu mengapa kau tetap tak mau memilih seorang Kauw coe? Sebegitu lama Beng-kauw belum punya Kauwcoe, begitu juga kau sebagai Kong Beng Co-soe, yang mempunyai kedudukan paling tinggi. Huh-huh!…bukankah benar begitu? Tapi meskipun kau menduduki kursi tertinggi, tak seorangpun mau mendengar segala perintahmu. Apa gunanya? Apa kau bisa memerintah Ngo Beng-kie? Apa kau mampu menyuruh keempat Hoe kauw Hoat-ong? Kami, kelima Ngo Sian-jin hidup bagaikan awan bebas dan burung ho liar. Bagi kami, Kong Beng Co-soe tidak berarti apapun.”
Mendadak Yo Siauw bangkit. “Dalam menghadapi musuh dari luar, Yo Siauw tidak mempunyai waktu bersilat lidah dengan kalian,” katanya dingin. “Apabila kalian rela mengawasi hidup matinya Beng-kauw dan berpangku tangan, silakan kalian turun dari Kong Beng-teng! Kalau Yo Siauw masih bernafas, dikemudian hari ia akan melayani kalian satu demi satu.”
“Yo Co-soe, kau jangan marah,” bujuk Pheng Hweeshio. “Serangan enam partai kepada Beng-kauw mengenai setiap murid dari agama kita. Urusan ini bukan urusan kau seorang.”
“Tapi mungkin dalam agama kita ada orang-orang yang mengharapkan matinya aku,” sindir Yo Siauw. “Matinya Yo Siauw berarti tercabutnya paku biji mata mereka.”
“Siapa orang itu?” bentak Cioe Tian.
“Siapa kepotong, dia merasa perih,” jawabnya. “Tak perlu aku menyebutkan namanya.”
“Kau maksudkan aku?” teriak Cioe Tian dengan gusar.
Yo Siauw tidak menghiraukannya. Ia memandang ke arah lain.
Melihat kegusaran kawannya, Pheng Hweeshio buru-buru membujuk. “Kata orang, saudara berkelahi, yang lain tertawa. Meski kita cekcok dan berkelahi seperti langit roboh dan bumi terbalik, kita tetap merupakan saudara sendiri. Menurut pendapatku, sementara waktu kita tunda saja soal pemilihan Kauwcoe. Sekarang ini kita harus merundingkan siasat untuk melawan musuh.”
“Eng Giok Taysoe memang tahu urusan,” puji Yo Siauw. “Pendapatnya tepat sekali.”
“Bagus!” teriak Cioe Tian. “Kepala gundul she Pheng tahu urusan, Cioe Tian tidak tahu urusan!” Ia sudah kalap dan tanpa memperdulikan apapun ia berteriak pula. “Kauwcoe kita harus dipilih hari ini juga! Aku mengusulkan Wie It Siauw. Si Kelelawar berkepandaian tinggi dan banyak tipu dayanya. Dalam Beng-kauw, siapa yang bisa menandingi dia?” Sebenarnya antara Cioe Tian dan Wie It Siauw tidak ada hubungan erat. Tapi sekarang, dalam gusarnya ia mengusulkan Ceng ek Hok-ong sebagai Kauwcoe untuk mengganggu Yo Siauw.
Yo Siauw tertawa terbahak-bahak, “Menurut pendapatku, paling baik kita angkat Cioe Tian sebagai Kauwcoe,” katanya. “Sekarang Beng-kauw sudah berantakan dan kalau dijungkir balikkan oleh Kauwcoe besar Cioe Tian, agama kita akan lebih sedap dipandangnya.” (Perkataan “Tian” dari Cioe Tian bisa berarti juga “kacau” atau “gila”)
Bukan main gusarnya Cioe Tian. “Bangsat!” ia membentak sambil menghantam Yo Siauw.
Pada belasan tahun berselang, pertengkaran dalam urusan pemilihan Kauwcoe, Ngo Sian-jin telah bersumpah untuk tidak menginjak Kong Beng-teng. Secara mendadak mereka datang pula. Sedari tadi, Yo Siauw memang sudah curiga dan selalu waspada. Begitu Cioe Tian memukul, ia segera menarik kesimpulan bahwa dengan mengajak Wie It Siauw, Ngo Sian-jin memang sengaja ingin mengepung dia. Maka itu, dengan penuh kegusaran ia segera menangkis dengan tangan kanannya.
Melihat tangkisan itu Wie It Siauw terkejut, sebab pada telapak tangan Yo Siauw terlihat sinar hijau, yaitu serupa pukulan yang dinamakan Ceng Tiok-cioe (pukulan bamboo hijau). Ia tahu bahwa sesudah menolong dirinya, tenaga dalam Cioe Tian belum pulih kembali sehingga kawannya itu pasti tidak akan bisa menyambut pukulan tersebut. Maka itu, bagaikan kilat ia mendahului menangkis. Kedua tangan bentrok tanpa mengeluarkan suara dan segera menempel keras satu sama lain.
Ternyata, biarpun sedang gusar, tapi mengingat bahwa Cioe Tian adalah saudara seagama maka waktu memukul Yo Siauw tidak menggunakan segenap tenaga. Tapi dilain pihak pukulan Han peng Bian-ciang (pukulan kapas yang dingin bagaikan es) dari Wie It Siauw bukan main dahsyatnya.
Begitu bentrok, Yo Siauw merasa tangannya gemetar dan semacam hawa yang sangat dingin menerobos masuk ke dalam dagingnya. Ia kaget dan buru-buru mengerahkan Lweekang yang lebih besar sehingga kedua lawan itu lantas saja mengadu tenaga dalam.
“Orang she Yo!” bentak Cioe Tian. “Sambutlah lagi pukulanku!” sambil membentak tangannya menghantam dada Yo Siauw.
“Cioe Tian, tahan!” teriak Swee Poet Tek.
“Yo Co-soe! Wie Hok-ong! Berhentilah! Kalian tidak boleh berkelahi dengan kawan sendiri,” sambung Pheng Eng Giok sambil mengangkat tangannya utnuk menyambut pukulan Cioe Tian.
Tapi Yo Siauw sudah lebih dulu miringkan badannya dan mengangsurkan lengannya dan telapak tangan kirinya lantas saja menempel dengan telapak tangan kanan Cioe Tian.
“Cioe Tian, dua lawan satu bukan perbuatan seorang gagah,” kata Swee Poet Tek. Ia meraih pundak Cioe Tian untuk ditarik mundur. Tapi sebelum tangannya menyentuh pundak, mendadak ia melihat badan kawannya gemetaran. Ia kaget tak kepalang. Ia tahu bahwa di dalam kalangan Beng-kauw, Yo Siauw memiliki kepandaian yang tinggi. Apakah dengan hanya sekali beradu tangan, Cioe Tian sudah terluka berat?
“Cioe Tian, di antara saudara sendiri perlu apa mengadu jiwa?” katanya sambil menarik pundak sang kawan. “Yo Co-soe, harap kau menaruh belas kasihan,” katanya lagi. Ia berkata begitu sebab kuatir Yo Siauw mengirim serangan susulan.
Diluar dugaan, begitu ditarik badan Cioe Tian bergoyang-goyang tapi tangannya tidak bisa lepas dari Yo Siauw. Hampir berbarengan, Swee Poet Tek merasakan serangan semacam hawa dingin yang menerobos masuk dari telapak tangan terus ke ulu hati. Ia terkesiap. Ia tahu bahwa Wie It Siauw mempunyai pukulan Han peng Bian-ciang yang tersohor di kolong langit. Apakah Yo Siauw juga memiliki pukulan itu? Buru-buru ia mengerahkan Lweekang untuk melawan hawa dingin itu. Tapi serangan hawa dingin itu makin lama jadi makin hebat dan lewat beberapa saat, giginya sudah gemeletukan.
Mau tak mau, Tiat Koan Toojin dan Pheng Eng Giok maju juga, yang satu membantu Cioe Tian, yang lain menolong Swee Poet Tek. Dengan mempersatukan Lweekang keempat Sian-jin barulah hawa dingin bisa ditahan.
Tenaga yang keluar dari telapak tangan Yo Siauw seakan-akan bergelombang pasang surut, sebentar enteng sebentar berat. Keempat orang itu tidak berani melepaskan tangannya sebab mereka kuatir Yo Siauw akan menyerang pada detik mereka melepaskan tangan. Kalau sampai terjadi begitu, andaikan tidak mati mereka sedikitnya akan mendapat luka berat.
Sesudah bertahan beberapa lama, Swee Poet Tek berkata, “Yo Tay hiap, terhadap kau kami…,” perkataannya putus di tengah jalan karena mendadak ia merasa darahnya seperti mau membeku. Ternyata waktu bicara tenaga dalamnya tidak dapat lagi menahan serangan hawa dingin. Cepat-cepat ia memperbaiki keadaannya.
Kira-kira semakanan nasi, Wie It Siauw dan keempat Sian-jin sudah payah sekali tapi Yo Siauw masih tenang-tenang saja. Leng Kiam yang masih tetap menonton makin lama jadi makin heran. “Meskipun berkepandaian tinggi, kepandaian Yo Siauw hanya kira-kira sebanding dengan kepandaian Wie It Siauw,” pikirnya. “Sepantasnya Wie It Siauw dan empat kawanku pasti akan dapat merobohkannya. Tapi mengapa dia yang lebih unggul?” Benar-benar heran. Ia seorang yang sangat cerdas tapi sesudah mengasah otak beberapa lama, belum juga ia dapat memecahkan teka-teki itu.
“Setan…maka…dingin…pukul…punggungnya,” kata Cioe Tian terputus-putus.
Tapi Leng Kiam yang belum dapat menebak sebab dari keanehan itu masih tak mau turun tangan. Antara Ngo Sian-jin, hanya ia seorang yang belum turut bertanding dan hanya ia seorang pula yang dapat menyingkirkan malapetaka. Jika ia turut mengerubuti sebelum dapat memecahkan teka-teki itu, belum tentu pihaknya mendapat kemenangan.
Lewat beberapa saat, muka Cioe Tian dan Pheng Eng Giok sudah berubah biru dan mereka tak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Leng Kiam tahu, kalau racun dingin masuk ke dalam isi perut mereka bisa celaka, ia segera merogoh saku dan mengeluarkan lima batang pit (pena Tionghoa) kecil yang terbuat dari perak murni.
“Lima pit ini akan menghantam Kim tie, Kie koet, Yang kee, Ngo lie dan Tiong touw hiatmu,” katanya. Kelima “hiat” itu terletak di tangan dan kaki dan bukan “hiat” yang membinasakan. Ia sengaja mengatakan begitu supaya Yo Siauw tahu bahwa maksudnya hanya untuk menghentikan pertandingan.
Yo Siauw hanya tersenyum, ia tidak memperdulikan.
“Maaf!” teriak Leng Kiam seraya mengayunkan kedua tangannya dan dengan berbaring, lima sinar putih menyambar.
Mendadak Yo Siauw menekuk lengan kirinya dan Cioe Tian berempat lantas saja tertarik ke depannya. Hampir berbarengan, Pheng Hweeshio dan Cioe Tian mengeluarkan teriakan kesakitan karena lima batang pit itu mampir tepat di badan mereka, dua di badan Cioe Tian dan tiga di badan Pheng Eng Giok. Untung juga Leng Kiam memang tidak bermaksud untuk mencelakai orang. Ia melempar tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan lemparan itu tidak ditujukan ke arah jalan darah yang berbahaya sehingga luka kedua orang itu tidak membahayakan jiwa.
“Kiam koen Tay lo-ie!” bisik Pheng Eng Giok (Kiam koen Tay lo-ie, memindahkan langit dan bumi).
Mendengar perkataan itu Leng Kiam tersadar.
Di dalam sejarah Beng-kauw, Kiam koen Tay lo-ie adalah ilmu yang terhebat, dasarnya ilmu itu sederhana saja, yaitu berdasarkan ilmu “meminjam tenaga untuk memukul tenaga” dan ilmu “empat tahil memukul ribuan hati”. Tak usah dikatakan lagi, dalam dalil yang sangat sederhana itu terdapat perubahan-perubahan yang menakjubkan dan tidak bisa ditaksir oleh manusia biasa. Selama banyak tahun dalam kalangan Beng-kauw ilmu itu belum pernah disebut-sebut orang, maka tidaklah mengherankan jika Ngo Sian-jin dan Wie It Siauw tidak segera mengenalinya.
Dengan Kiam koen Tay lo-ie, Yo Siauw menggunakan Han peng Bian ciang dari Wie It Siauw untuk menyerang keempat Sian-jin dan tenaga keempat Sian-jin untuk menghantam Wie It Siauw. Ia sendiri di tengah-tengah dan tanpa mengeluarkan tenaga, mengadu domba kedua tenaga dari lawannya.
“Kiong hie!” kata Leng Kiam. “Kami tidak bermaksud jahat. Hentikanlah pertandingan.”
Leng Bian Sianseng adalah orang yang selalu bicara sedikit mungkin. “Kiong hie” berarti itu memberi selamat yang sudah tidak dikenal selama kurang lebih seabad kepada Yo Siauw, disamping sungkan bicara banyak-banyak, Leng Kiam pun orang jujur sehingga jika ia mengatakan “tidak bermaksud jahat”, mereka tentu tidak bermaksud jahat. Sebagai bukti lima pit perak itu hanya digunakan untuk menghentikan pertandingan dan bukan digunakan untuk mencelakai orang. Mengingat itu, Yo Siauw lantas saja tertawa terbahak-bahak. “Wie heng, Soe wie Sian-jin,” katanya, “Sesudah aku menghitung satu, dua, tiga, kalian tarik pulang tenaga dengan berbarengan supaya tak sampai terluka.”
Wie It Siauw dan keempat Sian-jin lantas saja menganggukkan kepala.
Yo Siauw tersenyum dan menghitung, “Satu!…dua!…tiga!” Berbarengan dengan perkataan tiga ia menarik pulang Kiam koen Tay lo-ie Sin-kang. Mendadak saja ia merasa punggungnya dingin dan semacam totokan hampir tepat di Sim to hiat punggungnya.
Yo Siauw mencelos hatinya. Ia menduga Wie It Siauw yang main gila. Baru saja mau membalas tiba-tiba badan Ceng ek Hok-ong terkulai dan terus jatuh terguling. Tak salah lagi, Wie It Siauw pun dibokong orang! Selama hidupnya Yo Siauw sudah kenyang mengalami gelombang hebat. Maka itu, meskipun sudah terpukul, ia tak jadi bingung. Bagaikan kilat ia melompat ke depan dan lalu memutar tubuh. Ia mendapati kenyataan bahwa Cioe Tian, Pheng Eng Giok, Tiat Koan Toojin dan Swee Poet Tek juga sudah roboh, sedangkan Leng Kiam tengah menyerang seseorang yang mengenakan jubah warna abu-abu. Orang itu menangkis dan Leng Bian Sianseng mengeluarkan suara “heh” seperti orang kesakitan.
Buru-buru Yo Siauw menarik nafas dalam-dalam dan lalu melompat untuk membantu Leng Kiam. Sekonyong-konyong merasakan serangan semacam hawa dingin yang naik dari Sim to hiat dan terus menerjang ke Sin cu, To to, Toa toei Hong hoe dan lain-lain “hiat” di seluruh tubuh.
Yo Siauw tahu ia sedang menghadapi bencana. Orang itu bukan saja berkepandaian tinggi tapi juga sangat licik dan beracun yang membokong pada detik Wie It Siauw, keempat Sian-jin dan ia sendiri menarik pulang tenaga Lweekang. Sekarang ia tak bisa berbuat lain daripada segera mengerahkan hawa dingin itu. Ia merasa hawa dingin itu berlainan dengan hawa Han peng Bian-ciang dari Wie It Siauw. Hawa itu lebih halus, tapi jalan darah yang diserang lantas saja kesemutan. Dalam keadaan waspada dan dengan tenaga dalam yang melindungi dirinya, Yo Siauw takkan bisa diserang dengan totokan apapun juga. Tapi sekarang ia sudah dibokong. Melihat Leng Kiam dalam bahaya, ia segera mengambil keputusan untuk menolong dengan menahan sakit.
Tapi baru saja bertindak dan menggerakkan tangan, ia sudah menggigil dan tenaganya menghilang.
Waktu itu Leng Kiam sudah bertempur dua puluh jurus lebih dan ia sudah tak dapat mempertahankan diri lagi. Yo Siauw bingung. Dilain saat Leng Kiam tertendang. Musuh melompat dan menotok lengan Leng Kiam yang lantas saja jatuh terjengkang. Yo Siauw kaget bercampur gusar. Ia menganggap bahwa karena Leng Kiam bisa meladeni musuh dalam dua puluh jurus lebih. Maka kepandaian musuh itu belum tentu lebih tinggi daripada kepandaiannya. Tapi celakanya, ia sudah dibokong dan tak berdaya.
Boe Kie yang berada di dalam karung sudah mendengar semua kejadian itu. Waktu Yo Siauw dan keempat Sian-jin, ia kuatir kedua belah pihak terluka berat. Ia ingin sekali menyaksikan pertandingan itu tapi dalam karung gelap gulita. Ia girang waktu Leng Kiam berhasil menghentikan pertandingan. Tak disangka datang musuh yang membokong. Ia tahu Yo Siauw masih berdiri tegak tapi mendengar gemeletukan gigi dan beratnya nafas, iapun mengerti bahwa jago itu sudah tak bertenaga lagi.
Untuk beberapa detik, keadaan sunyi senyap.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari dalam berlari-lari keluar.
“Thia! Siapa yang datang? Mengapa kau tak memperkenalkan mereka kepadaku?” Itu suara seorang wanita. Jantung Boe Kie memukul keras.
“Adik Poet Hwie!” katanya dalam hati.
“Pergi…pergi…Lebih jauh lebih baik…,” seru Yo Siauw dengan nafas tersengal-sengal.
Melihat keadaan dalam ruangan itu, Poet Hwie terkejut. “Thia…apa kau terluka?” tanyanya. Ia berpaling kepada si jubah abu-abu dan bertanya, “Apa kau yang melukai ayahku?”
Orang itu tidak menyahut, ia hanya tertawa dingin.
“Poet Hwie!” teriak Yo Siauw. “Turutilah perintah ayah! Ayo pergi!”
Poet Hwie sebenarnya ingin menyerang si jubah abu-abu, tapi ia ragu dan kemudian ia mendekati dan memeluk ayahnya.
“Bocah, pergi!” bentak si jubah abu-abu dengan suara menyeramkan.
Si nona tidak menghiraukannya, “Thia,” katanya. “Mari kita istirahat.”
Yo Siauw tertawa getir. “Kau pergilah lebih dahulu,” jawabnya. Ia mengerti bahwa ia tidak akan bisa meloloskan diri dengan begitu mudah. Poet Hwie mengawasi si jubah abu-abu seraya berkata, “Hweeshio, mengapa kau membokong ayahku?”
Orang itu tertawa tawar. “Bagus!” katanya. “Matamu sangat tajam. Kau bisa mengenali bahwa aku seorang hweeshio. Hm…aku tak bisa mengampuni kau lagi!” Ia mengibaskan tangannya dan lalu menotok Peng hong hiat si nona.
Hati Yo Siauw mencelos. Jika kena, putrinya pasti akan binasa. Pada detik berbahaya, walaupun Lweekangnya belum pulih, dengan nekat ia menyikut dada si hweeshio.
Jari tangan kiri orang itu menyambar dan menotok Siauw hau hiat, di bawah siku Yo Siauw tapi karena serangan itu, sambaran jari tangan kanannya agak mirip dan tidak kena pada jalan darah yang membinasakan si nona.
Sebagai seorang ayah yang sangat menyintai putrinya, sambil menahan dingin, Yo Siauw menendang hingga tubuh si nona terbang keluar dari ruangan itu kemudian ia berdiri di tengah-tengah pintu supaya si pendeta tidak bisa mengejar.
“Bocah itu sudah kena It im cieke,” katanya dengan suara dingin. “Belum tentu dia bisa hidup tiga hari tiga malam lagi.” Ia mengawasi Yo Siauw dan berkata pula, “Nama besar dari Kong Beng Soecia memang bukan nama kosong. Sudah kena dua totokan, kau masih bisa berdiri.”
“Kong Kian Taysoe, pendeta suci dari Siauw Lim adalah seorang yang welas asih dan mulia hatinya,” kata Yo Siauw. “Sungguh tak disangka ia mempunyai seorang murid yang terkutuk seperti kau. Kau tentulah seorang murid dari deretan Goan. Goan apa namamu?”
Si jubah abu-abu terkejut. “Hebat! Sungguh hebat!” ia memuji. “Matamu benar hebat. Kau sudah bisa melihat asal usulku. Pinceng bernama Goan-tin.” (Pinceng - Aku si pendeta yang miskin)
Boe Kie kaget tak kepalang. “Orang itu telah menghajar Siauw Lim Kioe-yang kang kepadaku,” pikirnya. “Dia tahu bahwa dalam tubuhku mengeram racun Hian beng Sin-ciang tapi dia sengaja membuka pembuluh darahku sehingga racun dingin itu sukar diusir dari dalam badanku. Dilihat begini, dia bukan saja berilmu tinggi tapi juga sangat jahat. Dalam enam partai persilatan, mungkin sekali dia yang paling hebat. Hm…kali ini Beng-kauw harus menerima nasib.”
Sementara itu Yo Siauw sudah berkata pula, “Dalam permusuhan antara enam partai dan beng-kauw, sebagai laki-laki sejati kita harus bertempur dengan senjata secara berhadap-hadapan tapi kau…,” ia tidak bisa meneruskan perkataannya, kedua lututnya lemas dan ia jatuh duduk di lantai.
Goan-tin tertawa terbahak-bahak, “Semenjak jaman purba, di dalam peperangan orang menarik keuntungan dengan siasat luar biasa dan dalam memimpin tentara orang memang biasa menggunakan tipu daya,” katanya. “Aku Goan-tin seorang sudah bisa merobohkan tujuh jago utama dari Beng-kauw. Apakah kamu masih penasaran?”
“Bagaimana kau bisa mencuri masuk di Kong Beng-teng?” tanya Yo Siauw. “Bagaimana kau bisa mengenal jalan-jalan rahasia di gunung ini? Jika kau mau memberitahukan, biarpun mati Yo Siauw akan mati dengan mata meram.”
Berhasilnya Goan-tin dalam serangan ini tentu saja disebabkan oleh kepandaiannya yang tinggi. Tapi disamping itu masih ada sebab lain yang lebih penting, yaitu pengetahuannya mengenai jalan-jalan rahasia sehingga ia bisa meloloskan diri dari pengawasan belasan rombongan penjaga dan akhirnya berhasil membokong ketujuh jago itu.
Goan-tin tertawa dan menjawab, “Orang-orang Mo-kauw menganggap bahwa Kong Beng-teng yang mempunyai tujuh puncak dan tiga belas tebing sebagai tempat yang tak akan bisa dilewati manusia. Tapi di mata pendeta Siauw Lim, tempat itu hanyalah jalanan raja yang tidak ada rintangannya. Kamu semua sudah kena totokan It im cie. Dalam tempo tiga hari, semua akan berpulang ke alam baka. Sesudah itu aku akan mendaki puncak Co Bong-hong dan menanam beberapa belas kati obat pasang kemudian pinceng akan mencoba memadamkan api siluman dari Mo-kauw. Peh Bie-kauw, Ngo Beng-kie dan lain-lain akan mencoba menolong, ‘Belendung’, obat pasang itu meledak dan seluruh Mo-kauw musnah tiada bekas! Inilah yang dinamakan dengan seorang diri pendeta Siauw Lim memusnahkan Beng-kauw, tujuh siluman Kong Beng-teng bersama-sama pulang ke See thian.” (See thian Langit Barat berarti alam baka)
Mendengar itu, Yo Siauw bingung tak kepalang. Ia mengerti bahwa ancaman itu bukan gertak sambal. Bahwa ia akan mati adalah urusan kecil, tapi apakah Beng-kauw yang mempunyai sejarah selama tiga puluh turunan akan musnah dalam tangan seorang pendeta Siauw Lim?
Sesudah berdiam sejenak, sambil tersenyum-senyum Goan-tin berkata pula, “Di dalam Beng-kauw terdapat banyak sekali orang pandai. Jika kalian tidak saling bunuh, tidak saling makan, Beng-kauw takkan menghadapi bencana seperti hari ini. Lihatlah kejadian yang sekarang. Karena kalian bertujuh berkelahi maka dengan mudah pinceng bisa naik sampai di sini. Kalau bukan lantaran begitu, mana bisa pinceng berhasil dengan begitu gampang? Ha-ha-ha!…Tak disangka Beng-kauw yang dulu begitu hebat, sesudah matinya Yo Po Thian lantas menjadi runtuh.”
Yo Siauw dan yang lainnya tertegun. Mereka lantas ingat kejadian-kejadian semenjak kurang lebih dua puluh tahun. Semua merasa menyesal. Dalam hati kecil mereka mengakui bahwa apa yang dikatakan Goan-tin memang tak salah.
“Yo Siauw!” teriak Cioe Tian, “Aku benar-benar pantas mati! Aku telah melakukan banyak perbuatan tidak pantas terhadapmu. Walaupun kau tidak terlalu baik tapi kalau kau menjadi Kauwcoe, keadaan kita akan lebih baik daripada tidak punya Kauwcoe sama sekali.”
Yo Siauw tertawa getir. “Apa kemampuanku sehingga aku berani menjadi Kauwcoe?” katanya. “Dalam urusan ini, kita semua bersalah. Kita salah membuat keadaan menjadi sedemikian kacau dan agama kita akhirnya akan musnah sehingga di alam baka, kita takkan punya muka untuk menemui para Beng coen Kauwcoe.”
“Kamu menyesalpun sudah tak berguna,” kata Goan-tin sambil tertawa. “Pada waktu Yo Po Thian mengepalai Mo-kauw, keangkerannya meluap-luap. Hanya sayang, dia mati terlalu cepat sehingga ia tak bisa menyaksikan kehancuran Mo-kauw.”
“Bangsat!” caci Cioe Tian. “Tutup mulutmu! Jika Yo Kauwcoe masih hidup, kami semua akan menaati segala perintahnya. Kepala gundul macam kau mana bisa membokong kami?”
Goan-tin tertawa dingin dan berkata dengan suara mengejek, “Tak perduli Yo Po Thian mati atau hidup aku tetap mempunyai cara untuk menghancurkan Mo-kauw….” Mendadak terdengar suara “Plak!” dan Goan-tin mengeluarkan suara kesakitan sebab punggungnya kena dipukul Wie It Siauw. Hampir berbarengan Wie It Siauw pun kena ditotok Goan-tin pada Tian tiong hiatnya, di bagian dada. Mereka mundur sedikit dan kemudian roboh bersamaan.
Wie It Siauw adalah orang yang berakal budi. Sesudah kena totokan pertama, biarpun luka berat, berkat Lweekangnya yang sangat tinggi ia sebenarnya masih dapat melawan. Tapi ia berlagak dan pada waktu Goan-tin sedang girang dan tidak berjaga-jaga ia menyerang dengan segenap tenaganya. Untuk menolong Beng-kauw, ia bertekad untuk mati bersama-sama musuh. Ceng ek Hok-ong adalah salah seorang dari keempat Hoat-ong dalam kalangan Beng-kauw dan kepandaiannya sebanding dengan In Thian Ceng atau Cia Soen. Maka itu, meskipun hebat, Goan-tin tak dapat mempertahankan diri terhadap pukulan yang dikirim secara nekat. Demikianlah begitu kena, tenaga Han peng Bian-ciang segera menerobos masuk ke dalam tubuhnya dan ia merasa dadanya sesak. Beberapa kali ia mengerahkan Lweekang tapi sebaliknya daripada berhasil, kepalanya pusing. Kemudian ia menjatuhkan diri dan bersila untuk mengerahkan hawa murni untuk menolak hawa dingin dari Han peng Bian-ciang. Dilain pihak, sesudah tertotok dua kali oleh It in cie, Wie It Siauw tergeletak tanpa bisa bergerak dan nafasnya tersengal-sengal.
Ruangan itu berubah sunyi. Delapan jago terluka berat tapi yang terluka paling berat adalah Yo Poet Hwie yang roboh di luar ruangan itu. Goan-tin dan tujuh tokoh Beng-kauw sama-sama menjalankan pernafasan dan mengerahkan Lweekang. Mereka tahu bahwa siapa yang tenaganya pulih lebih dulu, dialah yang akan memperoleh kemenangan terakhir. Andaikata Goan-tin yang bisa bergerak lebih dulu, dengan menggunakan pedang ia bisa membunuh ketujuh musuhnya dan bisa mengobati lukanya belakangan. Sebaliknya kalau Beng-kauw ada yang lebih dulu pulih tenaganya maka dengan mudah ia akan bisa membunuh Goan-tin. Mengingat jumlahnya, ketujuh tokoh Beng-kauw itu kelihatannya mempunyai harapan yang lebih besar. Akan tetapi, tenaga dalam Ngo Sian-jin agak cetek dan sesudah kena It im cie, tenaganya musnah semua. Yo Siauw dan Wie It Siauw yang Lweekangnya lebih tinggi masing-masing sudah kena dua totokan. Pada hakekatnya kehebatan Hen peng Bian-ciang dan It im cie kira-kira sebanding. Tapi Wie It Siauw memukul setelah terluka sehingga tenaganya lebih kurang daripada Goan-tin yang belum terluka. Maka itu, ditinjau dari sini kelihatannya Goan-tin yang bisa bergerak lebih dahulu.
Yo Siauw dan yang lainnya menjadi bingung, tapi dalam menjalankan pernafasan dan mengerahkan tenaga dalam untuk mengobati luka, seseorang tak bisa memaksakan diri. Makin dia bingung, makin mudah celaka. Sebagi ahli Lweekee, Yo Siauw dan kawan-kawannya tentu mengerti kenyataan itu.
Sesudah beberapa kali berusaha, Leng Kiam tahu bahwa ia takkan bisa mendahului Goan-tin. Harapan satu-satunya adalah masuknya salah seorang anggota Beng-kauw ke dalam ruangan itu. Orang itu tak usah memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan ia tak perlu mengerti ilmu silat. Dengan sepotong kayu, ia bisa membinasakan Goan-tin yang sudah tak berdaya.
Tapi sesudah menunggu lama, di luar ruangan tak terdengar suara apapun juga. Waktu itu sudah tengah malam dan para anggota Beng-kauw telah pada tidur sedang mereka yang bertugas hanya menjaga di tempat-tempat penjagaan tertentu. Tanpa dipanggil, mana berani masuk ke dalam ruangan Gie soe teng (ruangan rapat)? Yo Siauw mempunyai beberapa pelayan pribadi, tapi setelah yang satu diisap darahnya oleh Wie It Siauw, yang lainnya lantas menyingkir jauh-jauh. Jangankan tak dipanggil sedangkan dipanggilpun belum tentu dia berani menghampiri.
Boe Kie yang berada di dalam karung juga mengerti bila kesunyian itu kesunyian yang sangat tegang. Selang beberapa lama, tiba-tiba Swee Poet Tek berkata, “Sahabat yang berada dalam karung harus menolong kami.”
“Bagaimana menolongnya?” tanya Boe Kie.
Pada detik itu, hawa murni Goan-tin justru telah mulai mengalir bebas di bagian tan tiannya. Mendengar pembicaraan itu, ia kaget bukan main dan hawa murni itu berbalik lagi sehingga ia kembali menggigil keras. Dalam tekadnya dan kesibukannya untuk membasmi jago-jago Beng-kauw mimpipun ia tak pernah bahwa di dalam karung ada manusianya. “Habislah jiwaku,” ia mengeluh di dalam hati.
“Mulut karung dijerat mati dan kecuali olehku sendiri, siapapun juga tak akan bisa membukanya,” terang Swee Poet Tek. “Tapi kau bisa berdiri di dalam karung.”
“Baiklah,” kata Boe Kie yang segera bangkit dan berdiri di dalam karung.
“Saudara kecil!” kata Swee Poet Tek tanpa memperdulikan keselamatan jiwanya, kau sudah menolong beberapa puluh saudara dari Swie Kim-kie. Kesatriaanmu dikagumi oleh semua orang. Sekarang, kamipun mengandalkan bantuanmu. Pergilah ke tempat pendeta bangsat itu dan hantam dia sampai mati.”
Boe Kie berpikir keras, ia tidak segera menjawab.
“Cara yang licik, pendeta jahat itu membokong orang,” kata Swee Poet Tek. “Cara bangsat itu telah didengar oleh kau sendiri. Kalau kau tidak membinasakan ia, maka berlaksa-laksa anggota Beng-kauw akan musnah dalam tangannya. Jika membunuh dia, kau melakukan perbuatan yang sangat mulia.”
Pemuda itu tetap ragu.
“Aku sudah tidak bisa bergerak lagi,” kata Goan-tin. “Apabila kau mengambil nyawaku dalam keadaan begitu, kau akan ditertawai oleh seluruh orang gagah di kolong langit.”
“Kepala gundul, tutup mulutmu!” bentak Cioe Tian. “Siauw Lim-pay menyebut diri sebagai partai yang lurus bersih. Tapi kau, diam-diam telah membokong orang. Apakah perbuatan itu semua tak ditertawai semua orang gagah di kolong langit?”
Boe Kie maju selangkah tapi segera berhenti lagi. “Swee Poet Tek Taysoe,” katanya, “Aku sama sekali tak tahu sebab dari permusuhan agamamu dengan enam partai persilatan. Aku sangat ingin membantu kalian tetapi akupun tak mau mencelakai pendeta Siauw Lim-pay itu.”
“Saudara kecil, ada satu hal belum dipikirkan kami tapi akan mengambil nyawamu juga.”
Goan-tin tertawa, “Dengan saudara kecil itu aku tidak bermusuhan,” katanya. “Di samping itu, iapun bukan anggota Mo-kauw, tak bisa salah lagi, ia ditangkap Po-tay Hweeshio dengan maksud jahat. Memang, orang-orang Mo-kauw memang biasa berlaku kejam dan melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk.”
Boe Kie jadi serba salah. Ia tahu bahwa Goan-tin bukan manusia baik tapi ia tak ingin membinasakan orang. Selain itu, bila ia turun tangan maka dengan sendirinya ia berdiri di pihak Mo-kauw. Dengan sendirinya, ia bermusuhan dengan keenam partai persilatan, bermusuhan dengan Thaysoehoe (Thio Sam Hong), Boe Tong, Liok hiap, Cioe Jiak dan yang lainnya. Di mata orang-orang rimba persilatan, Mo-kauw dianggap sebagai agama sesat, semacam agama siluman. Perbuatan Wie It Siauw yang suka mengisap darah manusia dan perbuatan ayah angkatnya yang sering membunuh sesama manusia secara sembarangan merupakan bukti-bukti dari perbuatan-perbuatan yang tak pantas. Thaysoehoe pernah berpesan bahwa biar bagaimanapun juga ia tak boleh bergaul atau berhubungan dengan orang-orang Mo-kauw supaya dia tidak usah menghadapi bencana yang tak perlu. Dia ingat juga pengalaman mendiang ayahnya. Karena sang ayah menikah dengan ibunya yang Mo-kauw, maka ayahnya mati bunuh diri. Ia ingat pula bahwa Goan-tin adalah murid Kong Kian Taysoe. Dalam usaha untuk menuntun ayah angkatnya ke jalan lurus, pendeta suci itu telah rela menerima tiga belas pukulan Cit siang-koen sehingga akhirnya mengorbankan nyawanya. Itulah pengorbanan yang sangat mulia yang jarang terjadi dalam dunia luas ini. Apakah ia bisa membunuh murid seorang yang begitu mulia? Selain itu, iapun ingat bahwa sesudah menerima ajaran Siauw Lim Kioe-yang kang dari Goan-tin, hubungan mereka adalah murid dan guru. Memang benar dengan membuka pembuluh darahnya pendeta itu mengandung maksud kurang baik. “Tapi biar bagaimanapun juga aku toh tak jadi mati,” katanya di dalam hati.
Boe Kie adalah seorang manusi aygn tidak bisa melupakan kebaikan orang. Jika seseorang menyakiti dirinya, sesudah lewat beberapa lama ia selalu mencari-cari alasan untuk mengentengkan arti jahat dari perbuatan itu. Misalnya perbuatan Ho Thay Ciong Coe Tiang Leng dan Cioe Tin adalah perbuatan-perbuatan yang sangat kurang ajar tapi tanpa diminta di dalam hatinya ia sudah memaafkan orang-orang itu. Terhadap Goan-tin pun ia tak punya dendam lagi.
Berulang kali Sweet Poet Tek mendesaknya tapi ia tetap tak bergerak. Akhirnya ia berkata, “Swee Poet Tek Taysoe, cobalah kau mencari suatu cara supaya aku tak usah membinasakannya dan ia pun tak bisa mencelakai kalian.”
Swee Poet Tek tak menyahut. Mana ada cara yang begitu?
Beberapa saat kemudian, Pheng Eng Gioklah yang membuka mulut, “Saudara kecil, kau seorang yang sangat mulia dan kami semua merasa sangat kagum. Sekarang begini saja, tolong kau totok Giok tong hiat di dada Goan-tin. Totokan ini takkan membahayakan dirinya. Ia hanya tak bisa mengerahkan Lweekang untuk beberapa jam. Aku akan memerintahkan orang untuk mengantarnya turun dari Kong Beng-teng dan kami berjanji bahwa kami takkan mengganggu selembar rambutnya.”
Sebagai orang yang ahli ilmu pengobatan, Boe Kie mengerti bahwa totokan pada Giok tong hiat hanya mencegah naiknya hawa murni dari bagian tian dan takkan mencelakai jiwa orang yang ditotok.”
“Siauw sie coe, jangan kena diakali oleh mereka,” kata Goan-tin. “Totokan pada Giok tong hiat memang tak membahayakan jiwaku tapi begitu tenaga mereka pulih, mereka pasti akan membinasakan aku. Bagaimana kau bisa cegah mereka?”
“Tutup mulutmu!” teriak Cioe Tian. “Kami sudah berjanji untuk tak mencelakai kau. Apakah perkataan Ngo Sian-jin dari Beng-kauw tidak dapat dipercaya?”
Boe Kie menganggap bahwa Yo Siauw dan Ngo Sian-jin adalah orang-orang berkedudukan tinggi yang kejujurannya tak diragukan lagu. Hanya Wie It Siauw seorang yang masih diragukannya. Maka itu ia lantas saja bertanya, “Wie Cianpwee bagaimana dengan kau?”
“Kali ini akupun tak akan menyerang dia,” jawabnya dengan suara gemetar. “Tapi kalau bertemu di lain kali, kami pasti akan mengadu jiwa dengannya.”
‘Baiklah,” kata Boe Kie. “Kong Beng Soecia, Ceng ek Hok-ong dan Ngo Sian-jin adalah orang-orang gagah pada jaman ini dan mereka tentu tak akan menjilat lagi ludah yang sudah dibuang. Goan-tin Taysoe, maafkan boanpwee terpaksa berbuat begini terhadapmu.”
Sesudah belasan langkah barulah ia berhadapan dengan pendeta Siauw Lim itu.
Giok tiong hiat terletak di bagian dada manusia satu coen enam hoen di bawah Cie kiong hiat atau satu coen enam hoen di atas Tian tiang hiat.
Pada hakekatnya “hiat” itu bukan “hiat” yang dapat membinasakan jiwa manusia tapi karena kedudukannya berada di jalan darah yang harus dilewati oleh hawa di dalam tubuh, maka kalau “hiat” tersebut tertotok aliran hawa murni di dalam tubuh segera terhenti.
Dengan mendengar suara nafas, Boe Kie tahu bahwa ia sudah berada dalam jarak kurang lebih dua kaki dari pendeta itu. “Goan-tin Taysoe,” katanya, “Untuk kebaikan kedua belah pihak, boanpwee terpaksa harus bertindak begini. Mohon Taysoe tidak menjadi gusar.” Seraya berkata begitu, perlahan-lahan ia mengangkat tangannya.
Goan-tin tertawa getir, “Badanku tidak bisa bergerak, rasakanlah,” katanya.
Semenjak binasanya Tiap-kok Ie-sian Ouw-Cena Goe, kepandaian Boe Kie mengenai jalan darah dapat dikatakan tidak ada duanya dalam dunia. Walaupun ia berada di dalam karung tidak dapat melihat sasarannya, jari tangannya menuju tepat kepada Giok tiong hiat.
“Celaka!” mendadak terdengar suara Yo Siauw, Leng Kiam dan Swee Poet Tek.
Hampir bersamaan pemuda itu merasa semacam hawa yang sangat dingin menerobos masuk ke dalam dirinya dari telunjuk yang digunakan untuk menotok Giok tiong hiat. Sambil mengigil ia mendengar cacian Cioe Tian dan Tiat Koan Toojin kepada Goan-tin. Ia lantas mengerti bahwa meskipun tubuhnya tidak bisa bergerak Goan-tin masih mempunyai sedikit tanaga yang dipusatkan pada jari tangannya. Waktu ia menotok, pendeta itu menaruh jari tangannya di Giok tiong hiat dan karena tidak melihat ia sudah menotok terus. Sebagai akibatnya begitu kedua jari tangan terbentur, tenaga It im cie menerjang masuk ke dalam badannya.
Boe Kie terluka tapi Goan-tin pun mendapat pukulan keras. Barusan ia memusatkan segenap sisa tenaganya pada jari tangannya. Dengan digunakannya tenaga itu, sekujur tubuhnya segera bergemetar keras, mukanya pucat pasi dan badannya kaku seperti mayat.
Cioe Tian yang paling berangasan terus mencaci maki tapi Yo Siauw dan yang lainnya menganggap bahwa perbuatan Goan-tin itu sudah sepantasnya. Ia berhak penuh untuk membela diri. Dilain pihak walaupun terpukul keras, diam-diam Goan-tin merasa girang. Ia menganggap bahwa sebagai orang yang masih muda, Lweekang Boe Kie tidak seberapa tinggi dan sesudah kena It im cie pemuda itu pasti akan binasa dalam waktu cepat. Ia tahu bahwa dalam waktu satu jam, hawanya yang buyar akan berkumpul kembali dan sesudah tenaganya pulih, ia akan bisa membinasakan musuh-musuh itu.
Dengan sembilan orang terluka semua, ruangan itu kembali sunyi. Berselang kira-kira setengah jam, api empat batang lilin padam hampir bersamaan. Dalam gelap gulita Yo Siauw mendengar jalan pernafasan Goan-tin yang tersengal-sengal sudah berubah tenang. Ia mengerti bahwa hawa murni dalam tubuh pendeta itu sudah berkumpul kembali. Berulang kali ia sendiri mengerahkan Lweekang tapi dalam setiap usaha, hawa dingin dari It im cie selalu menerjang ke tan tian-nya dan tanpa dapat dicegah ia menggigil. Ia menghela dan harapannya sirna. Rasa putus asa itu juga dirasakan oleh kawannya yang lain.
Sesudah menganggap, bahwa mereka takkan bisa lolos dari kebinasaan, sekarang mereka mengharap supaya tenaga Goan tin lekas2 pulih. Mereka merasa lebih lekas mati lebih baik, jangan disiksa lebih lama. Antara mereka itu, hanya Swee Poet Tek dan pheng Hweeshio yang masih merasa penasaran. Mereka adalah pendeta, tapi dalam hati merekalah yang mempunyai cita2 paling besar, cita2 untuk melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia.
“Pheng Hweeshio,” kata Swee Poet Tek. “Banyak tahun kita tercapai lelah dalam usaha untuk mengusir orang2 mongol dari negara kita. Tak dinyana, semua usaha berpikir dengan kegagalan. Hai! Mungkin sekali beribu-ribu dan berlaksa-laksa rakyat memang harus menderita lebih lama.”
Sesaat itu, Boe Kie sedang mengerahkan hawa panas dalam tubuhnya untuk melawan hawa dingin dari It im cie, tapi setiap perkataan Swee Poet Tek tidak terlolos dari pendengarannya.
“Dia mau mengusir bangsa Mongol?” tanyanya didalam hati, dengan rasa heran. “Apakah Mo Kauw yang nmanya begitu busuk bertujuan untuk menolong rakyat?”
“Swee Poet Tek,” demikian terdengar suara Pheng Hweesio, “Siang2 aku sudah mengatakan, bahwa dengan sendirian saja, Beng Kauw takkan bisa mengusir bangsa Mongol. Kalau mau berhasil kita harus bisa berserikat dengan orang2 gagah di kolong langit dan bergerak dengan serempak. Soehengmu dan soeteeku. Cioe Coe Ong, telah coba memberontak, tapi akhirnya mereka terbasmi…..”
Boe Kie terkejut. “Cioe Coe Ong?” tanyanya didalam hati. “Apakah Cioe Coe Ong bukan ayah nona Coe Cie Jiak?” dalam kagetnya, perkataan Peng Hweesio yang selanjutnya tidak didengar lagi olehnya.
“Jangan ribut!” tiba2 terdengar bentakan Cioe Tian. “Sedang kebinasaan sudah didepan mata, perlu apa kamu rewel2? Semua omong kosong! Siapa yang salah? Kita sendiri. Beng Kauw sendiri yang terpecah belah. Pheng Hweesio kau sungguh gila! Kau mengatakan ingin berserikat dengan orang2 gagah di kolong langit, artinya dengan partai2 yang dinamakan lurus bersih. Huh!….sekarang mereka justru mau membasmi kita. Kau mau berserikat dengan mereka?”
“Kalo Yo Kauwcoe masih hidup, dengan mudah kita bisa menaklukkan enam partai yang menyerang kita,” Tiat Koan menyela.
Cioe Tian tertawa terbahak2. “Hidung kerbau! Kau lebih gila lagi,” bentaknya. “Kalu Yo Kauwcoe masih hidup, segala apa tentu berjalan licin. Perlu apa disebutkan lagi?….Aduh” Ia tak bisa meneruskan perkataannya karena hawa It im cie menerjang ke dalam isi perutnya.
“Diam!” teriak Leng Kiam mendongkol. Bentakan itu sangat berpengaruh dan semua orang segera menutup mulut.
Sementara itu Boe Kie jadi bingung dan bersangsi. Didalam hatinya timbul banyak pertanyaan. Kalau didengar, Beng Kauw bukan semata-mata terdiri dari segundukan manusia yang biasa melakukan perbuatan tidak baik. Maka itu ia lantas saja bertanya “Swee Poet Tek taysoe, apakah aku boleh mendapat tahu tujuan yang sebenarnya dari agama kalian?”
“Ah! Kau belum tahu?” jawabnya. “Jika kau mesti hilang jiwa karena gara2 agama kami, kami sesungguhnya merasa tak enak hati. Kau sekarang hanya bisa hidup beberapa jam lagi, biarlah sebelum mati, kau mendengar rahasia agama kami. Leng Sian Sianseng, apa boleh aku menceritakan?”
“Ceritakanlah!” jawabnya.
“Saudara kecil,” ia mulai, “Beng Kauw dimulai di negeri Tay Sit Kok dan pada zaman kerajaan Tong barulah masuk ke Tionggoan. Pada masa itu, kaisar Tong telah mendirikan kuil2 untuk agama kami. Beng Kauw menyamaratakan semua pengikutnya dan mereka itu jika berharta, diharuskan menolong rakyat miskin. Kamipun tidak diperbolehkan makan makanan berjiwa atau arak. Oleh karena selama beberapa turunan agama kami selalu digencet oleh pembesar2 rakus, maka kerap kali saudara2 kami memberontak. Misalnya saja sedari zaman Phoe Lap, Phoei kauwcoe di masa Pak Song (Song utara), entah sudah berapa kali pemberontakkan Beng Kauw.”
Mendengar samapi disitu, Boe Kie ingat, kalau Phoei merupakan salah seorang dari empat pemberontakan besar di zaman Pak Song dan namanya berendeng dengan orang2 seperti Song Kang dan Tian Kouw.
“Kalau begitu Phoei Lap adalah kauwcoe agamamu?” tanyanya.
“Benar,” jawabnya. “Dalam tahun Kian Yam di zaman Lam Song –Song selatan- , Ong Cong Sek kauwcoe memberontak di Sin cioe, sedang dalam tahun Siauw hin, Ie Ngo Po memberontak di Kioe Cioe. Sesudah itu, dalam tahun Siauw Teng, pada zaman kaisar Lee Cong, Thio Sam Ciang kauwcoe memberontak di daerah Kangsay dan Kwitang. Sebab Bengkauw sering sekali bermusuhan dengan pembesar negeri dan menimbulkan pemberontakan2, maka kalangan pembesar negeri menamakan agama kami sebagai Mo kauw dan melarangnya.”
“Untuk mempertahankan kehidupan, maka kami terpaksa bekerja dengan bersembunyi. Kamipun bermusuhan dengan partai2 lurus bersih dan permusuhan kian lama kian menghebat sehingga mereka dan kami seakan2 api dan air.”
“Tentu saja diantara anggota2 Beng kauw terdapat juga manusia2 yang rendah martabatnya. Mereka itu sering digunakan oleh partai2 lurus bersih sebagai bukti bahwa agama kami adalah agama yang sesat. Dengan demikian, nama Beng kauw jadi makin merosost.”
“Swee Poet Tek, apakah kau maksudkan aku?” memutus Yo Siauw.
“Namaku Swee Poet Tek dan sesuatu yang tak boleh dikatakan aku tentu takkan mengatakannya” jawabnya. “Siapa kepotong dia perih. Siapa berdosa dia tahu dalam hatinya.”
Yo Siauw mengeluarkan suara di hidung dan tidak bicara lagi.
Tiba2 Boe Kie kaget sebab badannya sudah tak dingin. Tadi waktu baru kena It im cie rasa dingin meresap ke tulang2, tapi sekarang serangan itu sudah menghilang.
Sebagaimana diketahui, waktu masih kecil sekali ia kena racun dingin dari pukulan Hian beng Sin ciang dan sesudah mencapai usia 17 tahun, barulah semua racun terusir dari badannya. Selama kurang lebih 7 tahun siang malam tubuhnya bertempur melawan hawa dingin sehingga perlawanan tubuhnya terhadap setiap serangan hawa dingin sudah terjadi secara wajar. Disamping itu, iapun telah makan kodok merah dan telah melatih diri dengan ilmu Kioe Yang Sin Keng. Oleh karena adanya beberapa sebab itu maka hawa “yang” (hawa panas) didalam tubuhnya hebat luar biasa. Sehingga racun It im cie sudah terusir keluar, tanpa ia mesti mengeluarkan banyak tenaga.
Sementara itu Swee Poet Tek melanjutkan penuturannya. “Sedari kerajaan Song direbut oleh bangsa Mongol, permusuhan antara Beng kauw dan kerajaan makin menghebat. Selama beberapa keturunan, pemimpin2 agama kami telah menugaskan diri sendiri untuk mengusir kaum penjajah dengan mempersatukan semua orang gagah di seluruh negeri. Sayang sungguh, dalam tahun2 yang belakangan Beng kauw tidak mempunyai pemimpin dan sebab memperebutkan kedudukan sebagai Kauwcoe, tokoh2 Beng kauw jadi saling bunuh. Antara pentolan2 kami ada yang mengasingkan diri dan ada pula yang mendirikan agama lain dan mengangkat diri sebagai Kauwcoe. Sesudah Beng kauw berantakan, permusuhan dengan partai2 lurus bersih makin besar dan sebagai akibatnya kau bisa lihat sendiri. Kami sekarang sedang menghadapi bencana. Goan tin Hweeshio, bagaimana pendapatmu? Apakah aku berjusta?”
Goan tin mengeluarkan suara di hidung. “Tidak kau tak berdusta,” jawabnya. “Sesudah berada begini dekat dengan kebinasaan, perlu apa kau berjusta?” seraya berkata begitu, perlahan2 ia berdiri dan melangkah setindak.
“Ah!….”seru Yo Siauw dan yang lain2. biarpun sudah menduga, bahwa tenaga Goan tin akan pulih terlebih dahulu mereka sama sekali tidak menaksir, bahwa pendeta itu memiliki Lweekang yang begitu tinggi dan tenaganya pulih secara begitu cepat.
Dilain saat, dengan badan tetap, Goan tin telah melangkah lagi setindak.
Yo Siauw tertawa dingin. “Murid Kong kian taysoe benar2 hebat,” katanya. “Eh! Aku telah mengajukan satu pertanyaan yang belum dijawab olehmu. Apakah jawabannya memalukan kau, sehingga kau tak berani membuka mulut?”
Goan tin tertawa terbahak bahak dan maju lagi setindak. “Aku tahu……aku tahu, bahwa sebelum aku menjawab, kau tak bisa mati dengan mata meram,” katanya. “Kau tanya, mengapa aku tahu jalanan2 rahasia dari Kong Beng Teng. Mengapa aku bisa sampai disini tanpa diketahui oleh siapapun jua. Baiklah aku akan menjawab dengan sejujur2nya. Jawabanku ialah Yo Po Thian kauwcoe, pemimpin agamamu sendiri berdua istri yang pernah membawaku kemari.”
Yo Siauw terkesinap. Sebagai seorang yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi, pendeta itu pasti tak berdusta. Tapi mana bisa kejadian yang seperti itu?
“Keledai gundul! Jangan dusta kau!” caci Cioe Tian. “Jalanan rahasia Kong beng teng adalah sebuah rahasia besar. Tempat itu adalah tempat suci dari agama kami. Biarpun Yo cosoe seorang Kong beng Soe cia, walaupun Wie toako berkedudukan sebagai Hoe kauw Hoat tong. Mereka belum pernah menggunakan jalanan itu. Hanyalah kauwcoe seorang yang boleh menggunakannya. Mana bisa jadi Yo kauwcoe mengajak kau seorang luar berjalan dijalan itu?”
Goan tin menghela nafas dan untuk beberapa saat, kedua matanya mengawasi ke tempat yang jauh, “Jika kau mendesak juga, aku harus menceritakan peristiwa yang terjadi pada 25 tahun berselang,” katanya dengan suara berduka. “Baiklah. Biar bagaimanapun juga, kamu takkan bisa turun dari gunung ini dengan masih bernyawa. Kamu takkan bisa membocorkan rahasia. Hai! Cioe Tian, tak salah apa yang dikatakan olehmu. Jalanan rahasia itu adalah tempat suci dari agamamu. Memang, hanya kauwcoe yang boleh masuk kesitu. Siapa yang melanggar dosa besar. Tapi orangnya Yo Po Thian telah masuk kesitu. Yo Po Thian telah melanggar peraturan agama. Secara diam2 dia membawa Yo hoejin masuk kesitu.”
“Dusta! Dusta besar.” Teriak Cioe Tian.
“Cioe Tian, diam kau!” bentak Pheng hweshio.
Goan tin melanjutkan perkataannya. “Bukan saja begitu, Yo hoejin telah membawaku masuk kesitu…”.
“Bangsat! Bangsat besar! Dusta!” caci Cioe Tian.
“……..aku bukan anggota Beng kauw. Biarpun masuk dijalanan itu, aku tidak melanggar peraturan agama.” Kata Goan tin dengan sedih.
“Mengapa Yo Hoejin mengajak kau masuk dijalanan itu?” tanya Tiat koan Tojin.
“Hmmm! Itulah kejadian yang terjadi sudah lama sekali.” Jawabnya. “Sekarang loolap sudah berusia 70 tahun lebih. Diwaktu masih muda….Baiklah, loolap akan menceritakan rahasianya.”
“Apa kalian tahu siapa adanya loolap? Yo Po Thian adalah Soehengku, Yo Hoejin adalah Soemoyku. Pada sebelum menjadi pendeta, loolap she Seng bernama Koen, bergelar Hoen goan Pek Leng chiu.”
Mendengar keterangan itu, bukan main kagetnya Yo Siauw dan yang lain2, sedang Boe Kie hampir berteriak. Pemuda itu lantas saja ingat penuturan ayah angkatnya pada suatu malam di pulau Peng Hwee to. Pada waktu itu Cia Soen menceritakan cara bagaimana gurunya telah membunuh semua anggota keluarganya, cara bagaimana untuk memaksa keluarnya guru itu, ia telah membunuh banyak orang gagah dalam Rimba persilatan dan cara bagaimana sesudah ia melukai pendeta suci Kong kian. Seng koen tidak menepati janji untuk munculkan diri. Tiba2 Boe Kie tersadar dan berkata didalam hatinya. “Tak bisa salah lagi, pada waktu itu bangsat tua Seng Koen telah mengangkat Kong kian Seng ceng –pendeta suci kian- sebagai guru. Untuk menghilangkan permusuhan itu, pendeta suci itu rela menerima 13 pukulan Cit Siang koen dari Giehoe. Siapa nyana Seng Koen malah sudah mendustai gurunya sendiri, sehingga Kong kian Taysu meninggal dunia dengan penasaran.”
Mengingat sampai disitu, Boe Kie lantas saja sangat perkataannya sendiri yang diucapkan pada malam itu. “Giehoe, orang yang membinasakan seantero keluargamu bernama Hoen goan Pek lek chioe, bukan? Baiklah, Boe Kie akan mengingat nama itu. Dibelakang hari, anak tentu akan mewakili ayah untuk membalas sakit hati.”
Dengan gusar, ia kemudian berkata didalam hati. “Kalapnya Giehoe sehingga ia sering membunuh orang yang tidak berdosa, kedatangan dan desakan berbagai partai di Boe Tong san sehingga kedua orang tuaku terpaksa membunuh diri semua adalah gara2nya bangsat tua Seng Koen.”
Makin diingat, darah pemuda itu makin meluap. Tiba2 ia merasa sekujur badannya panas, seperti dibakar. Karung Kian Koen It Khie tay dari Swee Poet Tek tertutup rapat dan hawa udara tidak bisa keluar masuk. Menurut pantas, sesudah berdiam dalam karung begitu lama, Boe Kie sebenarnya sudah mesti mati. Tapi ia kerena memiliki lweekang yang sangat tinggi dan hawa yang dikeluarkan dari pernafasan sangat sedikit, maka ia masih dapat mempertahankan diri. Tapi sekarang, dalam gusarnya, Cioe yang Cin khie (hawa tulen Kioe Yang) tak dapat dikuasai lagi dan lalu mengamuk hebat. Beberapa saat kemudian, ia merasa badannya seperti masuk dalam perapian, sehingga ia mengeluarkan teriakan keras.
“Saudara kecil!” bentak Cioe Tian, “Kita semua tengah menghadapi kebinasaan dan sama2 menanggung penderitaan hebat. Tapi seorang yang gagah tidak boleh memperlihatkan kelemahannya dan berteriak2 seperti kau”.
“Benar!” kata Boe Kie yang lalu menentramkan jalan pernafasannya dengan ilmu yang terdapat dalam Kioe yang cin keng. Biasanya ilmu itu bermanfaat sekali. Tapi kini, usahanya gagal. Tulang2nya sakit dan jalan darah diseluruh tubuhnya seperti juga ditusuk dengan jarum2 ribuan yang panas.
Mengapa bisa begitu?
Biarpun telah melatih diri selama beberapa tahun dan biarpun Kioe yang cin keng merupakan salah satu kitab silat terlihay di kolong langit, tapi dalam mempelajari kitab tersebut, Boe Kie tidak mendapat bimbingan guru yang pandai. Ia belajar hanya dengan meraba2. Maka itu, Kioe yang cin khie yang makin lama makin bertambah didalam badannya, tidak dapat disalurkan olehnya, karena ia berada didalam karung. Disamping itu, totokan It im cie merupakan salah satu ilmu yang paling beracun dalam rimba persilatan. Bagi Boe Kie, totokan itu seakan2 setengah obat pasang yang disulut sumbunya. Celakanya, sebab berada didalam karung, hawa cin kie yang keluar dari pernafasannya tak bisa buyar dan balik menghantam dirinya sendiri. Dengan demikian, Boe Kie kini tengah menghadapi saat yang sangat penting (jiwanya tergantung atas selembar rambut).
Hal ini tentu tak diketahui oleh Cioe Tian dan yang lain2.
Sementara itu, biarpun sedang melawan hawa panas dengan mati2an, Boe Kie tetap dapat menangkap setiap perkataan Goan Tin yang telah melanjutkan penuturannya. “Keluarga soemay-ku dan keluargaku mempunyai hubungan yang rapat,” kata pendeta itu. “Sedari kecil kita telah ditunangkan. Siapa tahu, diam2 Yo Po Thian juga mencintai soemoy-ku itu. Belakangan dia menjadi kauwcoe dari Beng kauw dan pengaruhnya besar sekali. Ayah dan ibunya soemoy adalah manusia2 yang kemaruk akan pengaruh, sedang soemoy sendiri tidak mempunyai pendirian yang teguh. Akhirnya soemoy menikah dengan Yo Po Thian. Tapi sesudah menikah, ia merasa tidak beruntung dan kadang2 membuat pertemuan denganku. Supaya pertemuan tidak terganggu, ia ingin sekali mencari tempat yang aman dan nyaman.”
“Yo Po Thian sangat mencintai soemoy-ku dan ia tidak pernah membantah kehendak sang istri. Waktu soemoy menyatakan keinginannya untuk melihat2 jalanan rahasia Kong beng teng, biarpun merasa sangat berat, ia sudah meluluskan juga. Demikianlah, jalanan rahasia itu yang selama ratusan tahun dipandang sebagai temnpat suci dari Beng kauw, menjadi tempat pertemuanku dengan nyonya Kauwcoe. Ha…ha…ha….ha! Puluhan kali aku mondar mandir di jalanan itu. Apa heran jika hari ini aku bisa mendaki Kong beng teng tak kesukaran apapun jua?”
Yo Siauw dan kawan2nya merasa dada mereka seperti mau meledak, tapi mereka tak bisa mengucapkan sepatah kata. Cioe Tian yang biasa mencaci maki juga tidak dapat mengeluarkan caciannya. Kejadian itu merupakan hinaan yang besar bagi Beng kauw dan bencana yang dihadapi oleh Beng kauw juga karena gara2 terbukanya rahasia jalanan itu. Mata Yo Siauw dan yang lain2 seperti mau menyemburkan api, tapi merekapun tahu, bahwa Goan Tin tidak berbicara dusta.
“Kamu marah?” tanya Goan tin. “Pernikahanku telah digagalkan oleh Yo Po Thian. Dia terang2 istriku. Setelah menjadi pemimpin Mo Kauw, Yo Po Thian merampas istriku yang tercinta. Permusuhanku dengan Mo kauw adalah permusuhan yang tidak bisa berdiri di kolong langit bersama2. pada hari pernikahan Yo Po Thian dengan soemoy-ku, aku datang memberi selamat dan turut minum arak kegirangan. Tapi didalam hati, diam2 aku bersumpah, bahwa sebegitu lama Seng Koen masih bernafas, ia pasti akan membunuh Yo Po Thian, ia pasti akan membasmi Mo kauw. Sudah 50 tahun aku bersumpah. Baru kini aku berhasil.”
“haaa……haaaa…..Aku puas!” Seng koen akan mati dengan mata meram.
“Terima kasih atas keteranganmu,” kata Yo Siauw dengan suara dingin. “Kini baru kutahu sebab musabab dari kematian Yo Siauw coe.”
“Kalau begitu, ia mati didalam tanganmu”
“Ilmu Yo soeheng banyak lebih tinggi daripadaku,” kata Goan Tin. “Kami adalah saudara seperguruan…………masing2 tahu kepandaiannya….”
“Lantaran begitu kau sudah membokong,” memutus Cioe Tian. “Kalau bukan menggunakan racun, kau tentulah sudah menyerang secara gelap, seperti perbuatanmu hari ini.”
Goan tin menghela nafas dan menggelengkan kepala. “Tidak!” katanya. “Sebab kuatir ku mencelakai dia secara menggelap, berulang kali soemoyku memperingatiku. Ia mengatakan bahwa jika aku membinasakan Yo Po Thian, ia takkan mengampuniku. Ia mengatakan, bahwa dengan mengadakan pertemuan gelap saja, ia telah berdosa besar terhadap suaminya. Bila Yo Po Thian dibinasakan, maka perbuatan itu dianggapnya sebagai perbuatan terkutuk yang pasti akan dihukum oleh langit.”
“Hai!………Yo Soeheng……..dia………mati sendiri.”
Yo Siauw dan lain2 terkesiap.
Kata Goan Tin pula, “Kalau benar Yo Po Thian binasa dalam tanganku, aku tentu sudah mengampuni Beng kauw….” Suaranya berubah perlahan. Seperti juga ia ingat pula peristiwa yang terjadi pada banyak tahun berselang. Sesudah berhenti sejenak, ia berkata lagi dengan suara perlahan. “Malam itu aku bertemu lagi dengan suomoy-ku di jalanan rahasia itu. Sekonyong2 kami mendengar suara nafas yang datang dari jurusan kiri. Itulah kejadian yang belum pernah terjadi. Orang luar takkan bisa masuk ke jalanan itu, sedang anggota Beng kauw takkan berani masuk. Kami kaget dan lalu menyelidiki. Ternyata suara nafas itu suara nafasnya Yo Soeheng yang sedang berduduk dalam sebuah kamar. Ia memegang selembar kulit kambing dalam tangannya dan selebar mukanya berwarna merah. Ia sudah mengetahui rahasia kami. ‘Bagus sungguh perbuatan kamu berdua!’ katanya. Sesudah berkata begitu paras mukanya berubah biru. Sesaat kemudian, warna biru berubah merah lagi. Perubahan ini silih berganti sampai 3 kali. Yo Cosoe, apa kau tahu sebab musababnya?”
“Kejadian itu sudah terjadi karena Yo kauwcoe sedang melatih diri dalam ilmu Kiun koen tay lo ie,” jawabnya.
“Yo Siauw bukankah kau sudah mahir dalam ilmu itu?” tanya Coe Tian.
“Kau tidak dapat menggunakan perkataan mahir,” jawabya. “Waktu masih hidup; karena menghargai aku, Yo kauwcoe telah mengajar aku pokok2 dari Kian koen Tay lo ie Sin kang. Sesudah berlatih belasan tahun, aku hanya mencapai tingkat dua. Dalam latihan selanjutnya. Hawa tulen dalam badanku mengamuk dan coba menerjang keluar dengan memecahkan batok kepalaku. Biar bagaimanapun juga aku tidak bisa menguasai hawa itu. Perubahan 3 kali pada paras muka Yo Kauwcoe merupakan tanda, bahwa ia sudah mencapai tingkat kelima dari ilmu tersebut. Ia pernah memberitahu aku, bahwa diantara kauwcoe agama kita, Ciong kauwcoelah, dari keturunan kedelapan yang memiliki kepandaian paling tinggi dan sudah mencapai tingkat keenam dari Kian koen tay lo ie.
Pada suatu hari, waktu sedang melatih diri, ilmu itu telah membakar Ciong kauwcoe, sehingga binasa. Mulai dari waktu, belum ada orang yang bisa mencapai tingkat kelima.”
“Begitu sukar?” kata Cioe Tian.
“Kalau tidak sukar, ilmu itu tentu tidak dianggap sebagai ilmu pelindung agama kita,” kata Tiat koen Toojin.
Jago-jago Beng kauw itu sudah lama mendengar halnya Kiankoen tay loe ie Sinkang. Maka itu begitu nama itu disebutkan, biarpun sedang menghadapi bahaya, mereka tak tahan untuk membicarakannya.
“Yo Cosoe,” kata Pheng Eng Giok, “Mengapa terjadi perubahan pada paras muka Yo kauwcoe?”
Pheng Hweesio adalah seorang yang sangat pintar. Dengan mengajukan pertanyaan itu ia mempunyai maksud tertentu. Kalau Goan Tin maju beberapa tindak lagi, habislah nyawa mereka. Maka itu sedapat mungkin ia ingin memperpanjang pembicaraan untuk mendapat lebih banyak waktu. Asal saja ketujuh jago Beng kauw dapat bergerak, maka dengan bersatu padu, mereka akan bisa melawan serangan Goan Tin, biarpun hanya untuk sementara waktu. Andai kata pada akhirnya lebih baik daripada tanpa melawan.
Sebagai seorang yang sangat cerdas Yo Siauwpun mengerti maksud Pheng Eng Giok. Maka itu perlahan2 ia memberi keterangan. “Tujuan dari Kian koen tay lo ie Sinkang yalah menjungkir balikkan 2 rupa hawa, yaitu hawa ‘keras’ dan hawa ‘lembek’, hawa Im dan hawa Yang. Perubahan pada paras muka sudah terjadi pada waktu darah didalam tubuh turun ke bawah, yaitu pada waktu berubahnya Cin kie. Sepanjang keterangan, waktu mencapai tingkat keenam, kulit di sekujur badan bisa berubah2 warnanya, sebentar merah sebentar biru. Tapi kalo seseorang sudah mencapai tingkat ke tujuh, perubahan hawa Im dan Yang akan terjadi tanpa memperlihatkan perubahan dalam warna kulit.” (Im dan Yang, Negatif dan Positif).
Sebab kuatir Goan tin tak sabaran, Pheng Eng Giok lalu menanya pendeta itu. “Goan tin taysu apakah kau boleh memberitahu kami, cara bagaimana Yo Kauwcoe sudah berpulang ke alam baka?”
Goan tin tertawa dingin. “Sesudah kamu kena It Im cie dalam dunia ini hanya ada empat golongan manusia yang bisa menolong,” katanya. “Kamu hanya bisa ditolong dengan Kioe yang sin kang dari Boe Tong, Siauw Lim, Go Bie dan It Yang Cie dari It Teng Taysoe. Kalu ditolong dengan salah satu ilmu itu kamu akan bisa bergerak untuk sementara waktu. Janganlah mimpi, bahwa kamu bisa menolong diri sendiri dengan mengerahkan lweekang dan dengan memperpanjang waktu. Aku bicara terang2. itu semua tiada gunanya. Sebagai ahli2 kelas utama dalam rimba persilatan, kamu tentu tahu, bahwa biar mendapat luka yang lebih berat lagi, sesudah menjalankan pernafasan begitu lama, sedikit banyak kamu sudah mendapat kemajuan. Tapi sekarang? Bukannkah, sebaliknya daripada mendingan badanmu jadi makin kaku?”
Yo Siauw dan yang lain2 sudah merasai kenyataan itu. Tapi sebagai manusia sebegitu lama masih bernafas, mereka masih mempunyai harapan.
Sementara itu Goan tin melanjutkan penuturannya. “Melihat perubahan paras muka Yo Soe Heng, aku kaget. Soemoyku tahu, bahwa ia berkepandaian sangat tinggi dan dengan sekali menghantam, ia bisa membinasakan aku. “Toosoeko, katanya, dalam hal ini akulah yang bersalah. Lepaskan Seng soeko dan aku rela menerima segala hukuman.” Mendengar perkataannya, Yo Soe heng berkata dengan suara parau. “Aku hanya bisa menikah dengan badanmu, tidak bisa menikah dengan hatimu. Sehabis berkata begitu, kedua matanya terbuka lebar, seperti sedang mangamati sesuatu ditempat jauh dan sesaat kemudian, dari kedua mata itu keluar darah yang mengalir turun dengan perlahan. Tubuhnya kelihatan kaku dan ia tidak bergerak lagi. Soemoyku terkejut dan berteriak. Toa soeko!…..Toa soeko!….Po Thian!…..Po Thian!….Mengapa kau?. Ia berteruiak berulang2.”
Goan Tin meniru teriakan Soemoynya dengan suara perlahan, tapi nadanya menyeramkan, sehingga semua orang jadi bergidik.
Sesudah berdiam sejenak. Ia berkata pula, “Sebab Yo Soeheng tidak juga bergerak, dengan membaringkan hati soemoyku menarik tangannya dan lantas saja ternyata, bahwa tangan itu tangannya mayat. Soemoy meraba dadanya. Ia memang sudah mati. Kutahu hatinya tidak enak dan ia merasa menyesal. Maka itu, aku segera coba membujuknya dengan berkata. Soemoy, menurut penglihatanku Toasoeko telah membuat kesalahan pasa waktu melatih diri dalam serupa ilmu yang tinggi. Mengalirnya hawa tulen terbalik dan ia tidak dapat ditolong lagi. Soemoyku mengangguk, ‘benar” katanya. ‘Ia tangah melatih ilmu Kian Koen tay lo ie yang sangat luar biasa. Pada detik latihan yang sangat penting ia mendapat tahu rahasia pertemuan kita. Biarpun bukan binasa dalam tanganku, tapi ia binasa karena gara2ku.’ Baru saja aku ingin membujuk lagi, tiba2 ia menuding ke jurusan belakangku sambil membentak ‘Siapa itu?’ Aku memutar badan, tapi tak lihat apapu juga. Waktu aku memutar badan lagi, pada dadanya sudah tertancap sebilah pisau. Ia sudah membunuh diri sendiri!”
“Huh..Huh!…Yo Po Thian mengatakan, bahwa ia menikah dengan orangnya, tapi tidak menikah dengan hatinya. Aku sendiri? Aku berhasil merebut hatinya soemoy, tapi tidak bisa mendapatkan menusianya. Dalam seluruh penghidupanku, ia adalah seorang yang paling dihormati dan paling dicintai olehku. Kalau bukan gara2 Yo Po Thian, kami berdua tentu sudah terangkap menjadi suami istri yang bahagia. Kalau bukan Yo Po Thian menjadi kauwcoe dari Mo kauw, maka soemoyku tentu takkan menikah dengan manusia itu yang usianya lebih tua dua puluh tahun lebih daripadanya Yo Po Thian telah mati. Aku tidak bisa berbuat sesuatu lagi kepadanya. Tapi Mo kauw masih malang melintang di dalam dunia. Waktu itu sambil menuding jenazah soeheng dan soemoyku, aku berkata. “Aku Seng Koen, bersumpah untuk menggunakan segala rupa kepandaianku guna membasmi Beng kauw. Sesudah berhasil, aku akan datang kemari lagi dan disini untuk menggorok leher sendiri dihadapanmu berduasebagai penebus dosa. Ha…ha……ha…….Yo Siauw!……Wie It Siauw…….kamu semua akan segera binasa. Seng koenpun tak akan hidup lebih lama lagi. Maksudku sudah tercapai dan dengan segala senang hati, aku akan menggorok leher sendiri untuk mengawani kamu semua ke alam baka.”
Ia menghela nafas dan berkata pula. “Selama beberapa tahun setiap saat aku memikiri daya upaya untuk menghancurkan Mo kauw. Hei…..Aku sungguh beruntung, istriku direbut orang. Muridku satu2nya menganggapku sebagai musuh besarnya……”
Mendengar disebutnya Cia Soen. Jantung Boe Kie memukul keras dan ia memusatkan segala perhatiannya untuk mendengari Seng Koen. Tapi dengan pemusatan perhatian itu, Kioe Yang Cin Khie (Hawa tulen Kioe yang) yang berkumpul di tubuhnya jadi bertambah. Tal lama kemudian, ia merasa tulang2nya seperti melar, seolah2 mau meledak, sedang lubang2 rambutnya seakan2 menjadi beberapa kali lipat lebih besar.
Goan Tin melanjutkan ceritanya. “Sesudah turun dari Kong beng teng, aku pulang ke Tionggoan dan mencari muridku Cia Soen yang sudah lama tak bertemu. Diluar dugaan, begitu bertemu aku diberitahukan, bahwa ia sudah menjadi salah satu Hoa kauw Hoat ong dari Mo kauw……”
Ia malah coba membujukku supaya aku turut menyeburkan diri ke dalam agama siluman itu. Ia mengatakan bahwa Mo kauw bertujuan untuk mengusir kaum penjajah. Aku gusar tak kepalang. Tapi aku segera menekan kegusaranku, karena kuingat, bahwa Mo kauw sudah berakar dalam dan mempunyai banyak orang pandai, sehingga dengan sendirian, aku pasti tak bisa berbuat banyak. Jangankan aku seorang diri, sedangkan sebuah perserikatan dari orang2 gagah seluruh rimba persilatan belum tentu bisa menghancurkannya, aku menarik kesimpulan jalan satu2nya iyalah menjalankan tipu supaya Mo kauw terpecah belah dan anggota2nya saling bunuh membunuh. Hanyalah dengan cara itu. Mo kauw bisa dihancurkan”
Yo Siauw dan yang lain2 memasang kuping dengan hati berdebar2. mereka merasa, bahwa dalam banyak tahun mereka seperti berada dalam pulas yang nyenyak, tanpa mengetahui, bahwa seorang musuh besar tengah menjalankan siasat untuk membinasakan Beng kauw.
Diam2 mereka mengakui kegoblokannya mereka. Bahwa dalam banyak tahun ini, apa yang diperbuat mereka hanyalah berkelahi dengan kawan sendiri untuk merebut kursi Kauwcoe. Cerita Goan tin itu bagaikan bunyi genta yang telah menyadarkan mereka.
“Pada waktu itu, paras tak berubah, aku hanya mengatakan bahwa urusan itu urusab besar yang harus dipikir masak2,” kata pula Goan tin. “Beberapa hari berselang aku berlagal mabuk arak dan coba mencemarkan kehormatan istri muridku. Dengan menggunakan kesempatan itu, aku membunuh ayah, ibu, istri dan anaknya Cia Soen. Aku mengerti, bahwa dengan berbuat begitu. Ia akan marah besar dan coba mencari aku untuk membalas sakit hatinya. Kalau dia tidak berhasil mencari aku, maka menurut dugaanku, ia akan melakukan perbuatan yang gila2. ha..ha!….kata orang, mengenal anak tidak seperti ayahnya, mengenal murid tidak seperti gurunya. Aku mengenal watak muridku itu. Dia anak sangat baik, tapi seorang pemarah yang mudah menjadi gelap. Ia tidak bisa memikir panjang2, ia tidak bisa meneliti siasat orang.”
Mendengar sampai disitu Boe Kie merasa kepalanya puyeng. Ia gusar bukan main, dadanya seperti mau meledak. “Kalau begitu semua penderitaan Gie Hoe adalah akibat dari tipu busuknya bangsat tua itu.” Katanya dalam hati.
Dengan suara bangga Goan tin berkata pula “Dengan menggunakan namaku Cia Soen telah membinasakan orang2 gagah dalam kalangan Kangouw. Tujuannya yalah untuk memaksa aku keluar untuk menemui dia. Ha….ha! mana bisa aku menuruti kemauannya, rahasia tentu saja tak bisa ditutup. Biarpun dia menggunakan namaku, tapi orang tahu bahwa pembunuhan2 itu dilakukan olehnya. Dia menanam banyak sekali permusuhan. Hutang2 darah itu semua masuk kedalam buku hutang Beng kauw…..”
Ia berhenti sejenak, kemudia lanjutnya. “diluar banyak musuh, didalam Beng Kauw berantakan. Kamu semua tidak terlepas dari tipu dayaku. Aku merasa menyesal dia batal membunuh Song Wan Kiauw. Tapi cukuplah, dia sudah membunuh Kong kian Taysoe, melukai lima tetua Kho tong, membinasakan jago2 lima partai di pulau Ong poan san, bahkan orang2 Peh bie kauw tak terluput dari tangannya. Ha…ha….ha! murid baik, murid manis. Ha…ha….ha…..” dia tertawa bagaikan orang edan.
Tiba2 Boe Kie merasa kupingnya “menguing” dan ia pingsan. Tapi beberapa saat kemudian, ia sudah tersadar lagi. Semenjak kecil, ia sendiri pernah menerima macam2 hinaan. Tapi apa yang diderita ayah angkatnya, ratusan kali lipat lebih hebat. Karena tipu busuknya Seng Koen, ayah angkat itu, seorang yang keras seperti besi, musnah rumah tangganya. Rusak namanya, matanya buta keduanya dan sekarang hidup sebatang kara di pulau terpencil. Aduh! Itulah sakit hati yang tidak bisa tidak dibalas.
Bahna gusarnya, dadanya menyesak. Dan karena gusar, Kioe yang Cin Khie dalam tubuhnya mengamuk hebat. Nafasnya tersengal2 membunag “hawa tulen” yang seperti juga meledak keluar dari dalam tubuhnya. Tapi ia berada didalam karung. Hawa yang keluar dari hidung dan mulutnya tak bisa buyar, sehingga sebagai akibatnya, perlahan2 karung Kian Koen it khie tay melembung.
Tapi semua orang yang tengah mendengari cerita Goan tin tidak memperhatikan melambungnya karung itu.
Goan tin berkata pula. “Yo Siauw, Cioe Tian, Wie It Siauw dan yang lain2, apa kamu mau bicara?”
Yo Siauw menghela nafas, “Sesudah keadaan jadi begini, apa lagi yang mau dikatakan?” katanya, “Goan tin taysu, apakah kau bisa mengampuni jiwa anakku? Ibunya ialah Kie Siauw Hoe dari Go Bie Pay. Ia belum masuk ke dalam Beng Kauw.”
“Membabat rumput harus membabat sampai diakarnya, aku tak mau memelihara harimau kecil untuk jadi biang penyakit,” jawabnya. Ia berjalan pelan2 dan lalu mengangkat tangannya untuk menepuk batok kepala Yo Siauw.
Boe Kie terkesinap. Tanpa menghiraukan hawa panas yang seperti dibakar, ia melompat kehadapan Goan tin, mengangkat tangan kirinya dan menangkis pukulan pendeta itu. Begitu tertangkis, tangan Goan tin terpental. Sesudah terkena pukulan Han beng Bian ciang, pendeta itu terluka berat dan sekarang, tenaganya baru pulih sebagian, sehingga tangkisan Boe Kie telah menggoncang tubuhnya dan mau tidak mau, ia mundur setindak dengan badan limbung. “Bocah!” bentaknya. “Kau…..kau…..”
Boe Kie merasa mulut dan lidahnya kering serta panas. Hawa cin khie mengamuk makin hebat.
Sesudah menetapkan semangat, Goan tin memukul karung itu dengan telapak tangannya. Tapi pukulan itu, yang tidak kena dibadan Boe Kie, sudah terpukul balik dengan tenaga membal dari karung tersebut, sehingga sekali ia terhuyung. Ia kaget bukan main dan tak tahu sebab musababnya. Dia sama sekali tidak pernah bermimpi, bahwa manusia yang berada dalam karung itu mempunyai tenaga Kioe yang Sin keng.
Sementara itu, Kioe yang Cin khie yang mengamuk didalam tubuh Boe Kie sudah mendekati titik peledakan. Jika Kian koen It kie tay keburu meledak, maka ia terlolos dari kebinasaan, kalau tidak, Cin khie itu akan segera meledak dan membakar seluruh tubuhnya.
Dilain saat Goan tin telah maju 2 tindak dan kembali menghantam karung dengan telapak tangannya. Seperti tadi, ia terhuyung pula, tapi karungnya pun, yang didorong keras, berguling2 seperti bola raksasa. Dada Boe Kie semakin menyesak. Ia sukar mengeluarkan lagi hawa dari badannya, sebab karung itu sudah terlalu penuh. Dengan beruntun Goan tin memukul 3 kali dan menendang 2 kali dan tiap kali menyerang, setiap kali terhuyung sebab terpukul balik dengan tenaga membal karung tersebut.
“Masih untung pukulan dan tendangannya tidak meyentuh pada Boe Kie. Bila menyentuh tubuh yang penuh dengan Kioe yang Sin kang ia pasti terluka berat.
Yo Siauw, Pheng Eng Giok dan Swee Poet Tek mengawasi kejadian aneh itu dengan mata membelalak. Kian koen It khie tay adalah milik Swee Poet Tek, tapi iapun tak tahu, mengapa karung bisa melembung seperti bola. Ia juga tak tahu apa Boe Kie masih hidup atau sudah mati.
Dengan gregetan Goan tin mencabut pisau dari pinggangnya dan dengan sekuat tenaga, ia menikam. Tapi karung itu hanya mendesak, tidak pecah. Ia terkesinap. Ia tak tahu, bahwa karung itu tebuat daripada semacam bahan yang aneh. Dengan menggunakan pisau biasa, karung mustika itu tentu saja tidak bisa dirobek.
Sesudah gagal dalam beberapa serangan, Goan tin berkata dalam hatinya. “perlu apa aku meladeni manusia dalam karung itu?” ia menendang dan karung itu terbang keluar.
Apa mau karung itu terbentur pintu dan terpental balik, menyambar Goan tin. Melihar sambaran itu, dia mengangkat kedua tangannya dan menghantam sekuat tenaga.
“Dar!” peledakan dahsyat yang menyerupai geledek menggetarkan seluruh ruangan dan ribuan kepingan kain terbang berhamburan. Kian Koen It khie tay hancur! Goan tin, Yo Siauw, Cioe tian dan yang lain2 merasa seperti disambar semacam hawa yang sangat panas, sedang Boe Kie sendiri berdiri terpaku bagaikan patung dengan paras muka seperti orang linglung, sebab ia sendiri tak tahu apa yang telah terjadi.
Ia sendiri tak tahu, bahwa pada detik itu, ia sudah mencapai hasil lengkap dalam memiliki Kioe yang Sin kang yang murni. Pada detik itu, naga seolah2 bertemu dengan harimau, langit bersatu padu dengan bumi. Tadi waktu ia masih berada didalam karung yang penuh dengan Kioe yang Cin khie, ratusan jalan darahnya seperti diurut oleh ratusan ahli silat kelas utama yang dengan berbareng mengeluarkan hawa tulen mereka. Jodoh yang luar biasa itu belum pernah dialami oleh siapapun juga. Dan pada saat meledaknya karung, cin khie didalam dan diluar badannya mengalami suatu kegoncangan hebat.
Didalam semua pembuluh darahnya seperti juga mengalir semacam air perak dan sekujur badannya nyaman luar biasa.
Dalam seluruh rimba persilatan, kejadian seaneh itu baru saja terjadi.
Goan tin adalah manusia jahat yang licik dan cerdas otaknya. Melihat pemuda itu masih dalam keadaan bingung. Ia tahu, bahwa sekarang adalah kesempatan satu2nya untuk menyerang. Bila kesempatan yang baik itu telah lewat dan Boe Kie keburu turun tangan terlebih dahulu, ia bakal binasa. Maka itu ia lantas saja maju dan menotok Tian tiong hiat, didada pemuda itu.
Dengan cepat Boe Kie menangkis dengan tangannya.
Dalam ilmu silat, kepintaran Boe Kie masih sangat cetek. Waktu berada di pulau Peng hwee to, ia pernah belajar silat dari Cia Soen dan kedua orang tuanya. Tapi apa yang telah dipelajarinya adalah ilmu2 biasa. Maka itu, ia takkan bisa menandingi seorang lawan seperti Goan tin. Pada waktu mengkis pukulan si pendeta, Yang tie hiat di pergelangan tangannya, telah kena ditotok dengan It im cie, sehingga ia menggigil dan mundur setindak dengan terhuyung.
Tapi badan pemuda itu penuh dengan Kioe yang Cin khie dan hawa tersebut menerobos masuk ke dalam tubuh Goan tin dari jari tangannya. Hampir berbareng dengan terhuyungnya Boe Kie, “yang” (panas) dari Kioe yang Sin kang bertempur dengan hawa “im” (dingin) dalam tubuhnya Goan tin. Biarpun lihay si pendeta yang telah terluka, mana bisa melawan Kioe yang cin khie? Ia bergidik dan merasa seantero tenaga dalamnya membuyar. Hatinya mencelos. Ia tahu, bahwa ia tengah menghadapi kebinasaan. Buru2 ia memutar badan lalu kabur.”Seng koen!” teriak Boe Kie dengan gusar.
“Tinggalkan jiwamu disini!” sesaat itu Goan tin sudah lari masuk meninggalkan pintu. Boe Kie melompat untuk mengejar, tapi, “Bruk!”, ia menubruk pinggir pintu, pipinya yang terbentur dirasa sakit sekali.
Mengapa begitu?
Sesudah berhasil didalam Kioe yang Sin kang, setiap gerakan Boe Kie berlipat kali lebih besar tenaganya daripada biasanya. Maka itu, waktu melompat, jarak lompatan itu jauh luar biasa, sehingga ia kehilangan keseimbangan dan menubruk pintu. Ia tak tahu mengapa ia bisa melompat begitu jauh. Tapi ia tak bisa memikir panjang2 dan lalu turut masuk kedalam pintu samping itu.
Ia sekarang berada dalam ruangan kecil. Dalam tekadnya untuk membalas sakit hati ayah angkatnya, tanpa menghiraukan kemungkinan dibokong, ia mengubar terus.
Setelah melalui ruangan itu, ia tiba dalam sebuah halaman terbuka.
Ia mengendus bau wangi, wanginya bunga yang ditanam di halaman itu.
Tiba2 ia lihat sinar lampu yang keluar dari sebuah kamar disebelah barat. Ioa memburu ke kamar itu dan menolak pintu. Satu bayangan abu2 berkelebat, Goan tin menyingkap sebuah tirai sulam dan masuk kedalamnya, Boe Kie mengejar iapun menyingkap tirai itu dan ikut masuk. Tapi orang yang dikejar tidak terlihat batang hidungnya. Ia mengawasi keseputarannya dan ia heran, sebab ia ternyata berada dalam kamarnya seorang gadis dari keluarga hartawan. Dipinggir dinding terdapat tempat untuk berhias dan diatas meja berhias berdiri sebuah ciaktay dengan lilinnya yang memancarkan sinar terang dalam kamar itu. Dalam pandangan sekilas mata, ia merasa bahwa kamar itu lebih indah daripada kamarnya Cioe Kioe tin. Diseberang meka hias terdapat sebuah ranjang tertutup oleh tirai, sedang disepan ranjang terlihat sepasang kasur sulam, sebagai tanda, bahwa seorang wanita sedang tidur diranjang itu.
Boe Kie berdiri dengan penuh rasa heran.
Kamar itu hanya dengan sebuah pintu, dan semua jendela tertutup rapat. Barusan, terang2an lihat Goan tin masuk, tapi pendeta itu tidak terlihat bayang2nya lagi! Apakah ia sembunyi dalam ranjang? Apakah yang harus diperbuat olehnya? Apakah ia boleh menyingkap tirai ranjang itu?
Selagi bersangsi, tiba2 ia mendengar tindakan kaki yang sangat enteng. Ia melompat dan sembunyi di belakang rak, tempat menggantungkan selimut, yang terletak didinding sebelah barat.
Sesaat kemudian, seorang wanita terdengaran batuk2. Boe Kie dan melihat masuknya 2 orang wanita muda, yang satu berusia kira2 enambelas tahun, terus batuk2 dan berjalan dengan dipayang oleh yang lain, yang berusia lebih muda. Dilihat dari dandananny, nona cilik itu adalah pelayan dari nona yang dipayang itu. “Siocia, kau mengasolah,” katanya dengan suara membujuk.
“Jangan jengkel dan jangan bingung.”
Siocia itu batuk2 lagi. Tiba2 ia mengangkat tangannya dan menggaplok pipi pelayannya. Tamparan itu hebat, sehingga si pelayan terhuyung. Sebab sebelah tangannya memegang pundak pelayan itu, maka waktu si pelayan terhuyung, badannya turut bersempoyongan dan berputar menghadap Boe Kie. Dengan bantuan sinar lilin, pemuda itu melihat wajah yang tidak asing lagi, mata besar, biji mata hitam, muka potongan telur, muka dari Yo Poet Hwie! Tubuh si nona sudah banyak lebih jangkung dan lebih besar, tapi sikapnya dan gerak geriknya masih seperti dulu.
Dengan nafas tersengal-sengal Poet Hwie berkata. “Kau suruh aku jangan bingung…………hm!………..Kau sendiri tentu saja tidak bingung. Bagimu, paling baik bila ayahku dibinasakan orang, supaya kau bisa mencelakai aku. Kalau aku telah mati, kau bisa berkuasa disini,” pepayang Poet Hwie kesebuah kursi. “Ambil pedangku!” memerintah si nona sudah berduduk.
Si pelayan segera mengambil sebuah pedang yang tergantung didinding. Boe Kie mengawasi dan mendapat kenyataan, bahwa pada kedua kaki pelayan itu terikat selembar rantai besi yang halus, sedang pada kedua pergelangan tangannyapun terikat dengan rantai yang sama. Kaki kirinya pincang dan badannya bongkok, seperti busur yang melengkung. Waktu ia memutar badan sesudah mengambil pedang, Boe Kie melihat mukanya dan pemuda itu terkejut, sebab muka itu jelek luar biasa. Mata kanannya kecil, mata kirinya besar, hidung melesak, mulutnya mengok dan dalam keseluruhan muka itu sangat menakutkan. “Mukanya lebih jelek daripada Coe Jie.” Katanya dalam hati. “Kejelekan Coe Jie karena racun dan masih dapat dirubah. Tapi kejelekan nona cilik itu adalah dari pembawaannya dan tak dapat diperbaikki lagi.”
Seraya menyambuti senjata itu dari tangan pelayanannya, Poet Hwie batuk2 lagi beberapa kali. Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah peles dan menuang 2 butir yowan, yang lalu ditelannya.
“Kalau begitu Poet Hwie berbekal obat, sehingga biarpun terkena It Im cie, ia masih bisa bergerak,” kata Boe Kie dalam hati. “Tak bisa salah lagi, obat itu panas sifatnya,” benar saja, beberapa saat kemudian. Paras nona Yo bersemu merah dan pada kedua pipinya terlihat sinar dari hawa panas. Perlahan2 ia bangkit dan berkata. “Aku mau tengok ayah.”
“Mungkin sekali musuh masih belum pergi,” kata si pelayan. “Sebaiknya aku yang pergi menyelidiki terlebih dahulu. Kalau sudah tak ada bahaya barulah siocia keluar.” Ia bicara dengan suara yang sangat tak sedap kedengarannya, seperti suara dari seorang lelaki setengah tua.
“Tak perlu berlagak baik hati!” bentak Poet Hwie. “Lepaskan aku.”
Dengan apa boleh buat, si pelayan mengangsurkan tangan kanannya. Sebab kedua pergelangan tangannya terantai maka waktu mengangsurkan tangan kanan, tangan kirinya turut diangsurkan. Tiba2 tangan kiri Poet Hwie menyambar dan mencengkeram pergelangan tangan kanan pelayannya, jari2 tangannya mencengkeram Hwee cong, Yang tie dan Gwa koan hiat.
Badan pelayan itu lantas saja kesemutan dan tak bisa bergerak lagi. “Siocia………” katanya. “Kau………kau……….”
Poet Hwie tertawa dingin. “Kami, ayah dan anak, telah dibokong musuh dan kami tengah menghadapi kebinasaan,” katanya dengan suara menyeramkan. “Apakah kau takkan menggunakan kesempatan ini untuk membalas sakit hati. Tak sudi kami disiksa olehmu! Jalan yang paling baik adalah membunuh kau terlebih dahulu.” Seraya berkata begitu, ia mengayun pedang yang lalu ditebas ke leher pelayannya.
Boe Kie terkesiap. Melihat keadaan si pelayan, ia merasa sangat kasihan. Pada detik berbahaya, ia melompat dan mementil badan pedang yang lantas saja terpental dan jatuh dilantai. Dilain pihak, walaupun terluka, gerakan nona Yo cepat luar biasa. Hampir berbareng dengan terlepasnya pedang, dua jari tangannya terpentang dan meyambar ke mata Boe Kie. Totokan itu hanyalah Siang liong Chio coe (dua naga berebut mutiara), serupa pukulan biasa. Tapi sesudah dilatih oleh ayahnya beberapa tahun, pukulan yang sederhana itu mempunyai tenaga yang sangat besar.
Dengan kaget Boe Kie melompat kebelakang oet Hwie Moay moay, aku!” teriaknya.
Mendengar perkataan “Poet Hwie Moay moay” yang tak asing lagi, nona Yo terkesiap dan berteriak. “Apa Boe Kie koko?” biarpun blom lihat muka, ia mengenal suara itu.
Boe Kie merasa menyesal, bahwa ia memperkenalkan dirinya. “Poet Hwie Moay moay bagaimana keadaanmu selama beberapa tahun ini?”
Si nona mengawasi. Ia bersangsi, karena dihadapannya berdiri seorang pria yang pakaiannya compang camping dan mukanya kotor “Kau……kau….apa banar kau Boe Kie koko?” tanyanya “Bagaimana………kau bisa datang disini?”
“Swee Poet Tek yang membawa aku,” sahutnya. “Tadi Goan tin Hweeshio masuk kesini, tiba2 ia menghilang. Apa dalam kamar ini ada jalan lain?”
“Goan tin hweeshio kabur?” menegas si nona.
“Sesudah kena pukulan Ceng ek Hong ong, ia terluka berat,” menerangkan Boe Kie. “Barusan ia kabur dan aku mengubarnya. Ia masuk ke kamar ini da lantas menghilang. Dia adalah musuh besarku, aku mesti cari dia.”
“Dalam kamar ini tiada jalan lain,” kata si nona. “Bagaimana dengan ayahku? Aku mau tengok padanya.” Seraya berkata begitu, ia menepak batok kepala pelayannya.
“Jangan!…..” teriak Boe Kie sambil mendorong pundak si nona, sehingga tepukannya jatuh ditempat kosong.
Sesudah percobaan membunuh pelayannya 2 kali dihalang2i, Poet Hwie jadi gusar. “Boe Kie koko!” bentaknya. “apakah kau kawannya budak kecil itu?”
“Baru hari ini aku bertemu dengannya” jawab pemuda itu.
“kalau kau tak tahu duduknya persoalan, janganlah campur2 urusanku,” kata pula nona Yo. “Dia adalah musuh besar dari keluargaku, karena kuatir dia mencelakaiku maka ayah sudah merantai kaki tangannya. Sekarang kami berdua ayah dan anak, kena It im cie. Dia pasti akan menggunakan kesempatan yang baik ini untuk membalas sakit hati. Jika kami jatuh dalam tangannya, celakalah!”
Tapi Boe Kie masih tetap yakin, bahwa nona kecil itu bukan manusia jahat. Maka itu, ia lalu berkata. “Nona, apakah kau akan berusaha membalas sakit hati dengan menggunakan kesempatan baik itu?”
Si nona menggeleng2kan kepala “tidak!” jawabnya.
“Poet Hwie moay noay, dengarlah!” kata Boe Kie. “Ia sudah berjanji. Ampunilah dia!”
“Baiklah,” kata nona Yo. “Aku tak dapat menolak permintaanmu. “Aduh……” Tiba2 tubuhnya tergoyang2 seperti mau jatuh.
Boe Kie mengerti, bahwa si nona sudah tak dapat mempertahankan dirinya lagi, sebab lukanya yang sangat berat. Buru2 ia mendekati untuk memegangnya. Mendadak ia merasakan kesakitan hebat pada Hian kie dan Tiong kie hiat, dibagian pinggangnya dan ia roboh tanpa berdaya. Ternyata, ia sudah dibokong nona itu, jari tangan Poet Hwie menyambar ke arah Tay yang hiat dari pelayannya.
Tapi sebelum totokan itu hampir pada sasarannya ia menggigil. Sekujur badannya kesemutan. Cekalannya pada pergelangan tangan si pelayan terlepas, kedua lututnya lemas dan ia jatuh duduk di kursi.
Poet Hwie memang sudah terluka berat dan bahwa ia tadi dapat mempertahankan diri adalah karena khasiat obat yang telah ditelannya. Sesudah menotok Boe Kie tenaganya habis dan tak kuat menyerang lagi.
Sambil menjemput pedang yang masih menggeletak dilantai, si pelayan berkata, “Siocia, kau selalu bercuriga, bahwa aku akan membunuh kau. Kalau mau dengan mudah aku sekarang bisa berbuat begitu. Tapi aku tak punya maksud jahat.” Ia segera memasukkan pedang itu kedalam sarungnya, dan lalu menggantungnya ke dinding.
Sekonyong2 Boe Kie bangun berdiri “Poet Hwie moay moay, kau lihatlah!” katanya. “Dia memang tidak mengandung niatan yang kurang baik.”
Dengan rasa kagum nona Yo mengawasi pemuda itu yang dengan mudah dapat membuka sendiri “hiat” yang ditotoknya.
Sambil menyoja, Boe Kie berkata pada nona cilik itu. “Nona, aku ingin sekali mengubar pendeta itu. Apakah disini tak ada lagi jalan lain?”
“Apakah kau tak bisa membatalkan niatmu?” si nona balas tanya.
“Manusia itu telah melakukan perbuatan2 terkutuk,” menerangkan Boe Kie. “Biarpun mesti mengubar ke ujung langit, aku tak bisa mengampuni dia.”
Si pelayan menggigit bibirnya. Sesudah berpikir sejenak, ia manggut2. ia meniup lilin, mengeluarkan saputangan yang ditaruh diatas muka Poet Hwie. Sesudah itu ia mencekal tangan Boe Kie dan menuntunnya didalam kegelapan.
Karena yakin orang tidak berniat jahat, Boe Kie segera mengikutinya. Ia dituntun kedepan ranjang. Si nona membuka kelambu dan naik ke ranjang sambil menarik tangan Boe Kie. Pemuda itu kaget bukan main. Biarpun nona itu masih kekanak2an dan beroman jelek, ia tetap seorang wanita. Ia segera menarik tangannya.
“Jalanan berada di pembaringan,” bisik si nona.
Boe Kie percaya dan semangatnya lantas saja terbangun. Tanpa bersangsi lagi, ia turut naik ke pembaringan. Dengan cepat si nona merebahkan dirinya dan Boe Kie turut rebah di sampingnya. Entah alat apa yang ditarik si nona, papan ranjang tiba2 menjeblak dan mereka berdua jatuh kebawah.
Dari atas ke dasar lubang ada beberapa tombak jauhnya. Untung juga, dasar lubang itu ditutup dengan rumput kering yang tebal, sehingga mereka tidak merasa sakit. Tiba2 terdengar suara menjeblak dan papan ranjang sudah kembal ke tempat asalnya. “Sungguh lihay alat rahasia itu!” memuji Boe Kie didalam hati. Tanpa diberitahukan, tiada manusia yang bisa menduga, bahwa didalam ranjang terdapat jalanan rahasia. Sambil menyekel tangan si nona, ia segera berjalan ke jurusan depan. Mendengar suara berkerincingnya rantai, mendadak ia ingat sesuatu. “Nona ini pincang dan kakinya diikat dengan rantai, bagaimana ia bisa lari begitu cepat?” tanyanya dalam hati.
Si nona yang rupanya bisa menebak apa yang dipikirkan Boe Kie, sekoyong2 berkata sambil tertawa, “Pincangku, pincang buatan, untuk mengelabui Looya dan Siocia,”
Dalam kegelapan Boe Kie tak bisa melihat wajah nona itu, tapi dalam hati ia berkata. “Tak heran jika ibuku mengatakan, bahwa wanita pandai sekali menipu orang. Hari ini, bahkan Poet Hwie moay moay merasa tak halangan untuk membokong aku.”
Sesudah berjalan beberapa puluh tombak, dengan mengikuti terowongan yang berliku2 mereka tiba di ujung jalanan, tapi Goan tin masih tetap tak kelihatan bayangannya.
“Sudah sering sekali aku datang kesini,” kata sinona. “Kupercaya ada lain jalanan, hanya ku tak tahu dimana alat untuk membuka pintunya.”
Dengan kedua tangannya Boe Kie meraba-raba dinding, tapi tak bisa mendapatkan apapun juga. “Aku sudah mencoba puluhan kali, tanpa berhasil,” kata pula si nona. “Sungguh mengherankan. Aku bahkan pernah membawa obor untuk menyelidikinya, tapi tetap tak bisa mendapatkan alatnya.”
Tiba2 dalam otak Boe Kie berkelebat suatu ingatan. “Mungkin sekali memang tidak ada alat rahasia untuk membuka pintu,” pikirnya. Ia segera menyerahkan Chin kie pada kedua lengannya dan mendorong dinding sebelah kiri dengan sekuat tenaga. Dinding itu tidak bergerak. Sekali lagi ia mengerahkan tenaga dan mendorong dinding kanan. Tiba2 dinding itu bergoyang sedikit!
Ia girang tak kepalang. Ia menarik nafas dalam2 dan mendorong sekeras2nya. Dengan perlahan dinding itu bergeser ke belakang. Ternyata dinding itru tebuat daripada sebuah batu yang sangat tebak dan besar.
Jalanan rahasia Kong beng teng memenag sangat menakjubkan. Ada bagian2 yang diperlengkapi dengan alat2 rahasia yang disembunyikan, tapi ada juga yang tidak, seperti pintu itu yang hanya bisa dibuka oleh seseorang yang mempunyai tenaga luar biasa. Hal ini adalah untuk menjaga kalau2 rahasia diketahui oleh orang luar. Misalnya seperti nona kecil itu, yang andaikata tahu rahasianya, masih tetap tak bisa membuka pintu karena tenaganya tak cukup.
Tapi Boe Kie yang memiliki Kioe yang sin kang bukan manusia biasa dan ia berhasil. Sesudah pintu terbuka kira2 3 kaki, ia mengirim pukulan dengan telapak tangannya, karena ia khawatir Goan tin bersembunyi di belakang pintu dan membokongnya. Berbareng dengan pukulannya ia melompat masuk.
Mereka masuk dengan selamat dan berada di terowongan yang sangat panjang. Dengan hati2, mereka bertindak maju. Jalanan menurun ke bawah. Makin jauh makin rendah. Sesudah melalui seratus tombak lebih, mereka bertemu dengan jalanan yang bercagak tujuh. Boe Kie bersangsi, jalanan mana yang harus diambil? Mendadak disebelah kiri terdengar tegas sekali.
“Ambil jalan ini!” bisik Boe Kie sambil berlari2 dijalan yang paling kiri. Jalanan itu tidak rata dan sukar dilalui, tapi dalam kegusarannya Boe Kie berjalan terus tanpa menghiraukan bahaya. Si nona mengikuti dari belakang dengan suara rantai yang berkerincingan tidak henti2nya. Boe Kie menengok ke belakang seraya berkata. “Musuh berada didepan, keadaan sangat berbahaya. Sebaiknya kau mengikuti saja dari sebelah jauh.”
“Takut apa? Kesukaran harus dipikul bersama,” jawabnya dengan suara tetap.
Selang beberapa saat, jalanan bukan saja menurun, tapi juga terus membelok ke sebelah kiri seperti keong, dan makin lama makin sempit, sehingga akhirnya terowongan itu hanya bisa memuat badannya satu orang.
Selagi enak berjalan, mendadak saja Boe Kie merasakan sambaran angin yang sangat dahsyat. Ia terkesiap dan tangannya menyambar pinggang si nona dan kemudia melompat ke depan.
“Dukkkk!” batu halus dan pasir muncrat keatas.
Sesudah menentramkan hati, si nona berseru. “Celaka! Kepala gundul itu bersembunyi dan mendorong batu untuk membinasakan kita.”
Sambil mengangkat kedua tangannya diatas kepala, Boe Kie mendaki jalan itu. Baru beberapa tindak, kedua tangannya sudah menyentuh batu yang sangat kasar permukaannya
Tiba-tiba dari belakang batu terdengar suara Goan-tin. “Bangsat kecil! Hari ini aku mengubur engkau di dalam. Tapi untungnya masih bagus, kau mampus dengan ditemani seorang wanita. Biarpun kau bertenaga besar, aku mau lihat apa kau mampu menyingkirkan batu ini. Kalau satu tak cukup, aku akan menambah dengan satu lagi.”
Hampir berbarengan terdengar suara diangkatnya batu dengan semacam alat besi diikuti dengan bunyi yang sangat hebat. Goan-tin ternyata sudah melepaskan sebuah batu lagi yang jatuh di atas batu pertama.
Dengan gusar dan bingung Boe Kie meraba batu itu. Walaupun jalanan tak tertutup rapat tapi celah-celah di antara dinding dan batu raksasa itu paling besar hanya bisa masuk lengan. Badan manusia sudah pasti tak bisa lewat. Sambil memompa semangat, ia mendorong sekuat-kuatnya, tapi batu itu sedikitpun tak bergeming. Kedua batu yang tersusun tindih itu beratnya berlaksa kati, tak bisa digeser oleh manusia manapun juga. Bahkan gajah takkan kuat untuk mendorongnya. Boe Kie berdiri terpaku, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Di belakang batu terdengar suara nafas Goan-tin yang tersengal-sengal. Dalam keadaan terluka berat, sesudah menggerakkan kedua batu itu tenaganya habis. Selang beberapa saat, ia bertanya, “Bocah…siapa…siapa namamu….” Ia tak dapat meneruskan perkataannya.
“Andaikata ia sekarang berubah pikiran dan ingin menolong kami berdua, ia sudah tak bisa berbuat begitu,” kata Boe Kie dalam hati. “Sudahlah, buat apa aku meladeni dia. Paling baik aku cari jalan lain.” Berpikir begitu, ia memutar badan dan turun ke bawah mendekati nona.
“Aku punya bahan api, tapi tak punya lilin,” kata si pelayan kecil, “Kalau dinyalakan sebentar tentu sudah padam kembali.”
“Tunggu dulu,” kata Boe Kie sambil berjalan maju dengan perlahan. Sesudah berjalan beberapa puluh langkah, mereka tiba di ujung terowongan. Mereka meraba-raba, mendadak tangan Boe Kie menyentuh tahang kayu. “Ada jalan,” katanya dengan girang dan memukul hancur tahang itu dengan kedua tangannya.
Isi tahang yang menyerupai tepung, jatuh berhamburan. Ia mengambil sepotong papan dan berkata, “Coba nyalakan api.”
Nona kecil itu lalu mengeluarkan baja pencetus api, batu api dan sumbu. Dengan cepat ia membuat api dan menyulut potongan kayu itu. Mendadak api itu menyala di potongan kayu yang lantas saja terbakar, sedang hidung mereka mengendus bau belerang. Mereka terkejut.
“Bahan peledak!” seru si nona seraya mengangkat tinggi-tinggi potongan kayu yang sudah menyala itu. Mereka lantas saja mendapati kenyataan bahwa isi tahang itu ternyata bahan peledak yang berwarna hitam. Si nona tertawa dan berkata dengan suara pelan. “Bila barusan letusan api menyambar ketumpukan bahan peledak itu, hwee-shio jahat yang berada di luar akan turut binasa bersama-sama kita.” Seraya berkata begitu, ia menengok ke arah Boe Kie yang tengah mengawasinya dengan mata membelalak. “Mengapa?” tanyanya tertawa.
“Ah…Kalau begitu, kau…kau…sangat cantik,” kata Boe Kie.
Si nona tertawa geli sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan. “Karena kaget aku melupakan samaranku,” katanya. Ia meluruskan pinggangnya dan ternyata bahwa ia bukan saja tak bongkok tapi juga tak pincang.
Dengan sinar mata yang terang, alis yang kecil bengkok, hidung mancung dan lekuk pada pipinya, ia seorang wanita yang sangat ayu. Hanya sebab masih berusia muda dan tubuhnya belum cukup besar maka kecantikannya itu, ia kelihatannya masih kekanak-kanakan.
“Memang kau menyamar begitu?” kata Boe Kie.
“Siocia sangat membenci aku,” jawabnya. “Dengan melihat romanku jelek, ia merasa senang. Tanpa menyamar, aku tentu sudah mati.”
“Mengapa ia mau nyawamu?” tanya pemuda itu pula.
“Sebab ia selalu curiga,” sahutnya. “Ia kuatir aku akan membunuh ia dan Looya.”
“Gila!” kata Boe Kie, “Tadi waktu ia sudah tidak bisa bergerak, kau mencekal pedang tapi kau tidak mencelakai dia. Mulai dari sekarang ia pasti tak akan curiga lagi.”
Si nona tertawa kecil. “Dengan membawa kau kemari, Siocia tentu akan lebih curiga lagi,” katanya. “Tapi sudahlah! Perduli apa dia curiga atau tidak. Masih belum tentu, apa kita bisa keluar dari tempat ini.”
Dengan bantuan sinar obor, mereka ternyata berada di tempat yang menyerupai kamar batu di mana terdapat alat-alat senjata, busur dan anak panah yang sudah berkarat. Senjata-senjata itu rupanya disediakan untuk melawan musuh. Dinding di sekitar ruangan itu tertutup rapat. Sekarang mereka tahu bahwa Goan-tin sudah sengaja batuk-batuk untuk memancing mereka ke jalan buntu.
“Kongcoe, namaku Siauw Ciauw,” kata si nona memperkenalkan diri. “Kudengar Siocia memanggil Boe Kie Koko kepadamu. Kalau tak salah, namamu Boe Kie. Benarkah begitu?”
“Benar,” jawabnya. “Aku she Thio….” Mendadak ia mengingat sesuatu. Ia mengambil sebatang tombak yang beratnya kira-kira empat puluh kati. “Bahan peledak ini mungkin bisa menolong kita,” katanya, “Bukan mustahil kita akan bisa menghancurkan batu besar itu.”
“Bagus, bagus!” seru Siauw Ciauw seraya menepuk-nepuk kedua tangannya. Tepukan tangan itu diiringi dengan suara kerincingan rantai.
“Rantai ini mengganggu gerakan tangan dan kakimu,” kata Boe Kie. “Sebaiknya diputuskan saja.”
“Jangan!” cegah si nona. “Looya bisa marah besar.”
“Aku tak takut. Katakan saja akulah yang memutuskannya,” kata Boe Kie. Sehabis berkata begitu sambil mengerahkan Lweekang, ia membetot rantai yang mengikat pergelangan tangan Siauw Ciauw. Rantai hanya sebesar batang sumpit dan tenaga betotan tak kurang dari tiga ratus kati. Tapi sungguh heran, rantai itu tidak bergeming dan hanya mengeluarkan suara “aung”.
Boe Kie heran. Ia membetot lagi dengan menambah tenaga, tapi tetap tidak berhasil.
“Rantai ini memang sangat aneh, tak dapat diputuskan walaupun dengan menggunakan senjata mustika,” kata Siauw Ciauw. “Anak kuncinya berada dalam tangan Siocia.”
Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya. “Kalau kita bisa keluar, aku akan minta anak kunci itu,” katanya.
“Ia tak akan memberikannya,” kata si nona.
“Tapi aku percaya, ia akan meluluskan permintaanku,” kata Boe Kie. “Hubunganku dengannya bukan hubungan biasa.” Sehabis berkata begitu, dengan membawa tombak ia pergi ke bawah batu besar. Untuk beberapa saat ia berdiri dan memasang kuping, suara nafas Goan-tin sudah tidak terdengar lagi, rupanya ia sudah pergi jauh.
“Mungkin kita tak bisa menghancurkan batu ini dengan satu ledakan,” kata Boe Kie yang dengan menggunakan ujung tombak lantas saja mulai membuat lubang di celah antara batu besar dan lantai terowongan. Ia kemudian mengisi lubang itu dengan bahan peledak dan memukul-mukulnya dengan kepala tombak supaya menjadi padat. Sesudah itu, ia menabur segaris bahan peledak dari lubang terus ke ruangan bawah. Garis bahan peledak itu hendak dijadikan semacam sumbu untuk peledakan.
Sesudah beres, Boe Kie lalu mengambil obor dari tangan si nona yang buru-buru menekap kuping dengan kedua tangannya. Dengan berdiri menghadang di depan Siauw Ciauw, Boe Kie segera menyulut “sumbu” itu. Api menyala dan bagaikan kilat menyambar ke lubang yang berisi bahan peledak.
Dunggg!…Hawa panas menyambar, ruangan itu bergoncang! Boe Kie terhuyung dua langkah sedang Siauw Ciauw jatuh terjengkang. Obor padam dan asap memenuhi ruangan itu. Sambil membangunkan si nona, Boe Kie bertanya, “Siauw Ciauw, apa kau terluka?”
“Aku…aku…taka pa-apa,” jawabnya. Mendengar suara yang terputus-putus seperti orang bersedih, Boe Kie merasa heran. Waktu obor sudah dinyalakan lagi, ia melihat mata si nona mengembang air. “Kau kenapa?” tanyanya.
“Thio Kongcoe,” sahutnya, “Kau belum pernah mengenal aku, tapi…tapi mengapa kau begitu baik terhadapku?”
“Apa?” tanya Boe Kie dengan rasa heran.
“Mengapa kau menghalangi aku?” kata Siauw Ciauw. “Aku adalah seorang budak yang kedudukannya sangat rendah. Kau…kau seorang yang mulia. Mengapa kau melindungi aku dengan menghadang di depanku?”
Pemuda itu tersenyum. “Kau seorang wanita dan adalah sepantasnya saja jika aku berusaha untuk melindungi keselamatanmu,” katanya. Melihat asap sudah mulai menghilang, ia naik lagi ke atas untuk memeriksa hasil ledakan. Ternyata batu raksasa itu tidak bergeming dan hanya somplak di satu sudut. Dengan perasaan gelisah ia berkata, “Untuk membuat lubang yang cukup besar guna merangkak keluar, batu ini mungkin harus diledakkan tujuh atau delapan kali. Tapi sisa bahan peledak hanya cukup untuk kira-kira dua kali ledakan.” Seraya berkata begitu, ia mengangkat tombak dan mulai membuat sebuah lubang lain di celah antara dinding terowongan dan batu raksasa.
Mendadak pada waktu ujung tombak menyodok dinding, sepotong batu jatuh ke bawah dan terlihatlah lubang di dinding itu. Boe Kie kaget bercampur girang. Ia memasukkan sebelah tangan dan menggoyang-goyangkannya. Dinding itu bergerak sedikit. Ia menggerakkan tenaga dalam dan membetot. Ia berhasil membuat sepotong batu copot. Sesudah tiga potong batu copot, lubangnya sudah cukup besar untuk memuat badan manusia. ternyata di situ terdapat sebuah terowongan lain. Walaupun tidak dapat menghancurkan batu raksasa, ledakan tadi sudah melepaskan batu-batu dinding terowongan.
Dengan mencekal obor, Boe Kie masuk lebih dulu ke terowongan yang kedua dan kemudian menggapai Siauw Ciauw supaya si nona mengikuti masuk. Seperti yang pertama, jalanan ini berputar-putar bagaikan keong dan menurun ke bawah. Kali ini Boe Kie bertindak lebih hati-hati. Ia mencekal tombak erat-erat, siap sedia untuk menangkis bokongan Goan-tin. Sesudah melalui kira-kira delapan puluh tombak mereka tiba di depan sebuah pintu batu. Boe Kie segera menyerahkan obor dan tombak kepada Siauw Ciauw dan sambil mengerahkan Lweekang, ia mendorong pintu yang segera saja terbuka.
Pintu itu adalah pintu sebuah kamar batu yang sangat besar. Boe Kie bertindak masuk dan mendadak ia melihat dua kerangka manusia. Pakaian kedua kerangka itu masih belum hancur, sehingga dapat diketahui bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita.
Siauw Ciauw agak takut dan ia mendekati kawannya.
Boe Kie mengangkat obor tinggi-tinggi dan meneliti keadaan di dalam kamar. “Mungkin kita berada di bagian paling ujung dari jalan rahasia ini,” katanya. “Apa masih ada jalan keluar?”
Dengan tombak ia mengetuk-ngetuk seluruh dinding tapi suara semuanya padat, tak ada yang kosong. Ia mendekati kedua kerangka itu, tangan kanan yang wanita mencekal sebatang pisau berkilauan yang menancap di dadanya. Ia terkejut dan lantas teringat pengakuan Goan-tin yang mengatakan bahwa pada waktu ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Yo Hoe-jin, pertemuan itu telah dipergoki oleh Yo Po Thian yang binasa karena gusar dan Yo Hoe-jin sendiri kemudian bunuh diri. “Apakah kedua kerangka inii suami istri Yo Po Thian?” tanyanya dalam hati.
Ia mendekati kerangka lelaki, di samping kerangka tergeletak selembar kulit kambing yang lalu diambilnya dan diteliti. Di satu muka kulit itu berbulu di lain muka licin dan mengkilat.
Siauw Ciauw turut mengawasi. Tiba-tiba dengan paras berseri-seri ia mengambil kulit itu dari tangan Boe Kie. “Selamat, Kongcoe!” katanya dengan suara girang. “Ini adalah ilmu silat tertinggi dari Beng-kauw.” Sehabis berkata begitu ia menggoreskan jari tangannya di mata pisau yang menancap di dada Yo Hoe-jin dan kemudian mengoles darahnya di bagian kulit yang licin. Perlahan-lahan di atas kulit yang kena darah timbul huruf-huruf seperti berikut, “Beng-kauw Seng-hwee Sim-hoat Kian-koon Tay lo ie.” (Kian koen Tay lo ie, ilmu api suci dari agama Beng-kauw)
Tapi Boe Kie tak terlalu girang. “Di jalan rahasia ini tiada air dan tiada beras,” pikirnya. “Kalau tak bisa keluar, paling lama tujuh delapan hari, aku dan Siauw Ciauw akan mati kelaparan. Ilmu yang bagaimana tinggipun tiada gunanya.” Ia melirik kedua kerangka itu dan bertanya pula dalam hatinya, “Mengapa Goan-tin tak mengambil kulit kambing itu. Mungkin sekali sesudah melakukan perbuatan terkutuk ia tak berani datang lagi. Ah! Ia tentu tak tahu bahwa Kian koen Tay lo ie Sim hoat tertulis di kulit itu. Kalau ia tahu, jangakan Yo Po Thian dan istrinya sudah meninggal dunia, sekalipun mereka masih hidup ia pasti akan datang mencurinya.”
“Siauw Ciauw, bagaimana kau tahu rahasia kulit kambing itu?”
“Aku mencuri dengar waktu Looya bicara dengan Siocia,” jawabnya. “Mereka berdua adalah murid-murid Beng-kauw dan mereka tak berani masuk ke sini untuk mengambilnya. Seperti Kongcoe ketahui, hanya seorang Kauwcoe yang boleh masuk ke jalan rahasia ini.”
Dengan rasa haru Boe Kie mengawasi kedua kerangka itu. “Sebaiknya kita menguburkan mereka,” katanya.
Bersama si nona, ia segera mengumpulkan batu-batu kecil dan pasir yang rontok karena ledakan tadi dan kemudian mendampingkan kedua kerangka itu. Mendadak Siauw Ciauw mengambil sesuatu dari kerangka Yo Po Thian. “Thio Kongcoe, sepucuk surat,” katanya.
Boe Kie membacanya, di atas sampul tertulis, “Dipersembahkan kepada istriku.” Karena sudah lama, sampul itu agak rusak sedangkan huruf-hurufnya pun sukar dibaca tapi dari coretannya yang telah buram, dapat dilihat bahwa huruf-huruf itu indah dan angker. Sampul masih utuh, belum tersobek.
“Sebelum membaca, Yo Hoe-jin telah bunuh diri,” kata Boe Kie. Dengan sikap hormat, lalu menaruh surat itu di atas kerangka. Baru saja ia mau mengubur dengan pasir dan batu, Siauw Ciauw berkata, “Apakah tak baik bila kita membaca surat itu? Mungkin sekali Yo Kauwcoe meninggalkan pesan?”
“Kurasa kurang pantas,” kata Boe Kie.
“Mungkin Kongcoe keliru,” bantah si nona. “Andaikata ada sesuatu yang diinginkan Yo Kauwcoe dan belum terpenuhi, alangkah baiknya jika diketahui kita supaya kita bisa menyampaikan langsung kepada Looya dan Siocia.”
Boe Kie mengangguk lalu menyobek sampul. Ia mencabut sehelai sutera putih yang tertulis sebagai berikut:
“Hoe-jin bacalah ini, semenjak menikah denganku siang malam Hoe-jin berduka. Aku adalah seorang yang tak mempunyai budi sehingga aku tak bisa menyenangkan hatimu dan untuk kekurangan itu aku merasa menyesal tak habisnya, kini kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Kuharap Hoe-jin sudi memaafkanku.
Cioe Kauwcoe dari turunan ketiga puluh dua telah memerintahkan supaya setelah selesai dalam latihan Kian koen Tay lo ie Sin-kang, aku segera pergi ke Congto dari Kay pang (markas besar Partai Pengemis) untuk mengambil kembali barang-barang peninggalan Cioe Kauwcoe dari turunan ketiga puluh satu.
Aku baru saja menyelesaikan latihan Sin-kang tingkat kelima. Apa daya, aku tahu urusan Seng Soe-tee. Darah dan hawa bergolak-golak dan aku tak dapat menguasai diriku lagi. Tenagaku akan buyar dan aku menghadapi kematian. Inilah takdir. Tiada manusia dapat melawan takdir.”
Membaca sampai di situ Boe Kie menghela nafas, “Kalau begitu, sebelum menulis surat, Yo Kauwcoe telah tahu adanya pertemuan antara Seng Koen dan istrinya di jalan rahasia ini,” katanya.
Siauw Ciauw mengawasi pemuda itu dengan sorot matanya tapi ia tak berani membuka mulut. Maka itu secara singkat Boe Kie lalu menceritakan tentang Seng Koen dan Yo Hoe-jin.
“Menurut pendapatku, Yo Hoe-jin lah yang bersalah,” kata si nona. “Jika ia tetap mencintai Seng Koen, seharusnya ia tak boleh menikah dengan Yo Kauwcoe. Setelah menikah dengan Yo Kauwcoe, ia tak boleh membuat pertemuan rahasia lagi dengan Seng Koen.”
Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya. Di dalam hati ia memuji nona cilik yang sudah bisa membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Sesudah berdiam sejenak, ia membaca lagi.
“Cioe Kauwcoe adalah seorang gagah dan berakal budi. Sungguh sayang, ia mati dalam tangan Soe Tiang-loo (empat tetua) dari Kay pang. Sebegitu lama barang peninggalan Cioe Kauwcoe belum dapat diambil kembali. Sebegitu lama juga di mana adanya Seng hwee-leng belum bisa diketahui. Sekarang aku menghadapi kematian dan aku telah menyia-nyiakan pesan Cioe Kauwcoe. Aku adalah orang berdosa dalam agama kita.
Kuharap dengan mengggunakan surat ini Hoe-jin sudi mengumpulkan kedua Kong-beng Soe-cia, keempat Hoe-kauw Hoat-ong, kelima Ngo-beng Khie-see dan Ngo Sian-jin. Beritahukanlah kepada mereka bahwa aku memerintahkan seperti berikut: ‘Siapapun jua yang bisa mengambil barang peninggalan Cioe Kauwcoe dan Seng hwee-leng, dialah yang akan menjadi Kauwcoee turunan ketiga puluh empat dari agama kita. Siapa yang membantah boleh segera dibinasakan! Akupun memrintahkan supaya untuk sementara waktu Cia Soen bertindak sebagai Hoe Kauwcoe (wakil pemimpin agama) utnuk mengurus berbagai urusan dari agama kita.’”
Hati Boe Kie berdebar-debar, kini baru ia tahu bahwa ayah angkatnya telah ditunjuk oleh Yo Po Thian sebagai Hoe Kauwcoe. Hanya sayang, Yo Hoe-jin sudah bunuh diri. Bila tidak, orang-orang Beng-kauw tentu tak sampai saling bermusuhan dan saling bunuh. Di dalam hati kecilnya diam-diam ia merasa bangga bahwa Yo Po Thian sudah menghargai ayah angkatnya.
Ia membaca lagi.
“Untuk sementara waktu, ilmu Kian koen Tay lo ie harus diserahkan kepada Cia Soen. Nanti, sesudah ada kauwcoe baru, barulah Sim-hoat itu diserahkan kepadanya. Kauwcoe baru bertugas untuk memperbesar agama kita, mengusir kaum penjajah, melakukan perbuatan-perbuatan mulia, menumpas kejahatan, meluruskan yang bengkok dan membasmi segala kebusukan.”
Boe Kie berhenti lagi. Ia bingung dan berkata dalam hatinya, “Dilihat begini, Beng-kauw mempunyai tujuan yang sangat mulia. Berbagai partai persilatan yang memusuhi agama itu adalah perbuatan yang tidak pantas.”
Ia menghela nafas dan melanjutkan.
“Dengan menggunakan Sin-kang yang masih berada dalam tubuhku, aku akan menutup pintu batu supaya aku bisa berada bersama-sama Seng Soe-tee. Untuk selama-lamanya aku tak akan berpisah lagi dengan dia. Hoe-jin sendiri bisa meloloskan diri dengna melihat peta jalan rahasia. Pada jaman ini, tiada orang lain yang bisa menggerakkan pintu batu Boe Ong-wie. Andaikata di kemudian hari ada seorang gagah yang bisa membuka pintu itu, aku dan Seng Soe-tee sudah jadi kerangka belaka. Hormat dari suamimu, Po Thian.”
Di belakang surat itu terdapat sebuah peta yang melukiskan semua jalan dan pintu-pintu dari jalan rahasia itu.
Boe Kie girang tak kepalang. “Yo Kauwcoe ternyata memang ingin mengurung Seng Koen dalam jalan rahasia ini dan rela mati bersama-sama,” katanya. “Sayang sekali ia tak dapat mempertahankan diri dan sudah mati terlebih dulu sedang manusia busuk itu masih bisa malang melintang hingga sekarang. Bagus juga kita mendapat peta ini dan kita akan bisa keluar.”
Sehabis berkata begitu, ia meneliti peta tersebut dan mencari tempat di peta di mana mereka berada sekarang. Tiba-tiba ia seperti diguyur air dingin. Mengapa? Karena jalan keluar yang satu-satunya adalah jalan yang sudah ditutup dengan batu raksasa oleh Seng Koen. Peta berada di tangan, tapi tidak berguna!
“Kongcoe, jangan terlalu bingung,” hibur Siauw Ciauw. “Mungkin sekali kita bisa cari jalan lain.” Ia mengambil peta itu dari tangan Boe Kie dan lalu memperhatikannya. Tapi sesudah melihat sampai matanya berkunang-kunang ia tak bisa mendapatkan jalan lain. Jalan yang tertutup batu itu adalah jalan satu-satunya.
Melihat paras si nona yang putus harapan, Boe Kie tertawa getir. “Menurut surat Yo Kauwcoe, seseorang yang sudah berhasil dalam Kian koen Tay lo ie Sin-kang bisa mendorong pintu batu itu,” katanya. “Di saat ini, hanya Yo Siauw Sianseng yang pernah berlatih ilmu itu tapi kepandaiannya masih cetek sehingga andaikata ia berada di sini, belum tentu ia bisa berhasil. Di samping itu, kitapun tak tahu di mana tempat kedudukan Boe Ong-wie. Tidak tertulis di atas peta, di mana kita harus mencarinya?”
“Boe Ong-wie?” tegas Siauw Ciauw. Boe Ong-wie adalah salah satu “wie” (kedudukan) dari enam kedudukan yang terdapat dalam Lak-cap Sie-kwa (ilmu pentang-pentangan) dari Hok-hie. Boe Ong-wie terletak di antara Beng Ie-wie dan Swee-wie. Seraya berkata begitu ia berjalan sesuai dengan kedudukan dari ilmu pentang-pentangan itu. Sesudah berada di sudut barat laut dari ruangan itu, ia berkata, “Kalau tak salah di sini.”
Semangat Boe Kie terbangun, “Apa benar?” tanyanya. Ia berlari-lari ke tempat senjata dan mengambil sebuah kampak. Dengan alat itu, ia membersihkan tanah dan pasir yang melekat di dinding. Benar saja ia segera mendapatkan garis-garis yang menunjukkan adanya sebuah pintu. Ia girang dan berkata dalam hati, “Meskipun tak mengenal Kian koen Tay lo ie Sin-kang, aku sudah memiliki Kioe yang Sin-kang. Mungkin dapat digunakan.”
Ia segera mengumpulkan hava di bagian pusar, mengerahkan tenaga dalam kedua lengannya, memasang kuda-kuda dan kemudian mendorong pintu. Pintu itu tidak bergeming. Ia mencoba berulang-ulang dengan segenap tenaganya. Tetap tidak berhasil. Ia mendorong lagi sehingga tulang-tulangnya berkelotokan dan kedua lengannya lemas. Pintu tetap tidak bergerak.
“Thio Kongcoe, sudahlah!” kata Siauw Ciauw. “Sebaiknya kita gunakan bahan peledak.”
“Baiklah, aku lupa kita masih punya bahan peledak,” kata pemuda itu.
Mereka segera mengambil sisa bahan peledak dan meledakkannya di bawah pintu. Batu somplak tapi pintunya tetap tidak bergerak.
Dengan rasa menyesal dan terharu, Boe Kie menarik tangan si nona dan berkata dengan suara halus, “Siauw Ciauw…akulah yang bersalah, aku mengajak kau kemari sehingga kau tidak bisa keluar lagi.”
Si nona mengawasi muka Boe Kie dengan matanya yang bening. “Thio Kongcoe, sebenarnya kau yang harus menyalahkan aku,” katanya. “Jika aku tidak membawa kau kemari…kau tidak….” Ia tidak dapat meneruskan perkataannya dan lalu menyeka air mata dengan lengan bajunya.
Untuk beberapa saat, mereka membungkam. Tiba-tiba si nona tertawa. “Sudahlah!” katanya. “Kita tidak bisa keluar, jengkelpun tak berguna. Sebaiknya aku menyanyi. Apa kau setuju?”
Boe Kie sebenarnya tak punya kegembiraan untuk mendengarkan nyanyian, tapi supaya tidak mengecewakan si nona, ia mengangguk. “Bagus!” katanya sambil tertawa.
Siauw Ciauw segera duduk di samping pemuda itu. Sesudah mendehem beberapa kali, ia mulai.
“Bersandar di guba,
Membuat gubuk,
Biarpun melarat, tetap bahagia,
Di tepi sungai berbicara dengan si pencari kayu,
Di gunung mencari sahabat lama,
Di angkasa berkawan dengan burung Hong,
Dia berhasil,
Dia menertawai kita!
Dia gagal,
Kita menertawai dia!”
Waktu si nona menyanyi, Boe Kie tak begitu memperhatikan. Tapi sesudah mendengar “dia berhasil, dia menertawai kita, dia gagal, kita menertawai dia” hatinya tertarik dan ditambah dengan suara si nona yang sangat merdu, rasa jengkelnya segera menghilang.
Sementara itu, si nona melanjutkan nyanyiannya.
“Syair menghilangkan kedukaan,
Pedang penuh keangkeran,
Seorang Enghiong tak perdulikan kemiskinan atau kekayaan,
Di sungai membunuh Kauw,
Dikira memanah Tiauw,
Di daerah perbatasan memutar golok,
Dia berhasil,
Dia menertawai kita,
Dia gagal,
Kita menertawai dia.”
Waktu menyanyi dibagian itu, suara si nona nyaring dan bernada gagah.
“Siauw Ciauw, sungguh merdu suaramu!” Boe Kie memuji. “Siapa yang menggubah lagu itu?”
Si nona tertawa. “Kau bohong! Suaraku tak keruan begitu,” katanya. “Aku meniru nyanyian orang lain. Tak tahu siapa yang menggubahnya.” Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula. “Apa benar kau senang mendengarnya? Tidak bohong?”
Boe Kie tertawa nyaring, “Mana bisa aku berbohong di hadapanmu,” katanya. “Tidak! Memang benar suaramu merdu dan sajak lagu itu indah sekali. Sungguh!”
“Baiklah, kalau begitu aku mau menyanyi lagi,” kata si nona. “Sayang sekali tidak ada pie-pee (semacam gitar).” Sambil menepuk-nepuk batu dengan lima jarinya, ia segera menyanyi pula.
“Perubahan di dunia silih berganti,
Manusia harus menyesuaikan diri,
Nasib memutuskan kemakmuran atau keruntuhan,
Dalam kebahagiaan bersembunyi malapetaka,
Dalam malapetaka bersembunyi kebahagiaan,
Mana ada kekayaan abadi?
Dari angkasa, sang surya kelam ke barat,
Dari bundar sang rembulan somplak sebelah,
Di langit dan di bumi tak ada yang sempurna,
Hilangkan kerutan alis,
Hentikan permusuhan remeh,
Paras muka di hari ini,
Lebih tua daripada kemarin,
Yang lama pergi yang baru datang,
Semua tak luput,
Yang pintar, yang bodoh,
Yang miskin, yang kaya,
Pada akhirnya manusia,
Tidak bisa lari dari hari itu,
Hari ini ada kesenangan,
Nikmatilah kesenangan,
Siang dan malam seratus tahun,
Yang berusia tujuh puluh tahun jarang ada,
Sang waktu mengalir bagaikan air,
Gelombang demi gelombang.”
Sajak itu adalah pengutaraan isi hati dari seseorang yang sudah kenyang makan asam garamnya dunia dan yang sudah bisa melihat tidak kekalnya segala keduniawian. Bahwa sajak itu diucapkan oleh seseorang muda belia seperti Siauw Ciauw, kelihatannya sangat tidak sesuai. Mungkin sekali ia tak tahu artinya. Ia hanya mendengar nyanyian orang lain dan lalu meniru.
Tapi Boe Kie lain, ia masih muda, tapi selama sepuluh tahun, ia telah merasakan bermacam-macam kegetiran dan mendapat berbagai pengalaman luar biasa. Sekarang ia terkurung di perut gunung dan di hadapannya tidak ada jalan hidup. Tapi sesudah mendengar nyanyian Siauw Ciauw, ia merasa dadanya lega. Ia merasa kuat, terutama karena dua kalimat yang berbunyi “pada akhirnya manusia, tidak bisa lari dari hari itu.”
“Hari itu!” “Hari itu!” yang mesti di alami setiap manusia, setiap makhluk berjiwa. “Hari” pulang ke alam baka.
Sebagai manusia, Boe KIe yang masih muda sudah beberapa kali mengalami detik-detik mati atau hidup. Pada masa lampau, mati atau hidupnya tidak bersangkutan dengan siapapun juga. Tapi sekarang, keadaan agak berlainan. Kematiannya bukan saja menyeret Siauw Ciauw, tapi juga mempunyai hubungan dengan mati hidupnya Beng-kauw, selamat celakanya Yo Siauw dan yang lain-lain, permusuhan antara Goan-tin dengan ayah angkatnya. Ia tidak takut mati, terlebih sesudah mendengar nyanyian si nona. Tapi kalau boleh, ia tidak mau mati sekarang karena ia merasa memikul tugas-tugas yang belum diselesaikan.
Ia lalu bangkit dan mendorong pula pintu batu itu. Ia merasakan mengalirnya Cin-khie di seluruh tubuhnya, sepertinya ia mempunyai tenaga yang besarnya tidak terbatas, tapi tidak dapat dikeluarkan. Tenaga itu seperti gelombang air bah yang tertahan oleh gili-gili. Tiga kali ia mencoba, tiga kali ia gagal.
Sementara itu Siauw Ciauw sudah melukai lagi jari tangannya dan mengoleskan darahnya di kulit kambing, “Thio Kongcoe,” katanya. “Apakah tidak baik jika kau melatih Sin-kang dari Kian koen Tay lo ie? Kau sangat cerdas dan mungkin sekali segera berhasil.”
Boe Kie tertawa. “Para Kauwcoe dari Beng-kauw telah berlatih seumur hidup, tapi hanya beberapa orang saja yang bisa dikatakan berhasil,” jawabnya. “Sebagai Kauwcoe mereka pasti bukan orang sembarangan. Mereka semua mempunyai kecerdasan dan kepandaian yang sangat tinggi. Bagaimana caranya aku bisa mengharap bahwa dalam waktu singkat aku bisa berhasil dalam suatu latihan yang sukar, yang tidak dapat dilakukan oleh para mendiang Kauwcoe itu?”
Si nona tak menyahut. Ia menunduk dan menyanyi dengan perlahan.
“Hari ini ada kesenangan,
Nikmatilah kesenangan itu,
Hari ini bisa berlatih,
Berlatihlah hari ini.”
Sambil tersenyum Boe Kie lalu mengambil kulit kambing itu dari tangan Siauw Ciauw dan lalu membacanya. Ia mendapati kenyataan bahwa apa yang tertulis adalah ilmu untuk menjalankan pernafasan dan menggunakan tenaga dalam. Ia lalu mencoba-coba dan…dengan mudah ia berhasil. Di kulit itu terdapat juga tulisan yang berbunyi sebagai berikut.
“Inilah Sin-kang tingkat pertama. Orang yang cerdas dan berbakat bisa berhasil dalam waktu tujuh tahun. Orang biasa harus menggunakan waktu empat belas tahun.”
Boe Kie heran tak kepalang. Ia berhasil dalam sekejap mata. Mengapa dalam kulit kambing tertulis harus menggunakan sedikitnya tujuh tahun?
Ia segera membaca ilmu tingkat kedua dan terus berlatih. Kali inipun ia berhasil dengan mudah. Ia merasa semacam hawa dingin yang halus seperti benang seakan-akan menyambar keluar dari sepuluh jari tangannya. Di bawah ilmu itu terdapat penjelasan sebagai berikut.
“Inilah Sin-kang tingkat kedua. Orang cerdas dan berbakat bisa berhasil dalam waktu tujuh tahun. Orang biasa harus menggunakan waktu sedikitnya empat belas tahun. Manakala sesudah berlatih dua puluh satu tahun masih belum mendapat kemajuan, orang itu dilarang maju pada tingkat ketiga, untuk mencegah kecelakaan yang tidak dapat ditolong lagi.” (Menurut kepercayaan, jika seseorang melatih Lweekang tinggi secara salah atau secara memaksakan diri, maka ilmu itu bisa membinasakan orang yang berlatih seperti “golok makan tuan”)
Boe Kie kaget bercampur girang. Dengan bernafsu ia segera membaca ilmu ketiga. Ketika itu, huruf-huruf di atas kulit kambing telah mulai buram, tapi baru saja ia mau mencabut pisau untuk menggores jari tangannya, Siauw Ciauw sudah mendahului dan mengoles kulit kambing dengan darahnya.
Ia berhasil dalam ilmu ketiga dan keempat sama mudahnya seperti orang membelah bambu. Dengan rasa takut Siauw Ciauw mengawasi muka pemuda itu yang berwarna aneh, sebelah hijau. Tapi hatinya segera tentram kembali karena paras Boe Kie tetap tenang dan hanya kedua matanya berkilat-kilat. Waktu Boe Kie melatih diri dalam Sin-kang tingkat kelima, suatu perubahan terjadi pada dirinya.
Mukanya sebentar biru sebentar merah, waktu mukanya biru badannya agak gemetaran dan berhawa dingin seperti gundukan es, sedang waktu mukanya merah keringat menetes turun seperti hujan gerimis dari kedua pipinya.
Siauw Ciauw mengeluarkan sapu tangan dan mengangsurkan tangan untuk menyeka keringat di muka pemuda itu. Tapi baru saja sapu tangan menyentuh dagu, lengannya mendadak bergetar dan hampir-hampir ia jatuh terjengkang. Boe Kie bangkit dan menyapu keringat dengan lengan bajunya. Ia tak mengerti mengapa Siauw Ciauw terhuyung. Ia tak mengerti bahwa ia sudah berhasil dalam latihan Sin-kang tingkat kelima.
Kian koen Tay lo ie Sin-kang adalah suatu ilmu menakjubkan untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga. Pada hakekatnya, ilmu tersebut adalah untuk mengeluarkan tenaga luar biasa yang tersembunyi dalam tubuh setiap manusia. Dalam keadaan biasa tenaga yang bersembunyi itu tak dapat dikeluarkan. Hanya pada detik-detik berbahaya, misalnya pada waktu kebakaran barulah tenaga itu keluar. Sering kita mendengar cerita bahwa dalam menghadapi bencana, seseorang yang lemah dapat melakukan perbuatan yang luar biasa seperti mengangkat barang ratusan atau ribuan kati beratnya yang tak akan dapat dilakukannya dalam keadaan biasa.
Sesudah berhasil dalam Kioe yang Sin-kang, tenaga yang bersembunyi dalam tubuh Boe Kie tidak dapat tertandingi oleh siapapun juga dalam dunia ini. Tapi karena belum mendapat petunjuk dari seorang guru yang pandai, ia masih belum bisa menggunakan tenaga yang bersembunyi itu.
Sekarang, sesudah mempelajari Kian koen Tay lo ie Sin-kang dan melatih diri dalam ilmu itu, maka tenaganya yang tersembunyi membanjir keluar bagaikan air bah yang tak dapat ditahan lagi.
Bagi manusia biasa, Kian koen Tay lo ie Sin-kang adalah ilmu yang sukar dipelajari dan salah sedikit saja dalam latihannya, ilmu itu bisa “makan tuan” bisa membinasakan si pelajar sendiri. Mengapa begitu? Karena ilmu untuk mengerahkan tenaga dalam sangat berbelit-belit, sedang si pelajar sendiri tidak mempunyai tenaga dalam yang cukup kuat untuk mengimbanginya. Sebagai contoh, kalau seorang bocah yang baru berusia tujuh delapan tahun bersilat dengan menggunakan martil yang beratnya ratusan kati, maka makin sulit ilmu silat yang dijalankannya, makin gampang kepalanya terpukul martil. Tapi hal ini tak mungkin terjadi jika yang bersilat dengan martil itu seorang dewasa yang bertenaga besar.
Dalam waktu yang lalu, orang-orang melatih diri dalam Kian koen Tay lo ie Sin-kang semuanya tidak mempunyai cukup tenaga dan memaksa diri belajar. Sebagaimana diketahui, seorang ahli silat yang sedang mengajar serupa ilmu, biasanya tidak bisa merasa puas dan rela mengundurkan diri di tengah jalan. Maka itu banyak yang sudah menjadi korban dari latihan yang dipaksakan.
Mengapa Boe Kie berhasil sedangkan tokoh-tokoh yang lebih hebat gagal? Jawabnya sangat sederhana. Karena Boe Kie memiliki cukup tenaga yang didapat dari latihan Kioe yang Sin-kang.
Sesudah menyelesaikan latihan tingkat kelima, pemuda itu merasa semangatnya bergelora dan tenaga dalamnya dapat dikeluarkan atau ditarik pulang sesuka hati. Di samping itu, iapun merasakan kesegaran luar biasa pada sekujur badannya. Kini ia melupakan hal untuk mendorong pintu batu dan terus mempelajari ilmu tingkat keenam. Berselang kurang lebih satu jam ia telah mulai dengan ilmu tingkat ketujuh.
Inilah yang paling sukar, beberapa lipat ganda lebih sukar daripada pelajaran tingkat keenam. Untung juga, ia mahir dalam ilmu pengobatan dan “hiat-to”. Dengan pengetahuan itu, ia selalu dapat memecahkan bagian-bagian yang sulit dan kurang terang.
Setelah berhasil sebagian besar dari ilmu tingkat ketujuh itu, tiba-tiba ia bertemu dengan satu bagian ilmu yang dilukiskan dengan beberapa baris huruf. Sesudah membaca dengan teliti, ia lalu mulai berlatih menurut petunjuk itu. Mendadak ia merasa hawa yang rasanya bergejolak sedang jantungnya memukul keras. Ia segera menghentikan latihan dan menentramkan semangatnya. Beberapa saat kemudian, ia berlatih lagi, tapi hasilnya tak berbeda.
Ia melompati kalimat pertama dan berlatih dengan kalimat kedua. Latihan itu berjalan lancar, tapi waktu tiba pada kalimat ketiga, ia kembali mengalami kesukaran. Makin lama, kesulitan makin besar. Setelah ia mempelajari seluruh Kian koen Tay lo ie Sin-kang, ada tiga belas kalimat yang tak berhasil dilatih olehnya.
Sesudah berpikir beberapa saat, ia menaruh kulit kambing itu di atas batu dan kemudian ia berlutut beberapa kali. Dengan suara perlahan ia berkata, “Secara tak sengaja, teecoe Thio Boe Kie telah mendapatkan ilmu Sin-kang dari Beng-kauw. Dalam mempelajari ilmu tersebut tujuan teecoe adalah untuk menolong jiwa sendiri dan bukan semata-mata ingin mencuri ilmu Beng-kauw. Jika teecoe bisa lolos dari tempat berbahaya ini, maka dengan menggunakan Sin-kang teecoe akan berusaha sekeras-kerasnya guna kepentingan Beng-kauw. Teecoe pasti takkan melupakan budi para Kauwcoe yang sudah menolong jiwa teecoe.”
Siauw Ciauw pun berlutut dan sesudah manggutkan kepalanya beberapa kali, ia berdoa dengan suara perlahan, “Teecoe memohon supaya para leluhur melindungi Thio Kongcoe dalam usaha menegakkan kembali agama kita dan memulihkan keangkeran para leluhur.”
Boe Kie bangkit seraya berkata, “Aku bukan murid Beng-kauw dan dengan mengingat ajaran Thay soehoe, akupun takkan masuk ke dalam kalangan Beng-kauw. Tapi sesudah membaca surat wasiat Yo Kauwcoe, aku yakin bahwa tujuan Beng-kauw adalah luhur dan lurus. Dengan demikian aku bertekad untuk menggunakan segenap tenagaku guna menyingkirkan salah pengertian berbagai partai dan mendamaikan permusuhan kedua belah pihak.”
“Thio Kongcoe, kau mengatakan bahwa kau gagal dalam tiga belas kalimat,” kata Siauw Ciauw. “Mengapa kau tak mau mengaso dan sesudah segar baru mencoba lagi?”
“Biar bagaimanapun juga, hari ini aku sudah berhasil dalam Sin-kang tingkat ketujuh,” kata Boe Kie. “Memang benar ada tiga belas kalimat yang dilompati dan dalam keseluruhannya masih terdapat suatu kekurangan. Tapi sebagaimana dikatakan dalam nyanyianmu sendiri, dalam dunia ini tak ada sesuatu yang sempurna. Mengapa aku ini tak bisa merasa puas? Apakah jasa dan kemuliaannya Thio Boe Kie sehingga ia mesti memiliki seluruh ilmu dari Beng-kauw? Aku menganggap pantas sekali, jika aku tak berhasil dalam tiga belas kalimat itu.”
“Benar kata Kongcoe,” jawab si nona yang lalu mengambil kulit kambing itu dari tangan Boe Kie dan minta diberitahukan kalimat-kalimat mana yang dimaksudkan itu. Diam-diam ia membaca ketiga belas kalimat itu beberapa kali.
“Perlu apa kau menghafal?” tanya Boe Kie sambil tersenyum.
Paras si nona berubah merah. “Tak apa-apa,” jawabnya dengan jengah. “Aku hanya ingin tahu kalimat apa yang sedemikian sukar sehingga tak dapat dipecahkan olehmu sendiri.” Tapi di dalam hatinya, Siauw Ciauw mempunyai maksud lain. Ia tahu bahwa pemuda itu seorang yang jujur dan jika mereka bisa keluar dari tempat itu, ia tentu akan menyerahkan kulit kambing itu kepada Yo Siauw. Ia menghafal tiga belas kalimat itu supaya kalau dikemudian hari Boe Kie mau mencoba lagi, ia bisa membantu biarpun kulit kambingnya sudah berada di tangan orang lain.
Dengan mengenal batas, tanpa diketahui olehnya sendiri, Boe Kie telah menyelamatkan diri dari suatu bahaya.
Dulu, tokoh yang membuat ilmu Kian koen Tay lo ie adalah seseorang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi tapi tenaga dalamnya belum mencapai tingkat Kioe yang Sin-kang. Ia mengubah Sin-kang ketujuh tapi ia sendiri belum berhasil melatih seluruhnya. Ada beberapa bagian yang ditulis bukan berdasarkan kenyataan tapi khayalan yang keluar dari otaknya yang sangat cerdas. Tiga belas kalimat yang tidak dapat ditembus Boe Kie adalah bagian khayalan itu. Manakala Boe Kie tidak mengenal batas dan bertekad untuk memiliki seluruh ilmu, maka ia akan menyimpang ke jalan yang salah sehingga pada akhirnya ilmu itu akan “makan tuan”, ia bisa jadi gila atau binasa.
Sesudah mengaso beberapa saat, Boe Kie dan Siauw Ciauw lalu mengubur kerangka Yo Po Thian dan istrinya dengan pasir dan batu-batu kecil. Sesudah itu mereka menghampiri pintu batu.
Boe Kie menempelkan tangan kanannya pada pintu itu dan mendorong dengan menggunakan Kian koen Tay lo ie Sin-kang. Begitu didorong, pintu itu bergerak. Ia menambah tenaga dan pintu lantas saja terbuka dengan perlahan.
Siauw Ciauw kegirangan. Ia melompat-lompat sambil menepuk-nepuk tangan. Mendengar suara kerincingan rantai, Boe Kie berkata, “Coba aku berusaha memutuskan rantai itu.”
“Kali ini kau pasti berhasil,” kata si nona.
Seraya mengerahkan Lweekang, Boe Kie membetot, tapi rantai itu hanya mulur dan tak putus. “Celaka! Makin panjang akan makin sukar,” kata Siauw Ciauw.
Boe Kie menggelengkan kepala. “Aneh benar.”
Mengapa rantai itu begitu alot?
Rantai tersebut terbuat dari sebuah batu meteor yang jatuh dari langit. Batu itu mengandung semacam logam yang sifatnya sangat berbeda dengan logam apapun jua yang ada di dunia. Secara kebetulan batu itu dipatahkan salah seorang Kauwcoe dari Beng-kauw dan secara kebetulan pula pada jaman itu hidup seorang pandai besi yang luar biasa. Dengan menggunakan api si pandai besi melebur batu itu dan kemudian membuat rantai yang sekarang terikat pada kaki tangan Siauw Ciauw. Bahwa Boe Kie bisa menariknya sehingga mulur sudah merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat ditiru oleh siapapun jua.
Siauw Ciauw menunduk dan menghela nafas.
“Jangan jengkel, serahkan saja padaku,” hibur Boe Kie. “Aku akan berusaha untuk membuka rantai itu. Kita telah terkurung dalam perut gunung tapi aku masih bisa keluar. Aku tidak percaya kita tidak berdaya terhadap rantai yang begitu kecil.”
Si nona mendongak dan berkata seraya tertawa. “Thio Kongcoe, sesudah berjanji kuharap kau tidak mungkir lagi.”
“Aku akan minta supaya Poet Hwie Moay-moay membuka rantai itu,” kata Boe Kie. “Ia pasti tak akan menolak permintaanku.”
Dalam tekadnya untuk mencari Goan-tin, Boe Kie segera mendorong lagi kedua batu raksasa yang beratnya berlaksa kati. Tapi walaupun ia memiliki Sin-kang, tenaga manusia selalu terbatas. Kedua batu itu hanya bergoyang-goyang sedikit dan tidak dapat digeser. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan bersama Siauw Ciauw lalu keluar dari pintu batu yang terbuka. Sesudah berada di luar, ia memutar badan untuk menutupnya pula. Tapi ternyata yang merupakan daun pintu adalah batu raksasa, Boe Kie menghela nafas. Untuk membuat terowongan di bawah tanah itu, entah berapa banyak tenaga dan pikiran yang sudah digunakan orang-orang Beng-kauw.
Dengan tangan mencekal peta jalan rahasia, Boe Kie mengajak Siauw Ciauw mencari jalan keluar. Terowongan banyak cabangnya, tapi dengan pertolongan peta, dengan tak banyak kesulitan mereka bisa keluar.
Begitu berada di alam bebas, mereka memejamkan mata karena tak tahan dengan sinar terang yang menyilaukan. Selang beberapa lama, perlahan-lahan mereka membuka mata lagi.
Mereka ternyata berada di atas bumi yang tertutup salju. Mata mereka silau oleh sebuah sinar salju yang disoroti matahari.
Sementara itu, Siauw Ciauw meniup api obor, membuat sebuah lubang di salju dan kemudian menguburkan potongan kayu yang tadi dijadikan obor di dalam lubang itu. “Kayu, oh kayu!” katanya dengan suara perlahan. “Terima kasih banyak untuk pertolonganmu. Kamu telah memberikan sinar terang sehingga Thio Kongcoe dan aku bisa keluar dari gua. Tanpa pertolonganmu kami tentu akan binasa.”
Boe Kie tertawa terbahak-bahak, hatinya senang sekali. “Di dalam dunia banyak sekali manusia yang tak mengenal budi,” pikirnya. “Dengan berbuat begini, Siauw Ciauw menunjukkan bahwa ia seorang yang luhur budinya.” Ia merasa kagum, ia mengawasi kulit muka yang putih bagaikan batu pualam. Tanpa sadar ia memuji, “Siauw Ciauw, kau sungguh cantik.”
“Thio Kongcoe, apa kau membohongi aku?” tanya si nona dengan girang.
“Sekarang kau ayu sekali,” jawabnya. “Tapi kau tak boleh berlagak bongkok dan pincang lagi.”
“Baiklah,” kata Siauw Ciauw. “Jika kau berkata begitu, biarpun Siocia, aku tentu takkan menyamar lagi.”
“Gila! Perlu apa dia bunuh kau,” bentak Boe Kie.
Mereka segera pergi ke pinggir tebing dan memperhatikan keadaan di sekitarnya. Mereka ternyata berada di lereng sebuah puncak. Waktu datang di Kong beng-teng, Boe Kie berada dalam karungnya Swee Poet Tek sehingga ia sama sekali tidak tahu keadaan bumi di gunung ini. Sekarangpun ia masih belum tahu di mana mereka berada. Sambil menudung mata dengan tangannya ia memandang ke tempat jauh. Tiba-tiba ia lihat beberapa sosok tubuh manusia yang tergeletak di sebelah barat laut.
“Coba kita lihat,” katanya sambil mencekal tangan Siauw Ciauw dan lalu menuju ke tanjakan itu dengan berlari-lari. Sesudah memiliki Kioe yang dan Kian koen Tay lo ie Sin-kang, setiap gerakan Boe Kie hebat luar biasa. Maka itu, meskipun membawa Siauw Ciauw, larinya cepat bagaikan walet terbang, dalam sekejap mereka sudah tiba ke tempat yang dituju.
Empat mayat rebah di situ, semua berlumuran darah. Tiga di antaranya mengenakan seragam Beng-kauw sedang yang seorang pendeta, mungkin sekali murid Siauw Lim sie.
“Celaka!” seru Boe Kie di dalam tenggorakan. “Selagi kita berada di perut gunung, keenam partai sudah berada di sini.” Ia meraba dada keempat mayat itu. Semuanya dingin.
Ia segera menarik tangan Siauw Ciauw dan mendaki puncak dengan mengikuti tapak kaki. Sesudah melalui beberapa puluh tombak, mereka kembali bertemu dengan tujuh mayat yang rupanya sangat menakutkan.
Boe Kie bingung, “Bagaimana dengan Yo Siauw Sianseng, Poet Hwie Moay-moay?” katanya. Ia berlari-lari makin cepat sehingga Siauw Ciauw seolah-olah sedang terbang dengan ditenteng pemuda itu.
Setelah membelok di sebuah tikungan, mereka bertemu dengan lima mayat murid Beng-kauw, semuanya tergantung di pohon dengan kepala di bawah kaki di atas dan muka seperti dicakar dengan cakar yang sangat tajam.
“Ah! Itu cakar Houw-jiauw chioe dari Hwa San-pay,” kata Siauw Ciauw. (Houw-jiauw chioe, Cakar Harimau)
“Siauw Ciauw, bagaimana kau tahu?” tanya Boe Kie dengan heran. “Siapa yang memberitahukannya kepadamu?”
Tapi, karena memikirkan keselamatan kedua belah pihak yang sedang bermusuhan, tanpa menunggu jawaban ia terus berlari-lari. Di sepanjang jalan dia bertemu dengan mayat-mayat, sebagian besar mayat murid Beng-kauw, tapi mayat murid keenam partai pun tak sedikit jumlahnya.
Boe Kie menduga bahwa selama ia terkurung di perut gunung sehari semalam, keenam partai telah melakukan serangan besar-besaran. Sebab Yo Siauw, Wie It Siauw dan yang lain-lain terluka berat maka murid-murid Beng-kauw tak punya pemimpin sehingga dalam pertempuran itu mereka jatuh di bawah angin. Tapi, meskipun begitu dia melawan dengan nekad dan mendapatkan kerusakan besar.
Waktu hampir tiba di puncak gunung, Boe Kie mendengar suara bentrokan senjata yang sangat hebat. Hatinya agak lega. “Pertempuran belum berhenti, keenam partai rupanya belum masuk di toa thia,” pikirnya. Ia mempercepat langkahnya.
Mendadak dua batang piauw menyambar.
“Siapa kau? Berhenti!” bentak seseorang.
Sambil menghentikan langkah, Boe Kie mengibaskan tangan dan kedua piauw itu terbang kembali.
“Aduh!” seseorang berteriak dan terus roboh.
Boe Kie kaget, yang roboh seorang pendeta. Kedua piauw itu menembus pundaknya dan kemudian menancap di salju. Ia tertegun, ia mengibas dengan pelan hanya untuk memukul jatuh senjata rahasia itu. Tak disangka, kibasan itu bertenaga sedemikian besar. Buru-buru ia membangunkan si pendeta dan berkata, “Aku bersalah telah melukai Taysoe, mohon Taysoe sudi memaafkan.”
Darah berlumuran dari lukanya tapi pendeta itu sangat tegap dan gagah. Tiba-tiba ia menendang dan kakinya mampir tepat di lambung Boe Kie yang tak menduga akan diserang dengan cara begitu. Tapi hampir bersamaan dengan tendangan kaki kanannya itu, tubuh si pendeta terpental dan menghantam satu pohon sehingga tulang kaki kanannya patah dan mulutnya mengeluarkan darah. Boe Kie sendiri tidak tahu bahwa sesudah mempunyai dua macam Sin-kang, di dalam tubuhnya terdapat semacam tenaga dahsyat yang bisa melawan setiap pukulan secara wajar.
Melihat pendeta itu terluka berat, hati Boe Kie makin tidak enak. Ia membangunkannya berulang-ulang dan memohon maaf. Pendeta itu mengawasinya dengan mata melotot. Ia heran bercampur gusar.
Mendadak dalam pekarangan yang terkurung tembok terdengar tiga kali teriakan kesakitan. Boe Kie tidak dapat memperhatikan pendeta itu lagi. Sambil menarik tangan Siauw Ciauw, ia masuk dengan berlari-lari. Sesudah melewati dua ruangan, mereka tiba di sebuah lapangan terbuka yang penuh manusia. Rombongan yang berkumpul di sebelah barat jumlahnya lebih kecil, sebagian besar sudah terluka dengan pakaian berlumuran darah. Rombongan itu adalah rombongan Beng-kauw. Jumlah rombongan yang di sebelah timur beberapa kali lipat lebih besar dan terbagi jadi enam barisan kecil. Mereka itu adalah keenam partai.
Boe Kie segera saja melihat bahwa Yo Siauw, Yo Poet Hwie, Wie It Siauw, Swee Poet Tek dan yang lain-lain berada di tengah-tengah rombongan Beng-kauw. Mereka belum bisa bergerak. Di tengah gelanggang terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat. Karena semua mata menuju ke arah pertandingan itu, maka masuknya Boe Kie dan Siauw Ciauw tidak diperhatikan oleh siapapun juga.

Readmore »»
Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity