05/09/08

Bab IV : PERANAN KEPAHLAWANAN

Masih ada sementara penulis sejarah yang dengan berbagai dalih dan alasan mengatakan,
bahwa Imam Ali r.a. bukan orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebagai alasan dikatakan, bahwa hukum belum berlaku baginya, karena ketika ia memeluk
Islam usianya masih sangat muda, malahan dikatakan "masih kanak-kanak".
Alasan seperti itu tampak sekali dicari-cari. Sebab, seorang remaja yang berusia 13 tahun,
bukan seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah mampu berfikir membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Usia 13 tahun pada umumnya bisa dipandang sebagai tahap permulaan masa
akil baligh. Dalam usia akil baligh itu orang sudah dapat menerima penjelasan-penjelasan dan
keterangan-keterangan tentang sesuatu dengan baik. Fikiran dan perasaannya pun sudah
berada dalam tingkatan aktif, dapat membedakan mana hal-hal yang menyenangkan atau
menyedihkan, mana yang mengagumkan dan mana yang memuakkan, mana yang masuk akal
dan mana yang tidak.
Seperti diketahui, sejak Imam Ali r.a. berusia 6 tahun langsung diasuh, dibimbing dan dididik
oleh Nabi Muhammad s.a.w. Menurut sistem pendidikan modern, tingkat usia 6 tahun itu justru
yang paling tepat bagi seseorang anak memasuki sekolah dasar, yang akan berlangsung selama
6 tahun. Dari usia 6 tahun sampai 12 tahun dapatlah dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. telah
mendapat "pendidikan dasar" dari seorang guru yang paling bijaksana.
Selama periode "pendidikkan dasar" itu, Imam Ali r.a. telah dipersiapkan oleh gurunya untuk
menyongsong datangnya masa pancaroba yang akan menjadi ciri perobahan zaman. Ketika
Imam Ali r.a. menginjak usia 13 tahun, terjadilah bi'tsah Muhammad sebagai Nabi dan Rasul,
yang akan menjungkir-balikkan masa jahiliyah dan menggantinya dengan kecerahan masa
hidayah. Masa "pendidikkan dasar" dan persiapan yang sangat tepat waktunya itulah, yang
kemudian mewarnai sikap hidup dan kepribadian Imam Ali r.a. sebagai orang yang teguh
imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketika berlangsung blokade ekonomi dan pemboikotan sosial yang dilancarkan orang-orang kafir
Qureiys terhadap semua keluarga Bani Hasyim, Imam Ali r.a. ikut langsung menghayati
kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi akibatnya. Dengan mengikuti bimbingan serta
tauladan Rasul Allah s.a.w. beserta Sitti Khadijah r.a., dengan tangguh, tabah dan sabar, Imam
Ali r.a. ikut berjuang mempertahankan dan membela da'wah Islam.
28
Tidak hanya itu saja. Selama hampir empat tahun terkepung dalam Syi'ib, Imam Ali r.a.
memperoleh kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menerima pendidikan tauhid dan ilmuilmu
Ilahiyah, langsung dari Rasul Allah s.a.w. Satu kesempatan yang tidak pernah didapat oleh
orang mukmin manapun. Dalam keadaan materiil serba kurang, Imam Ali r.a. yang masih
remaja itu fikirannya terbuka seterang-terangnya guna menerima hidayah llahi, dan dengan
tuntunan Rasul Allah s.a.w. ia dapat mengenal hakekat kebenaran Allah 'Azza wa Jalla.
Tentang kedinian Imam Ali r.a. beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w.
sendiri pernah menegaskannya. Penegasan itu disaksikan oleh para sahabat dekat dan
terkemuka, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khattab r.a. dan Abu Ubaidah r.a. Hal
itu tercantum dalam Kitab "Kanzul Ummal", jilid VI, hlm. 393. Riwayatnya berasal dari Ibnu
Abbas.
Umar Ibnul Khattab berkata: "....Aku, Abu Bakar dan Abu Ubaidah bersama beberapa orang
sahabat Nabi lainnya pernah datang ke rumah Ummu Salmah. Setiba disana aku melihat Ali bin
Abi Thalib sedang berdiri di pintu. Kami katakan kepadanya, bahwa kami hendak bertemu
dengan Rasul Allah s.a.w. Ia menjawab, sebentar lagi beliau akan keluar. Waktu beliau keluar,
kami segera berdiri. Kami lihat beliau bertopang pada Ali bin Abi Thalib dan menepuk-nepuk
bahunya sambil berucap: "Engkau unggul dan akan tetap unggul, orang pertama yang beriman,
seorang mukmin yang paling banyak mengetahui hari-hari Allah (hari-hari turunnya nikmat dan
cobaan), paling setia menepati janji, paling adil dalam bertugas melakukan pembagian
ghanimah, paling bercinta-kasih kepada rakyat, dan paling banyak menderita."


Membela Kebenaran
Di samping perjuangannya di bidang aqidah, ilmu dan pemikiran, Imam Ali r.a. juga terkenal
sebagai seorang muda yang memiliki kesanggupan berkorban yang luar biasa besarnya. Ia
mempunyai susunan jasmani yang sempurna dan tenaga yang sangat kuat. Sudah tentu, itu saja
belum menjadi jaminan bagi seseorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela
kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Imannya yang teguh laksana gunung raksasa dan kesetiaannya
yang penuh kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah yang menjadi pendorong utama.
Imam Ali r.a. tidak pernah menghitung-hitung resiko dalam perjuangan suci menegakkan Islam.
Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta iman yang kokoh dan mantap, Imam Ali r.a. benarbenar
mempunyai syarat fisik-materiil dan mental-spiritual untuk menghadapi tahap-tahap
perjuangan yang serba berat.
Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi yang kritis dan gawat, Imam Ali r.a.
selalu tampil memainkan peranan menentukan. Selama hidup ia tak pernah mengalami hidup
santai. Sejak muda remaja sampai akhir hayatnya, ia keluar masuk dari kesulitan ke kesulitan
lain, dan dari pengorbanan ke pengorbanan yang lain. Namun demikian ia tak pernah menyesali
nasib, bahkan dengan semangat pengabdian yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, ia
senantiasa siap menghadapi segala tantangan. Satu-satunya pamrih yang menjadi pemikirannya
siang dan malam hanya ingin memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kesenangan hidup
duniawi baginya bukan apa-apa dibanding dengan kenikmatan ukhrawi yang telah dijanjikan
Allah s.w.t. bagi hamba-hamba-Nya yang berani hidup di atas kebenaran dan keadilan.
berkali-kali imannya yang teguh diuji oleh Rasul Allah s.a.w. Tiap kali diuji, tiap kali itu juga
lulus dengan meraih nilai yang amat tinggi. Ujian pertama yang maha berat ialah yang terjadi
pada saat Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya berhijrah ke Madinah.
Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gulita, komplotan kafir Qureiys mengepung
kediaman Rasul Allah s.a.w. dengan tujuan hendak membunuh beliau, bilamana beliau
meninggalkan rumah. Dalam peristiwa ini Imam Ali r.a. memainkan peranan besar: Ia diminta
oleh Rasul Allah s.a.w. supaya tidur di atas pembaringan beliau menutup tubuhnya dengan
29
selimut beliau guna mengelabui mata orang-orang Qureiys. Tanpa tawar-menawar Imam Ali r.a.
menyanggupinya. Ia menangis bukan mencemaskan nyawanya sendiri, melainkan karena ia
khawatir atas keselamatan Rasul Allah s.a.w. yang saat itu berkemas-kemas hendak hijrah
meninggalkan kampung halaman.
Melihat Imam Ali menangis, maka Rasul Allah bertanya: "Apa sebab engkau menangis, Apakah
engkau takut mati?".
Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Tidak, ya Rasul Allah! Demi Allah yang mengutusmu
membawa kebenaran! Aku sangat khawatir terhadap diri anda. Apakah anda akan selamat, ya
R,asul Allah?"
"Ya," jawab Nabi Muhammad s.a.w. dengan tidak ragu-ragu.
Mendengar kata-kata yang pasti dari Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. terus berkata: "Baiklah,
aku patuh dan kutaati perintah anda. Aku rela menebus keselamatan anda dengan nyawaku, ya
Rasul Allah!"
Imam Ali r.a. segera menghampiri pembaringan Rasul Allah s.a.w. Kemudian berselunjur
mengenakan selimut beliau untuk menutupi tubuhnya. Saat itu orang-orang kafir Qureiys sudah
mulai berdatangan di sekitar rumah Rasul Allah s.a.w. dan mengepungnya dari segala jurusan.
Dengan perlindungan Allah s.w.t. dan sambil membaca ayat 9 Surah Yaa Sin, beliau keluar
tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang mengepung dan mengintai. Orang-orang Qureiys
itu menduga, bahwa orang yang sedang berbaring dan berselimut itu pasti Nabi Muhammad
s.a.w. Mereka yang mengepung itu mewakili suku-suku qabilah Qureiys yang telah bersepakat
hendak membunuh Nabi Muhammad s.a.w. dengan pedang secara serentak. Dengan cara
demikian itu, tidak mungkin Bani Hasyim dapat menuntut balas.
Imam Ali r.a. mengerti benar kemungkinan apa yang akan diperbuat orang-orang kafir Qureiys
terhadap dirinya karena ia tidur di pembaringan Rasul Allah s.a.w. Hal itu sama sekali tidak
membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar biasa, ia berserah diri pada Allah
s.w.t. Ia yakin, bahwa Dia-lah yang menentukan segala-galanya.
Menjelang subuh, Imam Ali r.a. bangun. Gerombolan Qureiys terus menyerbu ke dalam rumah.
Dengan suara membentak mereka bertanya: "Mana Muhammad? Mana Muhammad?"
"Aku tak tahu di mana Muhammad berada!" jawab Imam Ali r.a. dengan tenang.
Gerombolan Qureiys itu segera mencari-cari ke sudut-sudut rumah. Usaha mereka sia-sia
belaka. Gerombolan itu kecewa benar. Di dalam hati mereka bertanya-tanya: "Kemana ia
pergi?" Dalam suasana gaduh Imam Ali r.a. bertanya: "Apa maksud kalian?"
"Mana, Muhammad? Mana Muhammad?" mereka mengulang-ulang pertanyaan semula.
"Apakah kalian mengangkatku menjadi pengawasnya?" ujar Imam Ali r.a. dengan nada
memperolok-olok. "Bukankah kalian sendiri berniat mengeluarkannya dari negeri ini? sekarang
ia sudah keluar meninggalkan kalian!"
Ucapan Imam Ali r.a. sungguh-sungguh menggambarkan ketabahan dan keberanian hatinya.
Cahaya pedang terhunus yang berkilauan, samasekali tidak dihiraukan, bahkan orang-orang
Qureiys yang kalap itu dicemoohkan. Seandainya ada seorang saja dari gerombolan itu
mengayunkan pedang ke arah Imam Ali r.a., entahlah apa yang terjadi. Tetapi Allah tidak
menghendaki hal itu.
Keesokan harinya, Imam Ali r.a. berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatu untuk
30
berangkat membawa beberapa orang wanita Bani Hasyim, terutama Sitti Fatimah r.a.,
menyusul perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dalam hijrahnya ke Madinah.
Seperti telah diterangkan di muka, rombongan Imam Ali r.a. berangkat secara terang-terangan
di siang hari. Setibanya di Dhajnan ia membuka babak konfrontasi bersenjata antara kaum
muslimin dan kaum musyrikin.
Imam Ali r.a. yang ketika itu berusia 26 tahun, merupakan orang pertama yang menghunus
pedang untuk mematahkan agresi bersenjata orang-orang kafir Qureiys. Terbelahnya tubuh
Jenah menjadi dua dan larinya 7 orang pasukan berkuda Qureiys yang semula mengejar
rombongan, merupakan tonggak sejarah yang menandai akan datangnya masa cerah bagi kaum
muslimin dan masa suram bagi kaum musyrikin.
Bab IV-1 : Perang Badr
Perang Badr merupakan perang pertama yang terpaksa diarungi oleh kaum muslimin
menghadapi musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Perang ini merupakan demonstrasi
pertama dari ketangguhan kaum muslimin melawan serangan kaum musyrikin Qureiys. Untuk
pertama kalinya panji perang Rasul Allah s.a.w. berkibar di medan laga. Dan yang diberi
kepercayaan memegang panji yang melambangkan tekad perjuangan menegakkan agama Allah
s.w.t. itu, ialah Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Tanpa pengalaman perang sama sekali dan dengan kekuatan pasukan yang hanya sepertiga
kekuatan musuh, pasukan muslimin dengan kebulatan iman yang teguh berhasil menancapkan
tonggak sejarah yang sangat menentukan perkembangan Islam lebih lanjut. Perlengkapan dan
persenjataan kaum muslimin waktu itu boleh dibilang nol. Pasukan berkuda dan penunggang
unta, yaitu pasukan yang dipandang paling ampuh dan "modern" pada masa itu, praktis tidak
dipunyai oleh kaum muslimin. Demikian langkanya kuda dan unta dibanding dengan jumlah
pasukan yang ada, sampai-sampai seekor unta dikendarai oleh dua hingga empat orang secara
bergantian. Hanya ada seekor kuda yang tersedia, yaitu yang dikendarai oleh Al Miqdad bin Al
Aswad Al Kindiy. Itulah kekuatan "kavaleri" Rasul Allah s.a.w. di dalam perang Badr.
Dalam perang Badr itu pasukan muslimin tidak sedikit yang menerjang musuh hanya dengan
senjata-senjata tajam yang sangat sederhana. Sedangkan musuh yang dilawan mempunyai
persenjataan lengkap dengan kuda-kuda tunggang dan unta-unta. Tetapi sebenarnya kaum
muslimin mempunyai senjata yang lebih ampuh dibanding dengan lawannya, yaitu
kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. dan kepercayaan kuat bahwa Allah pasti akan memberikan
pertolongan-Nya. Allahu Akbar.
Perang Badr sebenarnya terjadi di luar rencana. Pada mulanya kaum muslimin di bawah
pimpinan Rasul Allah s.a.w. bermaksud hendak mencegat kafilah Abu Sufyan bin Harb yang
telah meninggalkan Makkah berangkat menuju negeri Syam, dan akan kembali ke Makkah lewat
sebuah tempat bernama 'Usyaira. Di tempat itulah kaum muslimin siap menghadang, tetapi
ternyata kafilah Abu Sufyan sudah lolos lebih dulu.
Ketika peperangan mulai berkobar, Imam Ali bersama Hamzah bin Abdul Mutthalib dan
beberapa orang lainnya, berada di barisan terdepan. Pada tangan Imam Ali r.a. berkibar panji
perang Rasul Allah s.a.w. Ia terjun ke medan laga menerjang pasukan musuh yang jauh lebih
besar dan kuat. Dalam perang ini untuk pertama kalinya kalimat "Allahu Akbar" berkumandang
membajakan tekad pasukan muslimin.
Saat itu terdengar suara musuh menantang: "Hai Muhammad suruhlah orang-orang yang
berwibawa dari asal Qureiys supaya tampil!"
Mendengar tantangan itu, laksana singa lapar Imam Ali r.a. meloncat maju ke depan mendekati
suara yang menantang-nantang. Terjadilah perang tanding (duel) antara Imam Ali r.a. dengan
Al Walid bin Utbah, saudara Hindun isteri Abu Sufyan. Dalam pertempuran yang seru itu, Al
31
Walid mati di ujung pedang Imam Ali r.a.
Dalam perang Badr ini 70 orang pasukan kafir Qureiys mati terbunuh, dan hampir separonya
mati di ujung pedang Imam Ali r.a. Kecuali itu lebih dari 70 orang pemuka Qureiys berhasil
ditawan dan digiring ke Madinah. Perang Badr yang berakhir dengan kemenangan kaum
muslimin itu merupakan fajar pagi yang menandai pesatnya kemajuan agama Allah s.w.t.

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity