11/09/08

Gerakan Mahasiswa Inginkan Reformasi Damai

DEMONSTRASI yang hampir menyemai rata di seluruh perguruan tinggi Indonesia saat ini kembali menumbuhkan kenangan pada zaman keemasan gerakan (politik) mahasiswa di masa lalu.
Tuntutan atas reformasi politik, ekonomi, penghapusan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), penurunan harga dan perbaikan kehidupan berbangsa pada dua bulan terakhir ini, adalah 'lagu' biasa yang dinyanyikan para mahasiswa di kampus-kampus. Hingga kemudian ada tawaran dialog dari Pangab Jenderal TNI Wiranto.
Untuk melihat semua ini, hari ini dan besok wartawan BPost Budi Kurniawan menurunkan tulisan mengenai gerakan mahasiswa dan apa sebenarnya yang mereka inginkan.
SETIAP gerakan _baik itu moral atau politik_ yang dilakukan mahasiswa menurut Seymour Martin Lipset pasti merefleksikan hati nurani zaman saat gerakan itu terjadi.
Pada 1908 gerakan politik berlangsung dengan tujuan sederhana. Periode berikutnya, diwakili Ir Soekarno dan kawan-kawannya di Belanda melalui Perhimpunan Indonesia pada tahun 1920-an. Gerakan ini bertujuan jelas, yakni Indonesia merdeka.
Pasca Indonesia merdeka, sejarah Indonesia kontemporer mencatat tiga periode gerakan politik mahasiswa, yang ruh-nya, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, sangat berbeda-beda.
Periode pertama, 1966, dengan dukungan kalangan militer, mahasiswa turut membidani kelahiran Orde Baru. Pasca gerakan itu, Kampus Universitas Indonesia di Salemba pun menyandang predikat Kampus Perjuangan Orde Baru [yang pada demonstrasi terakhir, tulisan itu ditutupi].
Setelah Orde Lama tumbang, beberapa aktivis UI yang terlibat, masuk ke dalam lembaga politik Orde Baru, untuk turut menentukan kebijakan sekaligus mengawasi pemerintahan. Sebagian lagi tetap menjaga jarak dengan kekuasaan dan memilih berada jauh "di luar".
***
DELAPAN tahun kemudian [1974] kekuasaan yang dulu dilahirkan digugat. Kekuasaan dinilai sudah bergeser jauh dari yang diinginkan. Penanaman modal dan pengaruh asing dalam pembangunan, korupsi, kolusi, nepotisme, sistem politik yang 'rancu' dengan lembaga-lembaga politik yang perannya jauh dari harapan dan beragam penyelewengan lainnya dijadikan alasan demonstrasi besar-besaran mahasiswa UI di Jakarta. Sampai kemudian 'meledak' menjadi Peristiwa Malari [Malapetaka 15 Januari].
Pasca Malari, lahir Konsep NKK/BKK -- yang 'ditawarkan' Daoed Joesoef, mendikbud ketika itu. Konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang memberi batasan baru mahasiswa dan politik, sekalipun tetap diwarnai gerakan politik mahasiswa pada 1978.
Konsep NKK/BKK ini, di satu sisi lebih mengarahkan mahasiswa mengisi ruang-ruang peran dalam pembangunan. Tapi di sisi lain, kerap dituding turut melunturkan keperdulian mahasiswa pada realitas sosial.
Memasuki 1980-an dan seterusnya, keperdulian mahasiswa pada realitas sosial masih terlihat. Sekalipun pada awalnya tatarannya dianggap sangat sederhana, yaitu melalui reaksi mereka atas kenaikan SPP di kampus masing-masing, proses belajar-mengajar yang dianggap tidak beres, soal ujian negara dan lain-lain.


Reaksi ini kemudian dilanjutkan dengan mengangkat soal-soal substansial seperti kasus penggusuran dan hak politik rakyat.
Walau jauh lebih sederhana, namun suasana terasa lebih represif. Pada periode inilah beberapa aktivis mahasiswa merasa dijadikan etalase.
"Kami rupanya dijadikan etalase buat teman-teman yang lain, sehingga mereka tidak lagi berani berpihak pada kepentingan rakyat. Langkah itu terbukti ampuh memotong aktifitas mahasiswa," kata Bonar Tigor Naipospos, aktivis mahasiswa yang divonis penjara delapan tahun pada awal 1990-an [dan pasca kasus Pertemuan Kongres Indonesia di Ancol, dinyatakan 'hilang' oleh teman-temannya] kepada majalah mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Bonar tidak menjalani penuh masa hukumannya. Karena dia dinilai memiliki kelakuan baik dan masih punya harapan, dia dibebaskan setelah menjalani tiga tahun hukumannya.
Menurut Bonar, di awal 1990-an, gerakan mahasiswa sedang mengalami pencarian format. Ada yang menganggap lebih efektif meneriakkan langsung apa yang hendak diperjuangkan. Tapi ada juga yang memilih untuk format perjuangan asah-pemikiran melalui kelompok-kelompok diskusi --tempat yang dipilih Bonar.
***
SELEPAS 1990 hingga menjelang 1998, gerakan mahasiswa kembali turun bendera tanpa upacara. Sampai saat badai krisis ekonomi mulai menghantam Tanah Air pada Juni 1997, mahasiswa terlihat menerima apa adanya. Hingga Dr Amien Rais, saat hadir di tengah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta menyatakan keheranannya.
"Semula saya bertanya-tanya mana peran dan keperdulian kaum intelektual seperti mahasiswa saat krisis menghantam dan menambah penderitaan rakyat. Saat itu saya khawatir, karena krisis sudah berlangsung sekitar 10 bulan tapi mahasiswa tetap saja diam," katanya pada pertengahan Maret lalu.
Ketua PP Muhammadiyah itu akhirnya menyatakan rasa syukur, karena prasangka dan kekhwatiran itu tidak terjadi. Mahasiswa tetap perduli pada realitas sosial. Sikap menuntut reformasi politik dan perbaikan kehidupan ekonomi terjadi merata hampir di seluruh perguruan tinggi Indonesia.
Seperti pada awal 1990, isu yang diusung dalam setiap gerakan tidak jauh berbeda. Tapi pendekatan yang dipergunakan terlihat relatif berbeda. Gerakan pengerahan massa di kampus menjadi pilihan utama.
Rama Pratama, ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia mengakui walaupun gerakan mahasiswa pada 1966 menjadi semacam romantisme, tapi mereka ingin memberikan sesuatu yang baru, karena konstelasinya jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Kalaupun ada hubungan dengan 1966, kata Rama, itu hanya untuk mengambil pengalamannya.
Saat ini, adalah kesempatan yang paling tepat untuk mahasiswa menstabilkan sikapnya dan membuat platform, untuk pagar kegiatannya. "Keberpihakannya pada rakyat, ini yang menjadi platform, sehingga saat ada gerakan maka itu harus memberikan social cost," kata Rama.
Rama mengartikan perubahan sebagai reformasi substansial tidak sepotong-sepotong dan jauh dari dendam kesumat. Lalu soal reformasi total, Rama menganggap itu dilakukan karena persoalan yang ada saat ini adalah persoalan multidimensional. Dalam jangka pendek ada percepatan demokratisasi dengan landasan moral. Sedang jangka panjang ada agenda perubahan dimensi lain yang akan disampaikan pada DPR/MPR.
"Peran kedua lembaga ini masih jauh dari yang diharapkan. Itu sebabnya reformasi yang diinginkan adalah sebuah perjuangan yang sangat panjang, jadi bukan hanya perubahan peran lembaga legislatif. Bidikan di sini adalah sistem," kata Rama saat ditemui di Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI Depok, beberapa hari lalu.
Untuk tujuan reformasi damai itulah, Rama dan teman-temannya mendatangi wakil rakyat saat sidang umum MPR berlangsung.
"Kalau perubahan bisa dilakukan dengan damai, mengapa tidak bisa dilakukan dengan dialog, kenapa harus selalu penuh konflik dan intrik?" tanya Rama.
Karena itu, platform yang ditentukan selain memberikan di bagian mana gerakan reformasi dilakukan, juga menekankan gerakan ini bersifat moral dan intelektual.

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity