11/09/08

Gerakan Mahasiswa dan Wacana Demokrasi

Masihkah Berharap Pada Demokrasi? Ketika kita mencoba melakukan survei tentang istilah yang paling populer saat ini, maka kata demokrasi akan berada pada peringkat teratas. Sebagai sebuah ide, demokrasi telah terlanjur menjadi maskot yang disakralkan; sebagai sebuah wacana, demokrasi sejak kelahirannya telah dianggap sebagai berkah bagi kehidupan; begitu pula sebagai sebuah sistem, demokrasi telah mendorong manusia untuk berusaha mewujudkannya.


Masihkah Berharap Pada Demokrasi?
Ketika kita mencoba melakukan survei tentang istilah yang paling populer saat ini, maka kata demokrasi akan berada pada peringkat teratas. Sebagai sebuah ide, demokrasi telah terlanjur menjadi maskot yang disakralkan; sebagai sebuah wacana, demokrasi sejak kelahirannya telah dianggap sebagai berkah bagi kehidupan; begitu pula sebagai sebuah sistem, demokrasi telah mendorong manusia untuk berusaha mewujudkannya. Apakah benar bahwa ide ini akan menjadi solusi atas persoalan dunia saat ini sehingga harus diperjuangkan? Apakah benar bahwa demokrasi memberikan kebaikan untuk manusia atau malah sebaliknya? Sebelum membicarakan lebih jauh tentang demokrasi, perlu kiranya kita menjernihkan pemahaman dan menetapkan suatu frame yang benar dalam memaknai suatu istilah. Ini penting agar kita tidak terjebak oleh anakronisme, yaitu pembacaan atas sebuah pemikiran dengan mengambil tafsiran-tafsiran yang berasal dari luar konteks historisnya (Ahmad Baso, 1999). Karena dari kesalahan pada tataran ini bisa melahirkan pemahaman tentang demokrasi yang destruktif, yang tentu berpengaruh buat kita dalam memberikan apresiasi yang obyektif. Apalagi memang demokrasi sebagai sebuah idiom memang memiliki nilai sosial historis dan makna terminologi tertentu. Demokrasi adalah suatu ide yang memiliki latar belakang historis yang unik, yakni di Eropa pada abad 1350 M -1600 M (walaupun jauh – jauh sebelumnya sekitar abad 6 - 3 SM telah dikenal sistem demokrasi langsung di Yunani). Pada saat itu terjadi pergolakan yang melibatkan para penguasa di Eropa yang mengklaim bahwa penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaannya. Kekuasaan penguasa menjadi lebih terjaga ketika para kaum agamawan, dalam hal ini pendeta-pendeta menjadi corong penguasa sekaligus menjadi alat legitimasi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Akibatnya, penguasa menjadi pihak yang absolut dan tidak terkendali sehingga terjadi kesewenang-wenangan dan kezaliman terhadap rakyat. Untuk menutupi kesalahannya, penguasa juga telah menutup gerak para ilmuwan yang berusaha menyuarakan pertentangannya dengan pendapat penguasa dan kaum gerejawan (contoh kasus; dipenggalnya Galileo Galilei). Sampai pada titik yang tidak bisa lagi ditolerir, akhirnya muncul kekuatan dari poros lain yang dimotori oleh para filosof dan ilmuwan yang berusaha untuk merubah keadaan. Mereka mulai membahas tentang perlunya pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat. Bukan pemerintahan yang diatur atas nama agama ataupun Tuhan. Namun karena seimbangnya kekuatan kedua kubu sehingga yang lahir adalah kompromistik yang juga melatarbelakangi kelahiran faham sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Agama hanya ditempatkan sebagai bentuk ritual manusia dengan Tuhan sedang untuk kehidupan diatur sepenuhnya oleh manusia. Otomatis karena kekosongan aturan ditengah manusia maka lahirlah ide Demokrasi ini.

Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang berdaulat, artinya merekalah yang memiliki suatu kemauan (Rousseau; peletak teori kedaulatan rakyat). Kalau rakyatnya inginnya begitu ya begitu. Aktualisasi kehendak tersebut dapat dilihat dari kebebasannya dalam membuat hukum dan aturan yang diterapkan ditengah masyarakat. Rakyat dapat mengubah sistem ekonomi, politik, budaya, sosial, dan apapun yang sesuai dengan kehendaknya. Rakyat pula yang berhak untuk membuat undang-undang dan UUD sebagai wujud keinginannya. Jangan pernah berharap dalam demokrasi akan dikenal pertimbangan halal dan haram, yang ada adalah apakah itu mendatangkan mamfaat atau tidak. Walhasil, dalam demokrasi, rakyat yang dijadikan sebagai `Tuhan". Karenanya esensi dari demokrasi yang diakui sendiri oleh penganutnya yakni suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei). Untuk lebih menjernihkan lagi, maka perlu ditambahkan beberapa substansi mendasar dari demokrasi, diantaranya: Konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam sistem demokrasi, kebenaran adalah yang didukung oleh suara terbanyak, baik secara mufakat atau voting. Makanya kebenaran itu akan senantiasa bersifat ambivalen tergantung kepentingan mana yang berpengaruh,padahal yang namanya kebenaran adalah jelas. Laut itu adalah asin dan tetap asin walaupun semua orang berteriak laut itu manis. Namun dalam demokrasi kemungkinan itu bisa terjadi lantaran pendukung bahwa laut
itu manis lebih mayoritas dikarenakan kebanyakan pemilih adalah orang gunung yang tidak mengenal laut. Meskipun suara itu diraih sebanyak 50 persen tambah 1 suara. Dari kelemahan ini, maka berkembangkanlah teori Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk meng-Goal-kan setiap aturan yang diinginkan. Menggunakan politik uang, politik belah bambu, manipulasi suara, bahkan sampai tindakan intimidasi adalah fenomena yang wajar dalam demokrasi. Pemikiran mendasar yang lain yaitu bentuk trias politica yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), konsep ini membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan, dan kekuasaan yudikatif yang berhak mengadili atas pelanggaran undang-undang. Kalau kita jeli melihat bahwa trias politica, terutama dalam kekuasaan legislatif itu lahir akibat kegagalan konsep awal dalam demokrasi untuk mewujudkan aspirasi seluruh rakyat dalam kekuasaan. Adanya kemustahilan untuk melahirkan suatu aturan yang merupakan representasi seluruh rakyat maka dibuatlah lembaga perwakilan yang diharap bisa mengakomodir suara rakyat. Sampel bisa dilihat di Indonesia yang memiliki penduduk lebih 220 juta hanya diwakili oleh sekitar 550 orang di lembaga legislatif. Siapa pun yang mau jujur, maka akan mengatakan bahwa demokrasi bukanlah pemerintahan rakyat, tetapi lebih tepat dikatakan pemerintahan rakyat minoritas. Mengutip apa yang dikatakan oleh Gatano Mosca, Clfrede Pareto, dan Robert Michels, cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Demokrasi sebagai ide yang mengandung banyak kecacatan dan kerusakan didalamnya, tetapi bisa eksis bahkan senantiasa diperjuangkan lebih dikarenakan ide ini dipaksakan untuk diterima oleh pengusung demokrasi. Untuk menutupi kubusukannya maka demokrasi akan senantiasa melakukan reinkarnasi- reinkarnasi yang mengesankan bahwa ide ini bisa diterima kapan saja dan oleh siapa saja. Ketika demokrasi dibenturkan dengan sosialisme, maka muncullah gagasan keadilan sosial dan sosialisme negara yang merupakan mix idea yang justru melahirkan ketidak jelasan. Begitu pula untuk menarik umat Islam yang secara diametral bertentangan dengan demokrasi yang beraqidah kedaulatan justru ditangan Allah, maka lewat mulut orang Islam sendiri yang telah teracuni pemikirannya mengatakan bahwa Islam tidak berseberangan dengan demokrasi karena katanya dalam Islam pun mengakui demokrasi dengan adanya musyawarah. Sungguh sangat disayangkan ketika ada umat Islam yang menerima pendapat ini. Musyawarah memang dikenal dalam Islam, begitu pula kejujuran, keadilan, kasih sayang, toleransi, juga ada dalam Islam. Tetapi tentu itu bukan alasan kita mengatakan Islam itu sama dengan demokrasi, atau Islam itu sama dengan agama lain dan ajaran-ajaran yang menawarkan konsep humanis serta moralitas. Sebagaimana kita tidak mau dikatakan sama dengan monyet hanya dikarenakan kita sama-sama punya mata, hidung, telinga, ataukah suka makan pisang. Namun, justru adanya kecenderungan inkonsisten dan ambivalensi seperti ini menjadi bukti kegagalan demokrasi dalam mengatur manusia. Ketika demokrasi selalu ditampilkan dengan wajah keadilan, lalu mengapa penolakan sebagian besar masyarakat terhadap kenaikan BBM yang terbukti sangat tidak logis justru tidak mau digubris demi menyenangkan para kapitalis-kapitalis haus darah? Begitu pula ketika Demokrasi mengusung kebebasan, lalu mengapa ruang gerak kaum muslim untuk menjalankan ibadahnya secara total selalu dibatasi. Karakter yang harus dimunculkan oleh suatu konsepsi yang akan mengatur kehidupan adalah karakter ketegasan dan adanya kemampuan dalam menjawab perkembangan zaman. Sebuah konsep yang benar harus terlahir dari pemaknaan atas manusia dan kehidupan yang telah dirumuskan untuk selamanya. Tidak bersifat temporer dan pragmatis hingga membuat kita sakit kepala karena mudah terombang ambing. Hal ini tidak kemudian didapatkan dalam demokrasi yang senatiasa mengalami metamorfosa (perubahan). Bahkan saat
ini demokrasi hanya dijadikan sebagai alasan yang cantik bagi negara-negara besar (red:Amerika) . Dengan slogan atas nama demokratisasi, mereka melakukan penjajahan kepada negara-negara yang bisa menghambat kepentingannya. Bagaimana Amerika dengan seenaknya menyerang Afganistan dan Iraq yang telah memakan ratusan ribu korban. Belum lagi kasus penyiksaan yang sangat biadab terhadap tawanan Irak. Begitu pula saat kita menengok kedalam negeri dedengkot demokrasi tersebut, maka akan ditemukan adannya perlakuan diskriminasi terhadap rakyat yang berkulit hitam, tingkat kriminalitas yang sangat tinggi (red: bisa dilihat saat terjadi bencana Katrina), kesenjangan sosial yang sangat tinggi (tidak seindah yang sering diberitakan) . Tidak berbeda dinegara-negara pengusung demokrasi yang lain seperti di
Eropa, bagaimana ruang untuk beragama bagi penduduk Islam disana menjadi sempit karena pelarangan memakai jilbab seperti di Franci dan beberapa negara Eropa lainnya. Dibolehkannya kehidupan abnormal, Guy dan Lesbian yang justru dalam dunia binatang tidak kita dapatkan. Penegakan hukum yang jauh dari keadilan, Atas nama demokrasi Palestina yang hanya membela diri disebut teroris, sementara Israel yang terus menerus menggempur Palestina dinamai "membela hak". Lantas dari catatan-catatan tadi, apa yang kita harap dari demokrasi…? Jangan sampai cita-cita menuju masyarakat demokrasi yang senantiasa diagungkan adalah cita-cita kosong dan membual dikarena merupakan ide utopis yang tidak akan pernah terwujud. Marilah kita jujur untuk menilai!!!
Sepertinya kita lupa bahwa yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk manusia dan kehidupan ini adalah zat yang telah berkuasa menciptakan segala sesuatu. Bukan diserahkan pada akal manusia yang terbatas dan hawa nafsu yang kadang tak terkendali. Kehidupan alam semesta dan manusia telah digariskan sebuah aturan yang ketika keluar dari rel yang ada maka akan menimbulkan kekacauan. Aturan itu tidak lain adalah yang disampaikan lewat wahyu dari Tuhan yang terangkum dalam ajaran agama, yang mengalami kesempurnaan setelah datangnya Islam. Saatnya bagi kita untuk mengembalikan peran agama sebagai pengatur kehidupan,bukan doktrin gereja dimasa kegelapan eropa yang hampa akan aturan, tetapi dengan Islam yang paripurna yang menjanjikan cahaya kebenaran.

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity