11/09/08

Gerakan Mahasiswa Kini Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total

Di sini, di antara buruh dan tani, kami generasi yang kalah menemukan
kebenaran dan kekuatannya kembali. Inilah satu-satunya rumah kami. (Emmanuel Lacaba)
SEBAGAIMANA setiap periode kebangkitan sebuah generasi yang melakukan
perubahan di berbagai belahan dunia, selalu lahir karya-karya sastra
yang merupakan ungkapan semangat zamannya. Dan kutipan di atas adalah
petikan dari sebuah puisi seorang penyair dan aktivis mahasiswa
Filipina yang menggambarkan semangat generasi muda negeri tersebut
yang tengah bergelora memperjuangkan demokrasi melawan kediktatoran
Marcos pada dekade 1970-an. Kiranya kutipan tersebut tepat untuk
menggambarkan semangat kaum muda Indonesia saat ini. Perjuangan bagi
transformasi masyarakat hanya bisa terwujud apabila kita berada di
tengah-tengah massa rakyat, hidup dan berjuang bersama mereka.
Dalam sejarah gerakan mahasiswa di dunia, Gerakan Mahasiswa (GM)
'98-yang menjadi embrio GM saat ini-patut mendapatkan acungan jempol.
Gerakan ini tidak hanya bisa memobilisasi jumlah massa yang besar dan
berskala nasional, tapi juga bisa menggulingkan sebuah rezim diktator
yang telah berkuasa hampir 32 tahun.

Dalam hal radikalisasi dan militansi, GM '98 juga bisa mencatat
sejarah baru. Serangkaian demonstrasi yang terjadi mengalami bentrokan
dengan militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus
Universitas Lampung, misalnya, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi
bentrokan antara mahasiswa-yang ingin melanjutkan rally ke luar
kampus- dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2-3 April
bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal
13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer
sampai ke dalam kampus. Hampir delapan jam kampus UGM dikuasai oleh
militer.
Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April,
demonstran melempari anggota militer dengan molotov. Akibatnya, kampus
Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan
Mei, aksi-aksi mahasiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang
selama itu apolitis ikut terlibat dalam aksi. Peristiwa paling tragis
terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti,
Jakarta, empat mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Sementara
pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi
bentrokan di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa
kota lain.
Dalam waktu dua bulan, antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei, Edwad
Aspinal dalam tulisannya, The Indonesia Student Uprising of 1998
mencatat terjadi 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang
terjadi di Jawa, Sumatera, Bali, dan Lombok. Bentrokan ini menunjukkan
sikap tegas mereka terhadap militer. Itulah mereka, GM '98 yang sangat
antimiliterisme dan kediktatoran.

Pembangunan basis massa
Bagaimana GM '98 lahir? Memang ada hal yang menarik tentang kelahiran
GM '98 bila dibanding GM sebelumnya. Sebetulnya, kemunculan GM '98
tidak bisa dilepaskan dari gerakan sebelumnya-gerakan setelah crack
down 27 Juli 1996. Akibat represi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru
setelah "Peristiwa Sabtu Kelabu" tersebut, gerakan 'oposisi'-termasuk
gerakan mahasiswa-tiarap. Situasi mirip tahun 1978 kembali terjadi.
Setelah peristiwa tahun 1978 gerakan mahasiswa melakukan konsolidasi
melalui kelompok diskusi, dan kemudian mengambil strategi 'melingkar'
dengan melakukan pengorganisasian terhadap basis massa rakyat.
Muncullah kemudian serangkaian demonstrasi mahasiswa untuk advokasi
kasus rakyat seperti yang terjadi di Kedung Ombo, Kaca Piring,
Belambuan, Pandega, dan lain-lain. Mereka memang terjun langsung ke
'rumput kering' tersebut untuk 'membakarnya'. Dari 'kawah
candradimuka' tersebut menjadi bekal bagi mereka untuk membangun
organisasi-organisasi mahasiswa baru. Di Surabaya muncul FKMS, FKMY
(Yogyakarta), GM Forsal (Semarang), SEMESTA (Salatiga), KPMB, KPMURI,
KPMB (Bandung), FKMM (Malang).
Sedangkan embrio GM '98 memakai strategi sebaliknya. Mereka berangkat
dari kampus. Artinya, demonstrasi-demonstrasi dimulai dari dalam
kampus dengan mengangkat isu-isu kampus maupun merespons situasi
politik yang berkembang ketika itu. Aktivis mahasiswa yang masih mampu
bertahan-karena sebagian ditangkap, sementara yang lain mengalami
demoralisasi-kemudian membangun komite-komite aksi baru. Mereka mulai
melakukan 'gerilya' dari komite-komite baru ini, baik untuk melakukan
perlawanan maupun rekrutmen kader baru.
Di Yogyakarta misalnya, setelah peristiwa 27 Juli mereka mendirikan
Komite Anti Penindasan Pers (KAPP). Komite ini memprotes ditangkapnya
aktivis Suara Independen dan digerebeknya kantor percetakan media
tersebut. Aksi yang digelar bulan Oktober 1996 ini berakhir dengan
penangkapan Haris Baris Sitorus di halaman Balairung UGM. Masih di
kota yang sama, tanggal 1 April 1997, Komite Perjuangan Demokrasi
Indonesia (KPDI), menyerukan Boikot Pemilu '97. Aksi yang dimulai dari
FISIP UGM ini juga berakhir dengan penangkapan. Pada tanggal 21 Mei
1997, Pusat Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY), menggelar aksi dengan
nama Gema Golput (Gerakan Mahasiswa Golongan Putih).
Sementara di Solo, para aktivis di kota tersebut membentuk Komite
Mahasiswa untuk Keadilan dan Demokrasi (KMKD). Komite ini yang
kemudian menjadi embrio terbentuknya Dewan Reformasi Mahasiswa
Surakarta (DRMS).
Di Semarang, dibentuk Aliansi Mahasiswa Semarang (AMS). Aksi pertama
mereka tepat enam hari setelah peristiwa "27 Juli", memprotes
pemberitaan pers yang dianggap mendukung rezim Orba.
Dari luar Jawa gerakan muncul di Bandarlampung. Persatuan Mahasiswa
dan Pemuda Lampung (PMPL) melakukan pengorganisasian dan aksi massa
untuk memboikot Pemilu 1997. Aksi ini berakibat pada penangkapan tiga
aktivis komite tersebut. Sementara itu aktivis mahasiswa Medan
membentuk Forum Aksi untuk Demokrasi (FAD). Mereka hanya sempat
melakukan diskusi satu kali menjelang Pemilu '97, dan setelah itu para
aktivisnya ditangkapi.
Strategi ini akhirnya membuahkan hasil. Jadi, salah kalau ada analisa
yang mengatakan bahwa peristiwa 27 Juli 1996 menyebabkan gerakan
menjadi mundur dan "terinterupsi". Apa yang terjadi adalah sebaliknya,
munculnya kesadaran baru yaitu kesadaran anti-kediktatoran, baik di
kalangan mahasiswa maupun rakyat-terutama para pendukung Megawati. GM
justru semakin terarah setelah peristiwa tersebut, baik dalam strategi
taktik, maupun isu yang diambil-isu dominan ketika itu adalah
Pencabutan Paket 5 UU Politik dan Pencabutan Dwi Fungsi ABRI-yang
merupakan isu gerakan tahun 90-an.
Dalam pembangunan basis, mereka juga menuai hasil yang memuaskan.
Tepatlah kata-kata Multatuli bagi mereka, "kita bersuka cita bukan
karena padi yang kita potong, kita bersuka cita karena padi yang kita
tanam". Aktivis-aktivis baru bermunculan, komite-komite yang dulunya
tidak permanen, kemudian lebih dipermanenkan. Organisasi baru yang
bermunculan semakin tumbuh dengan subur dengan adanya 'pupuk' krisis
ekonomi yang melanda pertengahan tahun 1997.
Di Bandung misalnya, muncul Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk
Perubahan (GMIP). Di kota ini gerakan setelah peristiwa 27 Juli 1996
dapat dikatakan mati, kemudian mulai bangkit lagi. Aktivis-aktivis
baru mulai muncul dari kampus ITB, Unpad, STT Telkom. Juga di
daerah-daerah lain, organisasi baru bermunculan, KMPPRL (Lampung),
KPRP, SOMMASI, ARMY, FAMPERA (Yogyakarta), DRMS (Solo), FAMPR
(Purwokerto), APR, ASPR (Surabaya), FKMM (Malang), AGRESU, DEMUD
(Medan), FKSMJ, FORKOT, FAMRED, GEMPUR (Jakarta). Mereka inilah yang
tanpa kenal lelah melakukan demonstrasi sampai lengsernya Soeharto.
Bagaimana mereka memperluas basis perlawanan? Setelah masa-masa tahun
1998, ada dua kecenderungan dalam hal pembangunan basis massa.
Kecenderungan pertama, beberapa organisasi mahasiswa tetap melakukan
pengorganisasian di dalam kampus. Konsentrasi mereka adalah menambah
anggota-anggota baru dengan melakukan pendidikan-pendidikan politik.
Banyaknya organisasi yang ada mengharuskan mereka untuk bersaing.
Mahasiswa baru adalah sasaran mereka.
Kecenderungan ini sebagian besar dilakukan organisasi-organisasi
mahasiswa di Jakarta. Dari kelompok-kelompok mahasiswa yang ada,
rata-rata mempunyai basis permanen di kampus tertentu. Misalnya FORKOT
mempunyai basis yang kuat di UKI, FAMRED di STF Driyarkarya dan
Universitas Atmajaya, FKSMJ di UNJ, LMND di UI, UBK dan IISIP.
Walaupun mereka tidak mengorganisir basis rakyat, tapi dalam setiap
aksinya mereka selalu menyebar selebaran yang berisi ajakan kepada
rakyat untuk bergabung.
Kecenderungan kedua, beberapa organisasi mahasiswa-sebagian besar di
daerah-daerah-tidak hanya melakukan pengorganisasian di dalam kampus,
tapi mulai keluar kampus. Anggota-anggota baru yang dihasilkan dari
dalam kampus kemudian ditugaskan untuk mengorganisir basis massa
rakyat-kebanyakan basis buruh dan petani. Mereka sadar perjuangan
mahasiswa tidak akan berhasil kalau tidak melibatkan basis rakyat
lainnya. Rakyat juga harus 'diinjeksi' kesadarannya agar kemudian
bersama bergerak untuk mencapai tujuan bersama. Rata-rata mereka mulai
menyadari perlunya membangun organisasi mahasiswa/pemuda berskala
nasional yang bersentuhan dengan problem rakyat, seperti buruh, petani
dan kaum miskin kota. Bisa disebut di sini yang mengemuka di antaranya
adalah Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dan Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Kedua organisasi di atas merupakan penggabungan dari berbagai organ
mahasiswa di berbagai daerah, yang selama periode kebangkitan GM '98
terlibat aktif dalam penggulingan Soeharto dan penentangan terhadap
Habibie. Mereka sudah mulai membangun format gerakan yang memiliki
program perjuangan yang komprehensif dan terstruktur.
Kecenderungan ini dapat kita lihat dari berbagai aktivitas organisasi
mahasiswa, misalnya DEMUD (Medan) yang menurunkan anggota mereka untuk
mengorganisir petani sehingga melahirkan Gerakan Rakyat untuk Agraria
(GERAG). Mereka juga mengorganisir sopir angkutan kota yang kemudian
berhasil membentuk Keluarga Sopir untuk Reformasi (KESPER), sementara
di buruh mereka membentuk Dewan Buruh Sumatera Utara (DBSU). Di Solo
DRMS mengorganisir buruh dan kemudian membentuk Komite Reformasi Kaum
Buruh (KRKB). KPRP (Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan)
Yogyakarta mengorganisir petani di Minggir, Sleman dan sekitar Lereng
Gunung Merapi. Di Bandung, GMIP mengorganisir buruh di Cimahi, Kopo,
Ujung Berung, Rancaekek. Sementara basis petani mereka di Garut dan
Sumedang. Di Bandung Raya, mereka juga mengorganisir tukang becak,
pedagang kaki lima, dan anak jalanan.
Metode pengorganisasian yang dipakai rata-rata mencari kontak terlebih
dahulu. Setelah itu mengajak diskusi tentang kondisi sosial yang
dikaitkan dengan situasi ekonomi politik nasional terkini. Dari
diskusi-diskusi inilah mereka mulai 'menginjeksi' kesadaran massa
rakyat, dan kemudian mulai melibatkannya dalam aktivitas politik lebih
lanjut-pembagian selebaran sampai aksi massa. Dalam menjelaskan ke
massa rakyat, para aktivis ini sering memakai analisa "kiri". Walaupun
tentu saja varian "kiri"-nya sangat heterogen. Mereka memberikan
gambaran bahwa ketidakadilan, ketimpangan ekonomi, adalah akibat
struktur dan sistem ekonomi yang kapitalistik dan otoriter. Maka,
untuk mengatasi persoalan yang ada harus memperbaiki sistemnya
terlebih dahulu.
Epilog: tuntaskan reformasi total

Dalam sejarah GM di manapun posisi mereka terhadap penguasa selalu
kritis, bahkan tidak jarang kemudian menjadi katalisator bagi
tergulingnya sebuah rezim yang tidak demokratis. Biasanya gerakan
dimulai dengan tuntutan-tuntutan demokratis, seperti tuntutan
kebebasan berorganisasi, kebebasan demonstrasi, mogok, kebebasan pers,
dan lain-lain. Awalnya mereka "menyerang" sistem otoritarian di dalam
kampus, kemudian gerakan bergeser dengan menyerang sistem kapitalisme
militeristik. Mereka sadar bahwa sistem di kampus yang "memenjarakan"
tidak akan berubah tanpa merubah sistem negara yang menindas.
Tumbuhnya kesadaran "ideologis" ini merupakan kunci bagi gerakan
mahasiswa untuk membuka ruang yang telah mengungkung mahasiswa selama
ini. Walaupun harus juga diakui bahwa kesadaran ideologis ini tidak
selalu mengacu pada aliran politik tertentu. Mungkin lebih tepat, jika
dikatakan bahwa gerakan mahasiswa banyak dituntun oleh "ideologi"
radikalisme dan populisme.
Di negara kita posisi GM juga seperti di atas. Mereka mengkritisi
kebijakan pemerintah yang dianggap hanya menguntungkan segelintir
orang. Misalnya, pada tahun 1973, Arief Budiman dan kawan-kawan yang
memprotes pembangunan TMII. Pembangunan ini menurut kelompok Arief
Budiman tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Bagi mereka ini hanya
merupakan proyek ambisius belaka. Akibat "pembangkangan" ini, Arief
Budiman dijebloskan ke dalam bui oleh rezim Orba. Kemudian, pada bulan
Oktober 1973 para mahasiswa mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR
menyampaikan "Petisi 24 Oktober". Isi petisi ini mengkritisi kebijakan
pembangunan yang dianggap tidak populis, kebijakan pembangunan yang
dijalankan pemerintah hanya menguntungkan yang kaya. Begitu juga
dengan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974 yang
memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Dan akhirnya, gerakan
pun berhasil melengserkan penguasa Orde Baru yang dipelopori GM '98.
Posisi seperti di atas masih berlaku hingga saat ini. GM telah
berhasil memulai proses reformasi total, namun dalam perjalanannya
proses ini tersendat-sendat hingga kini. Maka, sudah menjadi keharusan
sejarah GM harus menuntaskan reformasi total tersebut. Dan memang, GM
yang ada saat ini tetap konsisten untuk menuntaskan agenda reformasi
total. Aksi-aksi terakhir menunjukkan konsistensi mereka. Pada tanggal
28 September 2000, setelah Soeharto dinyatakan bebas oleh pengadilan
Jakarta Selatan, ribuan mahasiswa menyerbu Jalan Cendana, dan aksi ini
berakhir dengan terjadinya bentrokan dengan militer. Sepanjang bulan
Oktober 2000 tercatat 31 aksi mahasiswa dengan dua isu utama penolakan
kenaikan harga BBM dan pengadilan Soeharto.
Ada dua persoalan pokok yang menjadi sebab reformasi total tidak bisa
segera dituntaskan. Pertama, masih dominannya sisa-sisa kekuatan Orde
Baru-baik di birokrasi, parlemen maupun di tubuh militer sendiri.
Mereka ini-sisa-sisa Orde Baru-terus-menerus melakukan manuver politik
agar dosa-dosa mereka tidak pernah terbongkar dan bisa mempertahankan
status quo. Akibatnya, agenda-agenda utama dari reformasi total
seperti pengadilan mantan Presiden Soeharto, pencabutan Dwi Fungsi
TNI, pemberantasan KKN, terus terganjal.
Kedua, usaha-usaha untuk menuntaskan reformasi total sering diganjal
oleh kaum reformis gadungan. Mereka ini yang mengaku reformis, tetapi
sering 'memancing di air keruh' untuk kepentingan politik golongannya,
bahkan mereka kadang bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru. Bisa kita
ambil contoh tentang usulan Presiden Abdurrahman Wahid tentang
pencabutan Tap MPRS No XXV/ MPRS/1966, kemudian mereka manipulasi
untuk mengobarkan isu-isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Mereka ini juga sangat akomodatif terhadap Dwifungsi TNI dan tidak
tegas terhadap penghancuran sisa-sisa Orde Baru.
Akhirnya, memang tidak ada gading yang tak retak. Begitu juga dengan
GM saat ini. Kendala yang terakhir adalah kelemahan subyektif gerakan
itu sendiri. Yaitu platform yang beragam dari berbagai organ GM belum
bisa saling dipertemukan. Sehingga, strategi/taktik bersama untuk
merespons perkembangan ekonomi politik pasca kediktatoran Soeharto
belum berhasil dirumuskan. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya
problem eksistensialisme dari masing-masing organ pergerakan yang
ada-walaupun tidak sekuat gerakan sebelumnya.
Melihat situasi di atas, organ-organ GM harus berani membuka diri satu
sama lain, sembari juga mengajak organ-organ gerakan sosial lainnya
yang memiliki visi yang sama bagi penuntasan reformasi total. Hanya
dengan demikianlah organ-organ pergerakan bisa solid. Sehingga, daya
dorong kepada pemerintah saat ini agar penghalang-penghalang tersebut
di atas bisa 'dibersihkan' semakin kuat, untuk kemudian menuntaskan
reformasi total yang 'terinterupsi'. Jika hal tersebut bisa dicapai
maka tak ada alasan lagi bagi pemerintahan Gus Dur untuk melakukan
'politik dagang sapi' dan konsesi-konsesi dengan kekuatan status quo.
Akhirnya, hanya ada dua pilihan bagi pemerintahan Gus Dur saat ini:
menuntaskan reformasi total bersama gerakan mahasiswa dan rakyat, atau
turun!

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity