30/09/08

Idul Fitri, Moralitas, dan Spiritualitas

Selasa, 30 September 2008 | 00:37 WIB
Puasa Ramadhan selama sebulan merupakan pelatihan diri yang amat positif. Hal ini terkait tuntunan untuk selalu meningkatkan kesadaran individual yang bersifat mental dan spiritual.
Dengan penguatan aspek kedirian itu, akan dicapai keberagamaan yang ideal, seimbang antara ritual dan spiritual. Modal keseimbangan akan berarti bagi pembangunan kultur bangsa.
Banyak orang menyebut abad ke-21 sebagai ”abad spiritualitas”. Meski terdengar sloganistis, penyebutan itu merefleksikan kecenderungan global yang ditandai pesatnya perhatian terhadap dunia mistik-spiritual. Wacana spiritualitas telah diperkenalkan sebagai cara baru dalam menumbuhkan penghayatan agama dan pada gilirannya memahami kenyataan secara menyeluruh dan mendalam. Dalam tingkatan tertentu, tren spiritualitas telah dikemas menjadi komoditas yang ditawarkan melalui iklan.

Kebangkitan spiritualisme itu bisa saja disebut perubahan revolusioner menuju ”zaman baru” (New Age), semacam harapan untuk meninggalkan ”zaman lampau yang penuh kegelapan”. Semua ini karena berbagai temuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggiring manusia ke jurang krisis kemanusiaan yang menyengsarakan
Standar moral
Kata moral sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata krama, etiket, dan sebagainya. Dalam kosakata bahasa Arab, istilah itu sering disebut al-akhlaq atau al-adab. Al-akhlaq adalah bentuk jamak dari al-khuluq, artinya budi pekerti atau moralitas. Kata itu semula diproyeksikan sebagai sandingan kata al-khalq, berarti ciptaan.
Meskipun berasal dari akar kata sama (kha-la-qa), kedua istilah itu memiliki arti yang bersifat immateri dan permanen, sedangkan al-khalq sebagai partner keberadaan manusia yang bersifat materi, bisa dilihat, kasat mata, dan sementara. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Meniadakan salah satu berarti memudarkan jati diri manusia. Karena itu, manusia sejati (insan kamil) adalah pengungkapan ahsan taqwim, ciptaan Tuhan yang terbaik, yang baru terwujud jika antara al-khuluq memiliki irama dan ritme yang selaras dengan al-khalq.
Pengertian akhlak yang esensial itu merujuk sifat-sifat eksistensial yang melekat diri manusia. Manusia adalah tubuh dan jiwa yang menyatu sehingga manusia bisa hidup, bernapas, bergerak, berpikir, dan merenung.
Karena itu, dalam proses bertindak, manusia harus selaras dengan penciptaan yang telah dititahkan Tuhan. Maka, berakhlak baik (akhlaq al-karimah) berarti bersesuaikan langkah dengan hakikat penciptaan. Sebaliknya, berakhlak buruk (akhlaq al-madzmumah) berarti melanggar kehakikian penciptaan atau menerabas batas hukum Tuhan (sunnatullah). Jelasnya, berakhlak adalah keselarasan dengan hakikat penciptaan ilahiyah. Berakhlak adalah berseturut fitrah manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang baik.
Alam dan isinya adalah anugerah Tuhan kepada manusia. Manusia diberi potensi mengolah dan menata alam secara kreatif, produktif, konstruktif, dan humanis. Dalam mengelola alam diperlukan tindakan moral yang baik agar tidak terjadi pembelokan dan perusakan yang menyengsarakan.
Dalam konteks moral, agama memberi petunjuk praktis dalam menyempurnakan moralitas manusia. Dalam diri manusia tersimpuh dorongan baik dan buruk (al-ba’its al-din wa al-ba’its al- syaithan). Agama tidak menyangkal, manusia dengan akalnya mampu membedakan antara baik (al-haq) dan buruk (al-bathil). Namun, agama mewartakan, hanya dengan akal manusia tidak akan mampu menangkap hakikat moralitas. Sebab, akal mudah terbelokkan oleh unsur lain dalam diri manusia, terutama apa yang disebut nafsu (syahwathiyah). Masalah moral boleh dikatakan amat lembut, sering meremangkan pandangan manusia.
Agama mengajarkan untuk selalu bersikap ramah kepada sesama, bersedekah, saling membantu (ta’awun) sehingga terbentuk kohesi dan solidaritas sosial (hablum min al-nas). Ini adalah ajaran moral standar yang secara ’aqliyah maupun naqliyah diterima. Islam menjunjung perenungan rasional (ta’aqqul, tadabbur, I’tibar), karena dengan itu manusia bisa merengkuh pemahaman secara baik.
Menuju spiritualitas
Dalam sejarah Islam, kita mengenal figur Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Farabi atau al-Ghazali yang menunjukkan bagaimana mereka menuntut ilmu dan menanamkan dimensi keagamaan dalam dirinya. Mereka tampil sebagai manusia komplet dalam memahami dan mempraktikkan ajaran agama. Akhlak, ketaatan syariah, intelektualitas, dan spiritualitas merasuk pada diri dan intensional.
Walhasil, puasa dan Idul Fitri kali ini dapat menjadi panjatan refleksi ulang untuk membangun cara dan pendekatan yang jitu. Bangkitnya intelektualitas, kesadaran keagamaan, serta spiritualitas dewasa ini bisa menjadi momentum untuk lebih menguatkan penanaman keagamaan.
Pergumulan terhadap dunia modern dengan segala kembangnya ini bukan lagi menjadi penghalang (mawani’), tetapi justru menjadi kesadaran baru untuk lebih menggiatkan kerja mulia demi membangun mentalitas, intelektualitas, dan spiritualitas bangsa sehingga mampu memberi warna ideal bagi pembangunan bangsa.
Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity