11/09/08

Kritik Atas Non Argumentatifnya Keberadaan Tuhan

Salah satu yang menjadi keraguan dan kebimbangan klasik umat menusia serta banyak menyita energi berfikir mereka adalah persoalan kemungkinan dan kemustahilan makrifat dan pengenalan Tuhan. Sebelum mendeskripsikan pembahsan ini, sebaiknya kami mengisyaratkan terlebih dahulu hakikat ilmu dan proses perolehan ilmu (epistemologi) sehingga kedudukan dan substansi makrifat Tuhan dan sisi-sisi yang berkaitan dengannya menjadi rasional.
Pada hakikatnya akal manusia memiliki keterbatasan, akal tidak terlepas dari kekurangan dan hijab materi serta hijab rohani (nafsâni). Asumsi tentang akal ini, melahirkan persoalan tentang pengenalan dan pengetahuan manusia tentang Tuhan yang merupakan wujud tak terbatas dan non-materi. Di samping itu, wujud Tuhan tidak menyerupai satupun individu atau makhluk yang meliputi seluruh kesempurnaan-Nya yang tak terbatas baik yang terkonsepsi maupun yang tak terdefenisikan. Dari perspektif ini, mustahil manusia mengetahui dan memakrifati hakikat dzat ahadiyah[1] Tuhan.
Adapun pengenalan Tuhan pada maqam nama-nama (asmâ) dan sifat-sifat Tuhan dapat dilakukan lewat pengenalan perbuatan-perbuatan-Nya (af'âl), tapi ilmu dan makrifat setiap manusia tentang-Nya pada tingkatan ini berbeda-beda kualitasnya.
Kesimpulan dari uraian di atas adalah manusia mustahil meraih gambaran dan makrifat tentang hakikat dzat Tuhan dengan metode dan dalil apapun, yang mungkin adalah mengenal Tuhan lewat sifat-sifat dan asmâ Tuhan. Sebagai contoh, argumen imkân dan wujûb dan burhan shiddiqin yang menetapkan dan menegaskan eksistensi Wâjib al-Wujûd, burhan huduts yang menetapkan pencipta (khaliq), burhan keteraturan yang menetapkan pengatur segala alam, dan burhan gerak yang menetapkan penggerak awal yang tak memiliki gerak. Kendatipun keabsahan sebagian burhan-burhan ini membutuhkan dalil penguat yang lain.


Ketakurgenan Dalil Eksistensi Tuhan
Pada penjelasan-penjelasan berikutnya akan diungkapkan bahwa keyakinan kepada Tuhan merupakan keyakinan fitrah bagi semua manusia. Setiap manusia, dengan melakukan perenungan dan kontemplasi mendalam tentang hakikat dirinya, akan menyadari bahwa hakikat wujudnya membutuhkan dan bergantung mutlak kepada wujud yang maha sempurna. Kesadaran akan kebergantungan hakiki ini akan melahirkan kepercayaan terhadap kemutlakan dan kesempurnaan eksistensi Tuhan. Muncul pertanyaan, apakah keyakinan tentang wujud Tuhan yang bersifat fitrah dan aksioma (badihi) itu membutuhkan lagi burhan dan argumentasi rasional-filosofis?
Menurut para teolog dan filosof mutaallihîn (transenden), keyakinan terhadap eksistensi Tuhan yang bersifat syuhud[2], fitrah, dan badihi tersebut tidak lagi membutuhan argumentasi logikal dan filosofis. Dengan kata lain, wujud mutlak Tuhan tidak perlu dalil dan burhan, tetapi menegaskan eksistensi Tuhan - bagi orang-orang yang bodoh, skeptis, dan ateis yang karena faktor-faktor eksternal tidak mendapatkan keyakinan terhadap Tuhan dan agama, adalah perkara yang sangat penting dan urgen.

Kemungkinan Penegasan Tuhan

Setelah dijelaskan tentang kemungkinan pengetahuan dan pengenalan Tuhan, lebih tepatnya, kemungkinan pengetahuan asmâ dan sifat-sifat Tuhan, di bawah ini akan disebutkan tiga hal mengenai kemungkinan pembuktian dan penegasan eksistensi Tuhan secara rasional:

 Argumen pembuktian eksistensi Tuhan telah ditetapkan sebagai dalil yang kokoh dan memiliki kebenaran rasional.
 Eksistensi Tuhan dapat dibuktikan secara argumentatif. Pandangan ini mengklaim bahwa argumen-argumen yang dikonstruksi oleh Para mutaallihin (teolog dan filosof ketuhanan) secara logikal tidak mengharuskan pembuktian terhadap Tuhan. Dari sisi lain, eksistensi Tuhan juga tidak dapat dinegasikan, oleh karena itu, tetap ada kemungkinan pembuktian eksistensi-Nya secara rasional dan kemungkinan ini bisa terwujud di masa akan datang dengan bangunan argumen yang sangat rasional. Pandangan ini diterima sebagian filosof Barat dan sebagian pemikir-pemikir lainnya, mereka ini mengklaim bahwa kita belum sampai pada tataran rasionalitas, tetapi pembahasan kita baru pada tingkatan bahwa hal-hal tersebut memungkinkan secara rasional (akal)[3], mereka juga mengklaim bahwa kaidah-kaidah rasional teologi klasik dan filsafat tetang pengenalan Tuhan belum valid[4].
 Merupakan suatu yang jelas bahwa kritik terhadap dalil-dalil pembuktian Tuhan tidak sama dengan menafikan Tuhan itu sendiri, karena mungkin saja suatu teori dan pernyataan tertentu adalah benar dan sesuai dengan realitas, tapi pendukung dan pengikut teori itu tidak bisa mengungkapkan argumen yang kokoh dan tan-kritikan. Dari sisi ini, argumen tentang Tuhan itu memang sarat kritikan, namun tidak berarti bahwa klaim dan statemennya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Berdasarkan ini, jika diasumsikan bahwa argumen-argumen tentang pembuktian Tuhan memiliki kekurangan, tidak kokoh, tidak rasional, dan sasaran kritik kaum ateis, maka kita jangan berkonklusi bahwa eksistensi Tuhan tidak ada. Semua itu hanyalah kritikan-kritikan,keraguan-keraguan, dan sanggahan-sanggahan terhadap argumen penetapan Tuhan, dan bukan suatu dalil dan argumen pembuktian tentang ketiadaan eksistensi Tuhan. Untuk membuktikan ketiadaan wujud Tuhan, mereka harus mengungkapkan suatu argumen yang kokoh dan tak goyah dengan sanggahan dan kritikan, dan hal ini belumlah terwujud sampai sekarang ini.
 Pandangan ketiga adalah bahwa eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan segala bentuk dalil dan argumen. Adalah mustahil membangun burhan logikal,rasional, dan filosifis untuk membuktikan keberadaan Tuhan, jalan penetapan akal bagi wujud Tuhan adalah tertutup dan mangalami jalan buntu. Tuhan tidak dapat diketahui dengan jalan akal, tapi hanya dengan jalan fitrah dan pensucian hati dan kalbu. Mirza Ogho Kermâni dalam hal ini berkata, "Wujud dzat Tuhan tidak dapat ditetapkan dengan burhan akal dan keyakinan terhadap-Nya harus kosong dari segala bentuk pertanyaan"[5]. Di antara filosof Barat yang menerima pandangan ini adalah Immanuel Kant. Ia terpengaruh dengan aliran filsafat empirisisme Hume, maka dari itu ia mengingkari dalil dan burhan rasional mengenai penetapan Tuhan dan memandang bahwa hanya dengan pendekatan akhlak praktis – seperti pensucian jiwa, syuhud, wijdan - eksistensi Tuhan dapat diterima.
 Pandangan keempat datang dari kaum ateis, mereka ini mengklaim bahwa Tuhan mustahil ditetapkan keberadaan-Nya, baik itu secara rasional, logikal, dan cara yang lain, karena secara hakiki wujud Tuhan tidak ada. Tuhan tak berwujud dari dulu, sekarang, dan akan datang.
Kaum ateis ini, untuk membuktikan klaimnya mereka harus mengkonstruksi dalil yang membuktikan bahwa wujud Tuhan atau pemahaman tentang Tuhan adalah suatu yang kontradiksi dan paradoks, tetapi sampai saat ini mereka belum mampu merumuskan ketakrasionalan wujud Tuhan. Klaim mereka hanyalah asumsi dan perkiraan belaka. Filosof tersohor ateis, Betrand Russel mengaku akan hal tersebut. Russel, dalam menjawab pertanyaan Wait apakah Anda yakin bahwa sesuatu yang disebut sebagai Tuhan itu tidak ada, berkata, "Saya tidak dapat memikirkan secara pasti bahwa sesuatu sebagai Tuhan itu benar-benat tidak ada. Saya tidak bisa membuktikan jika sesuatu itu sama sekali tidak ada."

Para Penentang Argumen Filsafat

Kaum Lahiriah
Kelompok ini muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah dimana ahli hadits dan secara khusus Ahmad bin Hanbal mencukupkan diri dengan aspek lahiriah ayat al-Qur’an dan hadits serta melarang setiap bentuk pertanyaan dan penelitian yang bernuansa rasionalitas terhadap doktrin-doktrin agama, mereka bahkan memandang bahwa rasionalisasi ajaran-ajaran suci agama merupakan bid'ah.
Sebagai contoh, seorang bertanya kepada Malik bin Anas tentang makna ayat "Yang Maha Rahman bersemayam di atas arsy ", ia menjawab, “Bagaimana Dia bersemayam di atas arsy tidak diketahui dan pertanyaan seperti ini adalah bid'ah”. Malik segera memerintahkan si penanya itu dikeluarkan dari majlis.[7]
Ibnu Taimiyah (wafat 726 H) merupakan pendahulu mazhab lahiriah ini dan secara sengit menetang argumen-argumen rasional. Ia menganggap filosof sebagai makhluk paling jahil tentang Tuhan dan mengklaim bahwa metode argumentasi al-Qur'an dan para Nabi atas Tuhan adalah dengan mengingatkan tanda-tanda alam, bukan dengan burhan rasional dan logikal. Ia menegaskan bahwa pembuktian Tuhan lewat tanda-tanda alam sangat berbeda dengan argumenasi akal.

Pengikut Empirisisme
Sebagian pecinta ilmu-ilmu empiris dan alam berkeyakinan bahwa pengetahuan hakiki tentang ketuhanan hanya diperoleh dengan mengkaji dan meneliti alam, pendekatan empirisme, dan penginderaan lahiriah. Argumen akal dan filsafat murni merupakan komprehensi dan gagasan abstrak yang tidak dapat menyampaikan manusia pada pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Mereka yakin bahwa keimanan ilmuwan empirik - yang karena memiliki banyak informasi tentang rahasia-rahasia dan keterarturan alam, lebih tinggi ketimbang keimanan para fakih dan filosof.
Para pemikir kontemporer, yang karena pengaruh filsafat empirisme Barat, hanya mengenal tiga sumber pengetahuan dan makrifat, yaitu: pengalaman internal, sejarah dan alam natural. Oleh karena itu, mereka melancarkan penentangan terhadap filsafat Yunani dan Islam. Dalil penentangan mereka tidak lain adalah karena filsafat hanya menggunakan akal murni dan komprehensi-komprehensi abstrak serta melupakan perkara-perkara inderawi dan empirisitas. Mereka menyebutkan bahwa pada dasarnya sumber pengetahuan manusia hanyalah pengalaman internal, tapi kemudian al-Qur'an menambah dua sumber pengetahuan yang lain yaitu sejarah dan alam natural. Dengan melakukan observasi dan penelitian terhadap dua sumber pengetahuan ini, maka jiwa akan menjadi bercahaya dan meraih pengetahuan hakiki[9]. Perlu dikatakan bahwa mereka juga mengisyaratkan tentang burhan akal, tapi yang dimaksudkannya adalah penggunaan akal induksi, hal ini sebenarnya menjelaskan posisi panca indera dan empirisme dalam kerangka akal.
Berkaitan dengan ketakharmonisan Islam (al-Qur'an) dan filsafat, Hamu berkata, "Substansi al-Qur'an secara mendasar bertentangan dengan filsafat Yunani. Esensi al-Qur'an berkaitan dengan perkara-perkara yang nyata, sedangkan filsafat Yunani hanya berhubungan dengan hal-hal teoritis dan jauh dari persoalan-persoalan yang riil."
Bâzargâni di Iran, Ikhwan as-shafâ, sayid Qutub, Muhammad Qutub, Abul Hasan Nadwi, dan Farid wajdi di Mesir adalah para pendukung pandangan tersebut. Pada awal kesebelas Hijriah, Mulla Shadra menggolongkan sebagian ulama hadits dan mufassir sebagai pengikut-pengikut Hanbali yang pandangan mereka hanya terbatas pada benda-benda materi dan meninggalkan kedalaman makna dari doktrin agama.

Maktab Gnosis
Dua aliran sebelumnya cenderung mengkaji dan meneliti fenomena-fenomena alam natural guna memakrifati dan meyakini eksistensi Tuhan. Adapun aliran ini tidak melakukan pengkajian empirik dan analisa akal, mereka ini mengklaim bahwa makrifat hakiki tentang Tuhan mustahil diraih dari komprehensi-komprehensi rasional dan pengkajian perkara-perkara inderawi, tetapi harus dengan pendekatan kalbu, pensucian jiwa, dan mukasyafah batiniah. Metode seperti ini lazimnya disebut dengan pengalaman keagamaan (religious experience).
Sebagian urafa merendahkan akal dan argumentasi rasional, mereka memandang bahwa rasionalitas dan dalil akal adalah tidak urgen dalam masalah-masalah metafisika. Mereka mengkhususkan kerja akal terbatas pada alam natural.
Ainul Qudhâh Hamadâni dalam hal ini berkata, "Saya tidak mengingkari bahwa akal diciptakan untuk memecahkan masalah-masalah penting dan sulit, tetapi saya tidak setuju dengan klaimnya yang telah melampaui batas dari hakikat ciptaannya dan telah keluar dari tingkatan alaminya."[14]

Analisa Pandangan Urafa
Mayoritas para urafa memandang bahwa jalan syuhud dan pensucian jiwa merupakan jalan yang terbaiknya untuk mengenal dan memakrifati Tuhan, jalan ini bukanlah satu-satunya jalan. Mereka menempatkan rasionalitas dan argumentasi akal sebagai mukadimah bagi jalan syuhud irfani dan pensucian jiwa, misalnya Ibnu Fâridh mengingatkan para ârif agar tidak mencukupkan diri dengan ilmu-ilmu naqli (al-Qur’an dan hadits) dan lalai dari ilmu-ilmu akal[15]. Ibnu Turkah, salah seorang ârif, memposisikan ilmu-ilmu berpikir dan argumentasi rasional seperti ilmu logika bagi seorang pencari hakikat dalam irfan (tasawuf).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa jalan syuhud irfani dan tasawuf tidak untuk semua manusia, jalan ini hanya ditapaki oleh orang-orang tertentu. Oleh karena itu, orang-orang yang tidak melewati jalan itu harus menggunakan jalan-jalan lain untuk memakrifati Tuhan seperti pengkajian alam natural bagi kebanyakan manusia atau jalan argumentasi rasional bagi yang mempunyai kemampuan akal di atas standar. Pada hakikatnya, banyaknya jalan makrifat kepada Tuhan merupakan suatu karunia tersendiri bagi hamba-hamba-Nya, keilmuan dan keimanan kepada Tuhan yang mereka capai sesuai dengan potensi dan kemampuan yang berbeda.

Argumen Para Penentang
Para penentang argumentasi rasional dan filsafat dalam penetapan Tuhan berpegang juga pada dalil akal dan hadits untuk membuktikan klaimnya, argumen mereka antara lain:

Dalil Pertama: Kesalahan Makrifat Akal
Salah satu dalil yang menyebabkan mereka tidak menerima argumen filsafat dalam penetapan Tuhan adalah karena ilmu-ilmu rasional memiliki kemungkinan salah khususnya dalam masalah pembuktian wujud metafisika seperti Tuhan. Mareka kemudian menunjukkan kesalahan dan kritik-kritik atas burhan akal tentang makrifat ketuhanan, yang konklusinya menolak metode pembuktian akal terhadap wujud Tuhan. Ikbal Lahore berkata, "Kristalisasi terjadi pada gerak pikiran dalam melakukan pencarian mutlak. Semua itu terlihat seperti burhan-burhan yang logis, terdapat ketakutan jika mereka berada dalam medan-kritikan."
Maulana Jalaluddin Rumi juga mengungkapkan hal ini dalam syairnya:
"Kaki argumen akal adalah kayu Kaki kayu sangatlah rapuh"

Jawaban Kritikan
 Kebenaran makrifat akal telah ditetapkan dalam pembahasan efistemologi. Manusia dengan potensi akalnya mampu menjangkau pengetahuan metafisika dalam bentuk universal.
 Murtadha Muthahari berkata, "Makrifat teologi dan masalah masalah yang berkaitan dengannya hanya dicapai dengan akal dan rasionalitas. Dan kebenaran pengetahuan ilmiah seperti psikologi, biologi, dan ilmu lainnya itu hanya dapat ditetapkan pula dengan metode rasionalitas dan akal (filsafat). Sangat keliru bila dikatakan bahwa pengkajian dan observasi pada alam natural saja membuat kita tak butuh lagi pada jalan-jalan sulit, pelik dan filosofis."[18]
 Adanya kesalahan partikular dalam makrifat akal adalah hal yang tidak bisa diingkari, namun klaim ini tidak menyebabkan bahwa kebenaran makrifat akal dinegasikan secara mutlak, karena tidak ada keraguan bahwa sebagian makrifat-makrifat akal adalah aksioma, badihi, dan argumentatif. Sebagai contoh, argumentasi filsafat yang akurat dan kokoh tentang pembuktian alam non-materi dan ketakterbatasan wujud pada alam materi saja. Dapat dikatakan bahwa kesalahan yang terdapat pada makrifat inderawi tidak lebih besar daripada yang ada pada makrifat akal. Pondasi ilmu-ilmu empiris yang dibangun di atas konklusi eksprimental pada dasarnya menerima asumsi dan kemungkinan kesalahan, prinsip ini telah ditetapkan oleh seorang filosof empiris Karl Poper pada abad 20.
 Para penentang argumentasi akal dan filsafat dalam membatalkannya juga menggunakan argumentasi akal itu sendiri, sebagai contoh, pada syair Jalaluddin Rumi yang tersususun dari satu premis minor[20] dan satu premis mayor[21]. Maka dari itu, jika argumentasi akal adalah valid dan benar, maka niscaya kebenaran dan keabsahannya bersifat menyeluruh. Apabila argumentasi akal tidak benar dan tidak valid, maka argumentasi akal para penetang itu juga tidak benar dan tertolak.

Dalil Kedua: Menolak Dalil eksistensi Tuhan karena Ketiadaan Mahiyah Tuhan

Sebagian meragukan pondasi bangunan burhan eksistensi Tuhan dengan alasan bahwa Tuhan tidak mempunyai mahiyah dan juga tidak menerima aksiden. Dari sisi bahwa burhan dan argumen terbentuk dari genus, diferensial, dan aksiden, maka apa saja yang dipredikasikan atas Tuhan, seperti wujud (ada)[22], tidak dapat diargumentasikan. Maka dari itu, pembuktian wujud Tuhan tidak bisa dihadirkan dalam bentuk argumen. Ibnu Sina berkata, "Sesungguhnya Tuhan tidak mempunyai genus dan differensia… dan pada hakikatnya Dia tidak mempunyai batasan, defenisi. Argumen dan burhan tidak berlaku atas-Nya."[23]

Sanggahan Kant
Kritikan ini lebih banyak ditemukan dalam pemikiran teologi Barat. Kant, dalam kritikannya atas burhan ontologi Anslem, mengklaim bahwa dalam proposisi “Tuhan ada”, dimana “ada” dalam hal ini bukan predikat, karena tidak menambah pada subyek. Proposisi itu juga bukan proposisi analitik, karena tidak mengafirmasikan sesuatu. Hakikat proposisi tersebut tidak lain adalah suatu bentuk yang sangat sederhana, dalam ilmu logika disebut haliyyah al-basithah (simple "whether-ness"), karenaya tidak tergolong sebagai proposisi.[24]

Jawaban Sanggahan
1. Suatu burhan harus sesuai dengan kriteria ilmu logika dan filsafat, silogisme burhan mesti tersusun dari proposisi-proposisi yang diyakini kebenarannya (qadiyah yaqiniyyâh) untuk memperoleh konklusi yang benar juga[25]. Burhan seperti ini memiliki enam bentuk, antara lain:
1. Proposisi universal yang bersifat aksioma dan swa-jelas (badihi) yang disebut qadiyah awwaliyyâh.
2. Proposisi yang bersifat fitrah yang disebut qadiyah fitriyyâh 3. Proposisi yang diperoleh dengan jalan penyaksian yang disebut qadiyah musyâhadâh.
3. Proposisi yang diperoleh dari pengalaman yang disebut qadiyah mujarrabât.
4. Proposisi yang terbentuk dari perkiraan kuat yang disebut qadiyah hadsiyyâh.
5. Dan proposisi yang diperolah dari hal-hal diyakini manusia yang disebut qadiyah mutawâtirâh.

Dalam proposisi "Tuhan ada" merupakan bentuk dari qadiyah awwaliyyâh atau fitriyyâh. Pada bentuk proposisi ini, manusia dengan hanya mengkonsepsi pengertian wujud dan pembagiannya pada Wâjib al-Wujûd dan mumkin al-wujûd akan memperoleh ilmu tentang wujud Tuhan, atau dengan sekedar merujuk pada kesucian hati nurani akan menemukan suatu kesadaraan akan wujud Tuhan. Dengan demikian, mengembalikan proposisi "Tuhan ada" kepada proposisi awwaliyyâh atau fitriyyâh merupakan suatu burhan dan argumen itu sendiri, maka dari itu, proposisi tersebut tidak bisa disebut sebagai proposisi yang tidak dapat diargumentasikan.

2. Kant mengklaim bahwa proposisi "Tuhan ada" adalah bukan proposisi dan tidak bermakna, mengenai kritikan ini dijawab bahwa syarat proposisi adalah memberi makna, karena proposisi itu sendiri, sebelum disampaikan kepada orang lain, terdapat di dalam pikiran pembicara yang disebut dengan proposisi mental (qadhiyah dzihniyyah, mental proposition). Ada bagian dari proposisi itu yang tidak diketahui oleh lawan bicara, dengan demikian memahami bagian yang tak diketahui itu bagi lawan bicara merupakan sesuatu yang sangat bermakna. Maka dari itu, proposisi seperti "Tuhan ada" atau "Tuhan adalah maujud", merupakan proposisi predikasi yang mendasar dan bermakna (qadiyah hamliyah awwaliyah, primary predication proposition).

3. Dalam filsafat dikatakan bahwa kandungan makna proposisi yang predikatnya adalah wujud, pada dasarnya merupakan predikasi yang terbalik ('aks al-haml) yakni predikat proposisi adalah subyek proposisi dan subyek proposisi menjadi predikat proposisi. Sebagai contoh, proposisi “sebab ada” menjadi “ada sebab” atau proposisi “Tuhan ada” menjadi “ada Tuhan”. Pada proposisi “Tuhan ada”, kendatipun keadaannya sebagai proposisi sederhana (qadiyah basithah) dan analitik, tapi ia memberikan makna bagi lawan bicara. Makna hakikinya adalah wujud hakiki hanya Tuhan dan wujud-wujud lain merupakan pancaran dan manifestasi wujud-Nya.

Dalil Ketiga: Penetapan Tuhan dalam semua Agama bukan dengan Metode Filsafat

Dalil lain dari para penentang argumen filsafat adalah bahwa akal dan filsafat menetapkan suatu wujud yang dinamakan Wâjib al-Wujûd, Sebab Pertama, dan Penggerak Pertama, tapi semua itu bukan Allah dan Tuhannya semua agama yang merupakan suatu wujud khusus dengan sifat-sifat yang sempurna; akan tetapi Tuhan filsafat merupakan suatu wujud universal dan umum serta tidak sama dengan sifat-sifat Tuhan dari agama-agama.
Hal di atas juga diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah pada abad kedelapan Hijriah kepada filosof dan mengklaim bahwa burhan yang hanya menetapkan sesuatu yang universal dan rasional niscaya tidak memiliki individu di alam luar, oleh karena itu sama sekali tidak menetapkan eksistensi Tuhan. Jika Wâjib al-Wujûd hanya merupakan perkara universal yang ada di alam pikiran, maka Dia tidak dapat dikatakan sebagai individu, karena sesuatu disebut individu bila memiliki aktualitas di alam eksternal. Disamping itu, wujud Tuhan yang aktual di alam luar adalah wujud yang partikular (bukan wujud universal yang bisa memiliki banyak individu), yakni wujud Tuhan yang tidak memiliki banyak individu.
Sebagian pemikir lain mengungkapkan perbedaan hakiki antara “Tuhan filsafat” dan “Tuhan gnosis (irfan)” dan berkeyakinan bahwa “Tuhan irfan” bukanlah “Tuhan filsafat”. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan metode epistimologi antara filsafat dan irfan. Argumentasi filsafat tidak mampu menetapkan “Tuhan irfan” yang secara prinsipil tidak berada dalam koridor alam pikiran. Kedua konsep ini saling bertentangan dan persamaan di antara keduanya hanya pada tataran harfiah saja.
Keraguan ini juga berkembang di antara ahli teologi Masehi. Sebagai contoh ditemukan ungkapan Pascal yang berbunyi: Tuhan Ibrahim, Tuhan Ishak, Tuhan Ya'qub, bukanlah Tuhan filosof dan Tuhan cendikiawan. Keyakinan, kondisi hati, kegembiraan, bahagia, ketenangan, dan lain-lain hanya dapat diperoleh lewat pengajaran Kitab Injil.

Solusi atas Kritikan
Sebenarnya komparasi Wâjib al-Wujûd (Tuhan dalam istilah filsafat) dengan Tuhan dalam agama-agama yang dilakukan oleh sebagian teolog dalam sepanjang sejarah adalah tanpa dalil pembuktian. Karena hal ini telah terlontar, maka mesti diberikan jalan pemecahan. Dibawah ini akan disebutkan dua solusi atas permasalahan tersebut:

1. Pemecahan Analitik dan Komparatif
Dalam metode ini, pertama dilakukan identifikasi sifat-sifat Tuhan dalam semua agama dengan jalan merujuk kepada teks-teks suci agama. Dalam pembahasan ini, kita mengidentifikasi sifat-sifat Tuhan dalam agama Islam, seperti esa, azali dan abadi, kodrat, ilmu, kaya, pencipta, dan hidup, kemudian kita mengambil konklusi dari sifat-sifat-Nya. Dari sisi lain, dengan analisa akal terhadap Wâjib al-Wujûd dan mumkin al-wujûd, kita dapat mengambil konklusi sifat-sifat sempurna dari Wâjib al-Wujûd, dan hasilnya adalah perbandingan antara sifat-sifat Tuhan dalam agama (dalam hal ini adalah agama Islam) dan Tuhan dalam filsafat (baca: Wâjib al-Wujûd). Sebagai contoh, makna Wâjib al-Wujûd adalah suatu wujud yang ada dengan dirinya sendiri dan tidak butuh pada sesuatu yang lain, wujudnya adalah sempurna, esa, tunggal, azali, dan abadi. Sifat-sifat ini identik dengan sifat-sifat yang dinisbahkan kepada Tuhan dalam agama, seperti Tuhan berdiri sendiri, maha kaya, maha sempurna, tunggal, tidak terangkap, azali, dan abadi.
Karena wujud-wujud lain bersumber dari Wâjib al-Wujûd, maka Wâjib al-Wujûd adalah wujud yang paling tinggi dan meliputi wujud-wujud lain, sifat meliputi ini di dalam agama diungkapkan sebagai kekuasaan mutlak Tuhan. Wâjib al-Wujûd adalah non-materi, karena dzat-Nya adalah basith dan tunggal (tak berangkap). Wâjib al-Wûjud adalah Sebab wujud kontingen (makhluk), maka dari itu, dalam hukum sebab Dia adalah Sebab yang Pertama dan paling tinggi. Dengan demikian, Dia mempunyai ilmu terhadap wujud-wujud lainnya, hal ini dalam istilah agama Tuhan disifatkan Sebagai Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang lahir. Demikian pula, Wâjib al-Wujûd adalah kausa mumkin al-wujûd, maka dari itu, Dia adalah Khalik dan Pencipta segala alam.
Menetapkan Wâjib al-Wujûd dan sifat-sifat-Nya dalam filsafat serta mengidentifikasi sifat-sifat Tuhan dalam teks agama-agama (kususnya Islam), kita mendapatkan bahwa Tuhan dalam agama-agama dengan Tuhan dalam filsafat terdapat kesesuaian di antara keduanya, dan perbedaan di antara keduanya hanya terletak pada tataran harfiah dimana dalam filsafat dikenal sebagai Wâjib al-Wujûd dan dalam agama Islam disebut dengan Allah.
Memang terdapat perbedaan di antara para filosof dengan para ulama agama dan filsafat itu sendiri dengan agama-agama mengenai konsep universal Tuhan dan konsep partikular-partikular-Nya, tetapi hal ini tidak meruntuhkan prinsip dan teori keberadaan Tuhan dalam filsafat dan kesesuaian Tuhan dalam agama-agama dengan Wâjib al-Wujûd dalam filsafat.

2. Mengadopsi Satu Sifat Khusus Tuhan
Solusi ini dapat dilakukan dalam bentuk, pertama: meletakkan satu sifat khusus Tuhan dalam agama sebagai fokus perhatian; kemudian dengan metode filsafat kita menetapkan keberadaan sifat ini pada suatu maujud di alam ini. Sebagai contoh, sifat maha kaya, maha sempurna, dan maha pencipta merupakan kekhususan sifat-sifat Tuhan dalam al-Qur'an. Keberadaan sifat-sifat ini dalam filsafat, dikarenakan setiap wujud kontingen (makhluk) yang menjadi obyek pengkajian tidak mempunyai sifat sempurna dan sifat kaya yang hakiki, yakni setiap wujud kontingen secara esensial memiliki keterbatasan dan kekurangan. Dalam filsafat ditetapkan bahwa untuk membenarkan penciptaan wujud-wujud mumkin (makhluk) mengharuskan adanya satu wujud sempurna yang hakiki, berdiri sendiri, maha kaya, dan tidak butuh pada yang lain. Dan wujud sempurna ini dalam filsafat disebut sebagai Wâjib al-Wujûd dan dalam agama-agama (terkhusus al-Qur'an) dikatakan Allah.
Serupa dengan argumentasi di atas, Anslem dalam burhan ontologinya mengkonstruksi argumen pembuktian eksistensi Tuhan. Pertama ia meninjau Tuhan Masehi sebagai Tuhan yang berwujud dan menyatakan bahwa mustahil terkonsepsi suatu wujud yang lebih besar dan lebih sempurna dari-Nya; kemudian dengan jalan argumentasi akal ia mengafirmasikan keniscayaan keberadaan suatu wujud paling sempurna yang disebut sebagai Tuhan yang ia asumsikan sebelumnya

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity