11/09/08

Konsep Teologi Menurut Murthada Muthahhari

Murthada Muthahhari (1919-1979) adalah seorang pakar pemikir Islam di abad ini. Kejeniusannya tampak dari karya-karya yang dilahirkannya beberapa aspek keislaman, yang meliputi maslah-masalah tasawuf (‘irfan), filsafat, teologi, logika, fiqh (Juriprudensi Islam), ushul fiqh (Dasar-dasar jurisprudensi Islam ), etika, agama, sosial, sejarah, dan lain-lain. Walaupun pokok-pokok tulisannya tampak sama sekali berlainan, namun semuanya itu satu tujuan akhir, yakni Islam.
Sebelum membahas pemikiran Muthahhari terutama di bidang teologi, terlebih dahulu kita akan pertanyakan, apakah pemikiran-pemikiran Muthahhari itu bercorak filosofis, teologis, ataukah bersifat emosional? Apabila kita sempat meneliti sebagian besar karyanya, akan segera terlihat bahwa dia mementingkan masalah filsafat. Hal ini tidaklah asing bagi Muthahhari, karena memang sejak usia muda telah mengagumi para filosof, teolog, dan sufi.
Dalam mengantarkan bukunya, Al-Adl Al-Ilahiy, Murthada Muthahhari menjelaskan keunggulan argumen demonstratif dalam menjawab masalah keadilan Tuhan ketimbang argumen lainnya, dan hal ini demikian padat ditemukan dalam disiplin ilmu filsafat. Malahan di banyak karyanya, tampak jelas kecakapan intelektualnya dalam menyajikan pandangan dunia Islam tentang berbagai masalah dengan uraian filosofisnya yang sistematis.


Dalam bukunya Muthahhari Fundamentals of IslamicThought, Hamid Algar dalam Kata Pengantarnya mengungkapkan bahwa bagi Muthahhari, filsafat bukan sekadar alat polemik atau disiplin intelektual; tapi filsafat juga merukan suatu gaya dan metode dalam memahami dan memformulasikan Islam. Muthahhari berkeyakinan bahwa pencapaian ilmu dan pengetahuan adalah sebagai tujuan utama dari agama, dan karena alasan inilah ia memberikan tempat tertentu kepada filsafat di tengah disiplin ilmu lain yang berkembang dalam institusi keagamaan.
Dalam sejarah pemikiran filsafat Barat Abad Pertengahan, kita mengenal pakar-pakar filosof Muslim seperti Al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), dan Ibnu Rusyd (1126-1198). Al-Farabi yang dikenal sebagai “guru kedua” sesudah Aristoteles, adalah sebagai pembangun agung sistem filsafat dalam Islam. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi Barat dan Timur, lama sepeninggalnya. Sedangkan Ibnu Sina adalah satu-satunya filosof besar Muslim yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat selama beberpa abad. Adapun Ibnu Rusyd adalah satu-satunya filosof besar yang menyandang gelar sebagai komentator (interpreter) Aristoteles.
Jika mereka ini merupakan pakar-pakar filosof Muslim terbesar di Abad Pertengahan, maka Muthahhari adalah salah satu model filosof Muslim terbesar di Abad 20 (modern) ini. Namun jika diperbandingkan, terdapat perbedaan pandangan antara Mutahhari dan filosof tersebut terhadap filsafat. Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, sebagai pewaris-pewaris filsafat Yunani, mereka berpendapat bahwa filsafat mempunyai hakikat kebenaran yang berdiri sendiri, di samping adanya kebenaran agama. Karena itu, mereka selalu berusaha untuk melakukan pemaduan antara filsafat dan agama, sebab mereka berkeyakinan bawhwa kebenaran filsafat dan kebenaran agama tidak saling bertentangan. Sedangkan Muthahhari memandang bawah filsafat bukanlah sebagai suatu kebenaran yang berdiri sendiri, karena baginya hanyalah sebagai alat dan metode dalam praktek berpikir yang dipergunakan untuk memahami agama dan sebagai lamdasan untuk mempertahankannya. Maka dari itu, dalam tulisan-tulisan Muthahhari, tampak oleh kita bahwa pemikiran-pemikirannya selalu bertolak dari kebenaran-kebenaran agama, untuk kemudian memahami, menafsirkan dan mempertahannya dengan argumentasi yang filosofis. Dari sinilah kita dapat memberikan kesimpulan pendek bahwa Muthahhari pada hakekatnya adalah seorang teolog yang berfilsafat.
Teologi (‘ilmu al-kalam) adalah suatu ilmu yang mengupas keyakinan-keyakinan dan ajaran-ajaran dasar Islam dengan argumentasi rasional. ilmu ini disebut juga dengan ilmu Ushul Al-Din atau ilmu tauhid dan sifat. pemikiran Muthahhari jelas banyak dipengaruhi oleh teologi. Bahkan ia menjelaskan bahwa ajaran-ajaran dasar Islam ada lima macam; yaitu tauhid, keadilan, kenabian, imamah, dan ma’ad (kebangkitan). Dalam artikel edisi pertama ini, hanya akan ditinjau pandangan Muthahhari dalam dua ajaran dasar saja, yaitu Tauhid dan Keadilan Tuhan.
Tauhid (Ke-esan Tuhan)
Persepsi Muthahhari terhadap tauhid sangat tinggi, dan konsep ini menjadi inti pikirannya, seperti terlihat pada pandangan dunia tauhidnya yang tercermin dalam tulisan-tulisannya. Tauhid oleh Muthahhari dihadapkan ke dalam dunia nyata, dunia sosial, dan kultural manusia. Hal ini sejalan dengan teologi rasional yang menekankan masalah “tauhid dan keadilan”.
Muthahhari membagi pemahaman tauhid kepada dua bagian; yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis membahas tentang ke-Esaan Zat, ke-Esaan sifat, dan ke-Esaan perbuatan Tuhan. Pembahasan mengenai ke-Esaan Zat, ke-Esaan Sifat dan perbuatan Tuhan adalah khusus berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi dan pemikiran kita tentang Tuhan. Sedangkan “tauhid praktis” yang juga disebut dengan “tauhid ibadah” adalah berhubungan dengan kehidupan praktis manusia. Ia merupakan terapan dari “tauhid teoritis”.
Menurut Muthahhari, suatu ilmu yang hanya bersifat teoritis, tidak akan memberikan pengaruh dalam kehidupan praktis manusia. Sebagai contoh, para ahli zaman dulu berpendapat bahwa bumi adalah pusat alam. Benda-benda langit, termasuk matahati, beredar mengitari bumi. Tetapi kemudian ternyata teori ini dibatalkan oleh para sarjana modern. Mereka mengatakan bahwa mataharilah sebenarnya yang menjadi pusat dari semua benda-benda angkasa itu, sedangkan planet-planet, termasuk juga bumi-lah yang beredar mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya. Muthahari mengemukakan pertanyaan, apakah dengan perubahan teori ini lantas akan berpengaruh atas kehidupan dan budi pekerti manusia? Jawabannya adalah “tidak”. Karena dengan perubahan pengetahuan teoritis ini, yaitu dari matahari beredar mengelilingi bumi, menjadi bumi berdar mengelilingi matahari, sama sekali tidaklah mempengaruhi kehidupan praktis dan budi perkerti manusia.
Karena itu, menurut Muthahhari, tauhid teorotis saja hanya akan percaya semata akan ke-Esaan Dzat, sifat dan perbuatan Tuhan, tidak dapat dinamakan sebagai orang yang sudah bertauhid yang sempurna dan hakiki dalam pandangan Islam. Tauhid Hakiki” menurut Muthahhari adalah tauhid yang tercermin dan terefleksi dalam ibadah dan perbuatan praktis kehidupan manusia. Maka Muthahhari mengatakan bahwa kebanyakan para teolog telah mampu berargumentasi dengan alasan yang kuat, sanggup dan cerdas mengalahkan musuh-musuh mereka dalam pembuktian wujud Tuhan, ke-Esaan, kekuasaan, ilmu dan hikmah kebijaksanaan-Nya, tetapi pembuktian mereka itu hanya terbatas pada tingkatan pemikiran, perenungan dan konsepsi, dan tidak pernah mencapai ketingkatan :”tauhid praktis” dan ikhlas. Dalam pengertian bahwa mereka tidak pernah menjadi orang yang bertauhid dalam kehidupan praktis; tetapi hanya bertauhid dalam konsep teorotis dan pemikiran semata. Karena itu, tampak terlihat jelas disamping mereka bertauhid secara teorotis, mempertahankan Wujud Tuhan dengan argumentasi yang kuat, mereka secara praktis mempersekutukan Allah dalam amalan perbuatan sehari-hari, memperhambakan diri kepada benda-benda dan manusia, dan menjadi hamba-hamba setan.
Seperti yang dikatakan Mutahhari dalam kata “Syirk (menyekutukan Allah) yang terjadi pada umat-umat terdahulu adalah bentuk “tauhid praktis” yang tak dapat dicapai ini. Mereka mengakui secara teoritis adanya Tuhan pencipta langit dan bumi, tetapi dalam peribadatan dan perilaku hidupnya sehari-hari tunduk kepada berhala-berhala dan setan, dan tidak terikat kepada kepercayaan teoritisnya sama sekali. Al-Qur;an menungkapkan kenyataan ini: “Jika engkau tanyakan kepada mereka (kaum musyrik), siapa yang menjadikan langit dan bumi, niscaya mereka menjawab Allah.” (Q. Az-Zumar: 38). Maka secara teoritis, orang musyrik percaya kepada Allah pencipta langit dan bumi, namun secara praktis tidak menyembah kepada Allah itu, yaitu menyembah berhala, dan dalam kehidpan sehari-hari tida mempunyai keterkaitan sama sekali denga kepercayaan kepada Allah. Bahkan Muthahhari mengatakan bahwa tauhid yang hakiki itu adalah kesatuan dan keharmonisan antara “tahuid teoritis dan: tauhid praktis” dalam diri seseorang yang bertauhid (muwahid) dan seorang musyrik. Seorang musyrik, secara teoritis bertauhid, tetapi di dalam praktek kehidupan sehari-hari patuh dan mengabdi kepada tuhan-tuhan selain-Nya.
Muthahhari membagi “tauhid praktis” (tauhid ibadah) ke dalam dua sisi saja. Di sisi pertama berpautan dengan Allah, dan di sisi lain, berhubungan dengan menusia sendiri. Sisi yang berpautan dengan Allah atau adalah bahwa setiap yang wujud, baik para malaikat, para nabi, ataupun para wali Allah, dan yang lainnya, tidak berhak untuk disembah, selain Alah. Sedangkan sisi yang kedua berkaitan dengan manusia adalah bahwa manusia sebagai hamba Allah mempunyai kewajiban untuk tidak menyembah selain (ibadah) ini.
Keadilan Tuhan
Menurut Muthahhari, konsep Islam yang kedua setelah tauhid adalah keadilan. Jika tauhid membahas tentang ke-Esaan Tuhan, maka keadilan membahas tentang hubungan Tuhan dengan manusia. Sebab keadilan adalah salah satu dari sifat-sifat Allah. Ia merupakan satu sifat kesempurnaan, sebagaimana keadilan yang pada manusia adalah merupakan kesempurnaan pada manusia itu sendiri. Makna “adil” adalah bahwa Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya. Jika Allah telah mentakdirkan hamba-Nya untuk melakukan suatu maksiat, kemudian diberikan hukuman siksaan atas perbuatan itu, maka hal itu dianggap suatu kezaliman, bukan keadilan. Demikian juga apabila Allah memasukan hamba-Nya yang taat dan patuh ke dalam neraka dan memasukan orang kafir ke dalam surga, maka itu dianggap sesuatu yang tidak adil.
Pembahasan tentang keadilan Tuhan ini sangat luas sekali, mencakup masalah kebebasan dan keterpaksaan manusia, masalah qadha’ dan qadar, masalah esensi baik dan buruk, dan perbuatan baik dan buruk itu sendiri. Namun disini kita akan membatasi diri pada pandangan Muthahhari tentang keadilan Tuhan dalam “perbuatan baik dari orang-orang non-Muslim”. Apakah baik yang dilakukan oleh orang-orang non-Muslim diterima oleh Allah atau tidak? Jika diterima, lalu apa perbedaan antara Muslim dan non-Muslim. Jika tidak, Allah tidak memperhatikan sama sekali perbuatan baik mereka, lantas dimana letaknya keadilan Allah, karena perbuatan baik mereka disaamakan saja dengan perbuatan buruk orang-orang yang zalim.
Di sini Muthahhari mengelompokkan amalan perbuatan manusia kepada tiga pendapat; yaitu;
Pendapat pertama mengatakan bahwa untuk diterimanya amalan baik seseorang tidak perlu disyaratkan kepada iman atau menjadi Muslim.
Pendapat kedua mengatakan bahwa syarat utama untuk diterima amalan baik seseorang disyaratkan harus menjadi seorang Muslim.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa untuk diterima amalan baik itu ditentukan menurut logika Al-Qur’an
Pendapat pertama ini diwakili oleh sejumlah ilmuwan dan intelektual. Mereka menyatakan bahwa untuk diterima amalan baik seseorang tidaklah perlu adanya keimanan, atau tidak perlu menjadi seorang yang beragama Islam tapi asalkan dia taat kepada Tuhan maka amalan yang dia perbuat itu akan mendapat pahala. Dengan kata lain bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan baik, apakah ia berupa mendirikan yayasan-yayasan amal bakti, penyelidikan dan penemuan-penemuan ilmiah, membantu orang yang dalam kesulitan, pelayanan kebudayaan dengan mendirikan sekolah, membuat lapangan pekerjaan, pendidikan dan pengajaran, pelayanan kesehatan, sosial, ekonomi, dan perbuatan amal baik lainnya tetap akan diterima Allah dan diberi balasan baik di sisi-Nya. Sebaliknya, orang yang berbuat bohong, berbuat khianat, berbuat penganiayan, berbuat kezaliman, dan perbuatan buruk lainnya, pasti semua itu akan mendapat hukuman siksaan dari Allah swt. Jika tidak demikian, maka Allah akan mempersamakan antara perbuatan baik dan buruk, antara khianat dan amanah (kejujuran), antara kebaikan dan kezaliman, antara doa seorang pastor dan dosa seorang penjahat yang ulung, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Allah itu Maha Adil, maka Ia tidak akan membeda-bedakan hamba-Nya, baik yang beriman kepada-Nya ataupun tidak, maka Allah tetap akan memperhatikan perbuatan baik seseorang.
Untuk menjawab soal-soal tersebut di atas, maka Mutahahhari mempunyai dua argumentasi, pertama argumentasi rasional (‘aqliy), dan kedua argumen agama (naqliy).
a. Argumentasi Rasional
Argumen ini menyatakan bahwa setiap perbuatan baik akan mendapat balasan baik di sisi Allah. Hal ini didasarkan pada dua premis. Premis pertama adalah bahwa hubungan Alah dengan semua wujud ini adalah sama dan tetap. Hubungan Allah dengan waktu dan ruang adalah sama dan tetap; sebagaimana Allah itu berada di Timur, juga berada di Barat; Allah itu berada di atas, juga berada di bawah. Waktu kemarin, sekarang, dan waktu yang akan datang bagi Allah adalah sama dan tetap. Maka dari bagi Allah masalah Timur, Barat, atas, dan bawah adalah satu dan sama. Karena itu, hubungan Allah dengan makhluk-Nya adalah satu dan sama. Disini artinya bahwa Allah tidak mempunyai hubungan yang istimewa atau kekariban dengan salah satu diantara wujud dan manusia. Karenanya, kesayangan dan kemarahan Allah bergantung kepad diri manusia sendiri. Tidak mungkin Allah itu menyayangi seseorang atau membencinya tanpa adanya alasan. Jika hubungan Allah dengan semua yang wujud dan manusia adalah sama, maka tidak ada alasan untuk hanya menerima amalan baik sebagian manusia, dan menolak amalan baik sebagian lainnya. Jika amalannya sama, tentu balasannya juga harus sama. Karena hubungan Allah dengan semua manusia adalah sama, maka tentu akan sesuai dengan keadilan-Nya, dan Allah akan memberi pahala kepada setiap orang yang mengerjakan perbuatan baik, baik itu orang Muslim atau non-Muslim.
Premis kedua adalah bahwa baik dan buruk itu bukanlah bersifat subjektif, tetapi bersifat real, hakiki; atau dalam terminologi para teolog, baik dan buruknya perbuatan itu adalah bersifat Dzati. Dalam hal buruk itu karena buruk pada zatnya. Karena itu, kebenaran, teguh pendirian, kebaikan, menolong orang lain, dan kejujuran adalah baik pada dzatnya. Adapun berbohong, khianat, menganiaya, kezaliman adalah buruk pada dzatnya. Dengan kejujuran, seseorang itu baik pada dzatnya, karena itu Allah memerintahkan untuk mengerjakannya, dan bukan karena diperintahkan oleh-Nya maka menjadi baik. Demikian juga halnya jika seseorang itu berbohong, maka buruk pada zatnya, oleh sebab itu manusia dilarang mengerjakannya. Dalam pengertian lain, perintah dan larangan hanya menjustifikasi (membenarkan) kebaikan dan keburukan.
Berdasarkan kedua premis di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa Allah tidak pernah membeda-bedakan hamba-Nya. Karena setiap perbuatan baik tetap dipandang baik, dan setiap perbuatan buruk tetap dipandang buruk. Maka setiap perbuatan baik yang dikerjakan oleh seseorang, Allah pasti akan membalasnya dengan yang baik pula, sebaliknya setiap perbuatan buruk, maka Allah tetap akan membalasnya dengan hukuman atau siksaan.
b. Argumentasi Agama
Argumen agama didasarkan pada ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menguatkan pendapat mereka di atas. Di antara ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan perbuatan baik seseorang, dan selalu menerimanya secara umum, baik yang dilakukan oleh seorang Muslim atau non-Muslim, adalah sebagai berikut:
”Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat bijih zarah pun, niscaya dia akan menerima (balasan)-nya, dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat biji zarah pun, niscaya dia akan menerima (balasan)-nya. [Q.s. Al-Zalzalah:7-8]
Ayat ini mengandung arti bahwa apapun yang dilakukan seseorang itu tetap akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. Karena itu Allah adalah Dzat yang menciptakan keadilan bagi makhkluk-Nya.
Seperti yang dikatakan dalam surat Al-Taubah, ayat 120, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik”. Maka di ayat lain pun Allah mengatakan: “Kami (Allah) tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan amalan dengan baik. (Al-Kahfi, ayat 30).
Maka ayat-ayat yang dikutip diatas ini menunjukkan kepada pengertian umum, karena itu tidak boleh diambil dalam pengertian khusus (yang hanya berlaku untuk orang yang beriman), seperti apa yang diungkapkan oleh ahli ushul fiqh, “bahwa sebagian dari ayat-ayat yang mempunyai pengertian umum tetap berlaku atas keumumannya, dan tidak boleh diperlakukan atas pengertian khusus”, seperti dalam firman Allah dalam al-Qur’an: “ Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. Ini artinya bahwa Allah pasti memelihara semua amalan baik manusia, tanpa adanya diskriminasi di antara hamba-Nya, baik ia Muslim maupun non-Muslim.
Pendapat kedua diwakili oleh orang-orang Muslim. Mereka berpendapat bahwa agar amalan baik seseorang untuk diterima Allah, maka syarat utamanya dia harus menjadi Muslim. Dalam artian bahwa mustahil Alah akan menerima amalan baik seorang non-Muslim. Untuk hal ini mereka mengemukakan dua argumentasi, pertama, argumen rasional (aqliy), dan kedua argumen agama (naqliy).
a. Argumen Rasional
Dengan argumen logika rasional mereka mengatakan, sekiranya Allah menerima amalan baik seorang non-Muslim, lalu apa perbedaannya menjadi seorang Muslim dengan seorang kafir. Mereka berpendapat bahwa perbedaan itu tentu terletak pada bahwa Allah hanya akan menerima amalan baik seorang Muslim dan menolak amalan baik seorang kafir. Atau Allah tidak menyiksa orang-orang Muslim yang berbuat jahat, dan menyiksa semua yang kafir. Kalau tidak demikian halnya, tentu akan sama artinya menjadi seorang Muslim dan seorang kafir, artinya tidak ada kelebihannya menjadi seorang Muslim.
b. Argumen Agama
Dalam al-Qur’an dan hadis terdapat banyak ayat yang menunjukkan bahwa Allah tidak menerima amalan baik orang-orang non-Muslim. Seperti disebutkan dalam surah Ibrahim, ayat 18, Allah berfirman: “orang-orang yang kafir kepada Allah, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yag ditiup angin dengan keras pada suatu haru yang berangin kencang, mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan di dunia, yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”.
Dalam surah Al-Nur, Allah mengumpamakan amalan mereka seperti fatamorgana di padang pasir, yang dari kejauhan disangka air, tetapi setelah didekati mereka tidak memperoleh apa pun. Maka dari konteks ayat-ayat diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa amalan baik orang-orang kafir adalah bagaikan kebohongan fatamorgana yang tiada realitasnya. Adapun perbuatan jahatnya adalah merupakan suatu malapetaka besar, bagaikan kegelapan di atas kegelapan. Jelasnya bahwa dua pendapat itu menurut Muthahhari, pertama, hanya berpegang kepada nilai perbuatan baik saja, tanpa perlu dilandasi dengan kepercayaan akidah yang benar; sedangkan pendapat kedua berpendirian bahwa keimanan atau menjadi seorang Muslim adalah syarat utama untuk dapat diterimanya amalan baik itu.
Pendapat ketiga berdasarkan logika Al-Qur’an. Disini Muthahhari mempertanyakan, benarkah setiap perbuatan baik orang-orang kafir hanya akan dilemparkan ke dalam tong sampah? Maka terlebih dahulu perlu menafsirkan kembali makna “kafir” dan makna “Islam” atau; sikap kepasrahan.
1. Pengertian Kafir
Sebelum membahas lebih jauh tentang makna kafir, maka kafir dibagi menjadi dua macam, yaitu pertama disebut kafir-ingkar atau penolakan, sedangkan kafir macam kedua dinamakan kafir jahiliyah atau kebodohan dan ketidaktahuan akan hakikat kebenaran. Jika berhubungan dengan kafir-ingkar, maka dalilnya pasti (qath’iy), baik secara rasional maupun agama. Bahwa seseorang setelah mengetahui akan hakikat kebenaran, kemudian dia membangkang dan mengingkarinya, maka semestinya berhak mendapatkan hukuman atau siksaan. Adapun kafir macam kedua, karena atas kebodohan dan ketidaktahuannya akan hakikat kebenaran, maka dia akan berada di dalam pengampunan dan rahmat Allah.
Untuk menjelaskan hal ini, maka kita perlu membicarakan pengertian penyerahan (taslim) dan pembangkangan (‘inad) secara agak terperinci. Sebagaimana firman Allah dalam surah Asy-Syu’ara, ayat 88-89:
“Pada hari itu harta dan anak-anak tidak memberi manfaat lagi kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim (pasrah)”
Makna “taslim” atau tingkat kepasrahan adalah mengetahui sesuatu hakikat kebenaran. Tingkat kepasrahan disini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu ketundukan jasamani, ketundukan akal (rasio), dan ketundukan hati (Qalb). Misalnya; jika ada dua orang petinju di atas ring, maka masing-masing berusaha untuk merobohkan lawannya. Dan jika salah satu menang, maka hakim lantas mengangkat kedua tangannya ke atas, dan yang kalah harus patuh dan tunduk kepada keputusan hakim. Tetapi penyerahan atas kepasrahan si kalah pada waktu itu jelas hanya merupakan penyerahan jasmani saja, bukan penyerehan akal, karena akalnya mulai saat itu juga bersumpah akan menantangnya lagi di lain waktu.
Jika kekuatan badan dan jasmani dapat ditundukkan dengan kekuatan otot dan paksaan, maka akal hanya sanggup ditundukkan dengan kekuatan logika dan argumentasi, jika seseorang membantah pendapat anda, maka anda dapat menundukkan orang itu dengan kekuatan dalil dan argumentasi. Tetapi kadangkala, seseorang yang sudah tunduk jasmani dan akalnya, namun hatinya bisa saja belum menerima dan tunduk. Hal ini disebabkan karena kesombongan, kefanatikan, pembangkangan, kepentingan pribadi, dan lain-lainnya.
Maka orang yang hanya pasrah jasmani dan akal saja, tetapi hatinya menentang, pada hakikatnya tidaklah termasuk orang beriman; karena hakikat iman adalah penyerahan dan kepasrahan hati dan jiwa. Karena hati adalah landasan iman, maka penyerahan jasmani dan akal tidak disertai dengan kepasrahan hati, dengan sendirinya tidak ada keimanan; karena dengan kepasrahan yang disertai dengan hati berarti penyerahan seluruh wujud manusia, dan meniadakan salah satu dari bentuk penentangan. Dari sini kita bisa mengambil hikmah dari pelajaran pembangkangan iblis (setan) terhadap Adam, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah, ayat 208;
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam penyerahan secara total, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu musuhmu yang nyata”.
Ayat tersebut menegaskan bahwa setan yang ada dalam al-Qur’an itu adalah contoh nyata atas pembangkangan hati. Setan secara akal mengetahui Allah, percaya dengan hari kebangkitan, tahu akan kesempurnaan para rasul dan orang-orang saleh, dan mengetahui dengan ketinggian martabat mereka, tetapi Allah memberi cap kepada setan dengan kafir, “Dan adalah setan termask golongan kafir” (Al-Baqarah: 34).
Kesimpulan dari pembahasan di atas, al-Qur’an menyatakan bahwa setan mengakui adanya Allah, percaya keapada hari akhir, dan mengakui akan kesempurnaan para rasul, namun ia tetap diberi gelar terkutuk. Hal ini dapat dipahami, bahwa pengakuan akal semata belum cukup untuk menjadi seorang Muslim, tetapi mesti ada syarat lain, yaitu kepasrahan hati. Setan menjadi kafir karena akalnya mengakui kebenaran, tetapi hatinya menentang kebenaran, hatinya tidak patuh dan pasrah (taslim) terhadap kebenaran, maka jadilah setan termasuk golongan kafir.
2. Pengertian Islam Hakiki dan non-Islam.
Biasanya kita sering mengatakan bahwa si fulan Muslim; atau si fulan kafir (non-Muslim). Hal ini sebenarnya, kita tidak pernah melihat kepada hakikat yang sesungguhnya, tetapi hanya berdasarkan atas pandangan tempat geografisnya, di mana seseorang tinggal. Sekiranya tempat kelahiran seseorang secara hukum tradisi dan keturunan adalah di lingkungannya orang Islam, maka ia menjadi seorang Muslim; dan jika di lingkungannya orang Kristen, maka ia menjadi Kristen. Dan apabila ia tidak berada di lingkungan tidak bergama, maka ia pun menjadi orang yang tidak beragama, dan seterusnya.
Hukum yang demikian itu sebenarnya tidaklah mempunyai landasan pemikiran yang real, untuk menentukan seseorang itu Muslim atau non-Muslim. Kita kebanyakan menjadi Muslim hanya secara hukum geografis; karena kebetulan bapak dan nenek kita termasuk orang-orang Islam, lahir dan dibesarkan dalam lingkungan orang Islam pula. Karena itu, Islam hakiki yang dikehendakin oleh nilai keruhanian agama samawi adalah dengan secara kesadaran dan sungguh-sungguh menerima hakikat kebenaran dengan hati. Menerima hakikat kebenaran bukan karena kefanatikan, tetapi dengan kepasrahan yang sadar dan tinggi.
Jika kita mencari contoh kenyataan ini, maka mungkin kita menemukan pribadi-pribadi yang memiliki ruh kepasrahan, kepada kebenaran, meskipun mereka itu tidak menggunakan nama Islam. Descartes, seorang filosof Prancis, adalah contoh yang baik untuk jenis manusia seperti itu, dan juga berbagai pernyataan tentang dirinya sendiri. Ketika Descartes berpikir tentang jasad dan ruh, kemudian dengan pembuktian-pembuktian pemikirannya. Ia akhirnya menetapkan adanya wujud Tuhan dengan pasti. Kemudian secara perlahan-lahan ia bergerak ke arah pemikiran agama, dan memilih agama Kristen, karena agama itulah yang banyak dikenal di negerinya.
Dari sinilah Descartes membuat penuturan yang amat menarik, yang di situ ia berkata: “Sesungguhnya saya tidaklah mengaku bahwa agama Kristen pasti agama yang paling unggul di bumi, tetapi saya katakan bahwa agama Kristen adalah agama yang unggul dibandingkan dengan agama-agama yang saya ketahui, dan agama Kristen itu telah saya pelajari sungguh-sungguh dan saya dalami. Dan saya tidak mengidap rasa permusuhan dengan terhadap kenyataan. Sebab mungkin saja di tempat-tempat lain di dunia ini ada agama yang mengungguli agama Kristen.”
Dengan demikian, individu-individu seperti yang dicontohkan Desacartes tidak boleh dinamakan kafir, karena mereka tidak menunjukkan sifat menentang dan tidak pula menyembunyikan kebenaran. Descartes adalah contoh simpel dari sikap kepasarahannya kepada agama Kristen sampai pada tingkat hakikatnya, maka siapapun yang mencapai tingkat kepasrahan dan yakin terhadap hakikat kebenaran dan tunduk kepada Tuhan, maka seperti itu ia dianggap Muslim atas ke-fitrah-an yang dia miliki. Sebab itu Allah tidak akan menyia-nyiakan amalan baiknya.

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity