11/09/08

Mahasiswa dan Senjakala Reformasi

Enam tahun sudah perjalanan reformasi (1998-2004). Ada banyak hal yang dapat dievaluasi sekaligus menjadi bahan permenungan untuk memformulasikan skenario menuju the truly reformation. Ketika reformasi bergulir yang ditandai tumbangnya Orde Baru dengan Soeharto sebagai simbol, berjuta harapan mengalir dari sanubari anak bangsa. Kita semua berharap lahir pemerintahan yang bersih, lalu terbangun fondasi ekonomi yang kukuh berbasis ekonomi kerakyatan, juga penegakan hukum dan puluhan impian lain.
Kini, setelah enam tahun perjalanan reformasi, puluhan impian itu seolah-alah karam di tengah carut-marut kekuasaan. Reformasi seolah-olah kehilangan momentum dan menjauh dari koridor yang disepakati elemen bangsa, termasuk mahasiswa.
Lalu, sesungguhnya ada apa dengan reformasi? Bagaimana dengan posisi dan peran mahasiswa dalam proses reformasi?
Reformasi disebut-sebut telah sampai pada titik antiklimaks, dengan kata lain inilah senjakala reformasi. Agenda-agendanya tak secara konsisten diwujudkan. Kekuatan-kekuatan prodemokrasi telah tercerai-berai dalam ranah kepentingan praktis-politis dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil hingga kehilangan energi untuk bersama-sama menuntaskan agenda reformasi.
Reformasi seolah-olah tanpa pengawal. Reformasi menjadi indah untuk diperbincangkan dan dijadikan retorika politik penguasa, tapi tidak indah untuk diimplementasikan.
Dalam kacamata politik, senjakala reformasi ini disebabkan beberapa faktor: kepemimpinan nasional yang tidak memiliki tanggung jawab atas agenda-agenda reformasi, kekuatan masyarakat sipil yang tidak berfungsi dalam mengawal agenda-agenda reformasi, dan tidak tersedia perangkat perundang-undangan yang menjamin keterlaksanaan agenda tersebut.
Pada titik inilah mahasiswa menemukan momentumnya untuk secara konsisten memperjuangkan agenda-agenda reformasi. Hal ini disebabkan mahasiswa memiliki kekuatan intelektual dan memiliki kekuatan moral untuk mewacanakan pada publik bahwa yang dibutuhkan negeri ini adalah kepemimpinan nasional yang kuat secara moral dan memiliki konsep matang bagi keberlanjutan reformasi.
Mahasiswa juga merupakan kekuatan utama dalam masyarakat sipil, yang secara gradual dapat melakukan proses enpowering (penguatan) di tingkat akar rumput dengan tujuan terbentuk masyarakat yang melek politik, hingga mampu menjadi instrumen kontrol bagi kekuasaan.


Masa Depan Reformasi
Gerakan mahasiswa sebagai anjing penjaga reformasi sebenarnya memiliki posisi strategis, sama strategis dengan peran media massa dalam mengawal agenda reformasi. Namun, ada beberapa titik lemah kelompok mahasiswa dalam memainkan perannya. Pertama, kekuatan mahasiswa setelah 1998 terpolarisasi dalam banyak kutub. Kutub-kutub ini terbentuk bukan karena faktor ideologis ataupun kepentingan, melainkan lebih pada faktor pilihan strategi. Kedua, gerakan mahasiswa mengalami gradasi semangat dalam mengawasi agenda-agenda reformasi. Hal ini dipicu oleh akumulasi rasa frustrasi. Ketiga, konsolidasi gerakan mahasiswa setelah 1998 mengalami hambatan sebagai efek tingkat kepercayaan yang menurun antarkekuatan dalam gerakan mahasiswa.
Dari pengalaman beragam gerakan mahasiswa, mulai dari gerakan mahasiswa di China dengan aksi Tianannen, kemudian gerakan mahasiswa di Argentina, gerakan mahasiswa di lndonesia tahun 66, maka dapat ditarik beberapa pengalaman bahwa kelemahan yang paling nyata adalah lemahnya instrumen pengawasan agenda setelah jatuhnya rezim otoriter yang berkuasa.
Terkait dengan pengalaman gerakan mahasiswa dan analisis faktor penyebab terdisfungsi peran gerakan mahasiswa dalam mengawal agenda reformasi, ada beberapa catatan penting untuk mengoptimalkan fungsi dan peran gerakan mahasiswa dalam mengawal agenda reformasi.
Catatan pertama, Samuel Huntington pernah mencoba menganalisis hambatan paling utama dalam demokratisasi (yang merupakan substansi reformasi di Indonesia) dalam masyarakat pluralis salah satunya adalah kedewasaan dalam berdemokrasi. Dalam konteks ini, mahasiswa harus mampu menjalankan fungsi sebagai kekuatan yang melakukan pendidikan politik.
Pendidikan politik ini memiliki dua tujuan. Pertama, penguatan masyarakat sipil dalam rangka membangun kemandirian masyarakat yang pada akhirnya bisa melakukan kontrol terhadap pelaksanaan agenda reformasi. Tujuan kedua adalah terwujudnya masyarakat yang melek politik hingga mampu secara optimal melakukan pengawasan terhadap agenda reformasi dan berani untuk melakukan tindakan politik jika menemukan penyimpangan dalam pelaksanaan agenda reformasi.
Catatan kedua, gerakan mahasiswa harus menjadi pelopor dalam pengonsolidasian kekuatan prodemokrasi. Proses konsolidasi ini menjadi begitu mutlak untuk mengimbangi kekuatan "lama" yang tidak mengharapkan reformasi berjalan sesuai dengan agenda. Kekuatan prodemokrasi juga berperan menjadi kekuatan utama dalam pelaksanaan agenda reformasi.
Catatan ketiga, gerakan mahasiswa tetaplah sebagai gerakan yang berbasis pada kekuatan moral, sehingga strategi dan taktik dalam memperjuangkan agenda reformasi tak bisa lepas dari hal tersebut. Gerakan mahasiswa harus steril dari kepentingan-kepentingan yang tidak berlandas pada kekuatan moral.
Catatan keempat, perjuangan mengawal agenda reformasi adalah perjuangan yang tidak jelas sampai kapan. Proses ini berlangsung dinamis dan dialektis, karena itu gerakan mahasiswa tak boleh terjebak untuk melakukan tindakan yang emosional dan provokatif yang justru membuat negeri ini makin jauh dari cita-cita reformasi. Gerakan mahasiswa membutuhkan kesabaran revolusioner (meminjam istilah Eep Saefullah Fatah) atau jika boleh meminjam kata-kata Cak Nun, "Janganlah membunuh setan dengan cara-cara setan." Demokratisasi yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh reformasi di Indonesia membutuhkan kesabaran.
Selanjutnya jalan terjal bernama reformasi ini boleh redup dan boleh surut, tapi tak boleh mati. Maka untuk menghindari kematian reformasi, tak pelak lagi kekuatan-kekuatan pendesak proses reformasi (saat 1998) harus dengan sabar dan setia mengawal reformasi sampai ke tapal batas. Menyerah berarti kalah, tak ada pilihan selain bergerak dan menuntaskan reformasi.
Akhirnya, pilihan untuk bergerak atau diam ada di tangan kita masing-masing. Tapi catat, memilih diam berarti mengkhianati hati nurani

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity