11/09/08

Menimbang Peran Integral Agama

Agama, sebuah kata yang sepanjang sejarah pemikiran manusia, menjadi diskursus terpanjang, terumit dan boleh jadi sepanjang umur manusia perdebatan dalam wilayah ini tidak akan mengenal kata finish. Dari simpati sampai antipati, dari pandangan positif sampai kecurigaan mewarnai pergelutan perdebatan tentangnya.
Bila Nietzche menganggap agama adalah ‘andai-andaian’ orang-orang lemah untuk melarikan ketidakberdayaan dan penghibur kelemahannya, dan bahwa halusinasi orang-orang lemahlah yang melahirkan mitos tentang ‘tuhan’. Alih-alih memberikan ruang bernafas bagi ‘tuhan’ dengan sekali sabda Nietzche telah membunuh ‘tuhan’ dengan ubermenzh-nya. “ketika Zarathustra turun dari gunung, di kaki gunung ia bertemu dengan seorang pendeta tua. Pendeta tua itu bercerita tentang Tuhan, Zarathustra berkata dalam hati; tidakkah orang tua ini tahu bahwa Tuhan telah lama mati, dan Tuhan menyambut kematiannya dengan senyum?!. And lately, did I hear him say these words; “God is dead: of his pitty of men…(Thus Spoke Zarathustra).[1]
Jika Karl Marx dan pengikutnya, mengutuk agama, menuduhnya sebagai biang kerok penindasan dan menggelarinya sebagai candu masyarakat. Agama bagi kaum Marxian adalah hipnotis yang mengebiri dan menina bobokan kesadaran juang kaum proletarian sekaligus menjadi senjata pembius kaum borjuis untuk mempertahankan untouchable-nya melalui jubah-jubah dan sabda-sabda para pendeta.
Maka daratan Persia membuktikan lain. Alih-alih Tuhan dan agamanya harus dibunuh, atau menjadi candu yang membius kesadaran juang kaum tertindas, pemimpin revolusi tertinggi Iran, Imam Khomeini, menjadikan agama sebagai energi pendobrak, menjadi buldoser yang merubuhkan regim dispotik kokoh raja Iran. Dari sabda Tuhan, sang Imam bergerak, dari perintah agama, kaum tertindas menjadi penguasa menggantikan kaum borjuis.
Para pisikolog membuktikan bahwa usaha pencarian manusia atas sebuah idiologi penggerak –apapun itu namanya- bukanlah sebuah keinginan eksternal, dan tidak lahir dari benturan-benturan interaksi sosial tapi merupakan inner wisdom manusia itu sendiri. Tidak mengherankan bila kemudian idiologi-idiologi besar yang mewarnai sejarah pemikiran manusia dalam aktifitasnya menemukan great road untuk sampai pada tujuannya –terlepas apakah bentuk tujuan itu sendiri- bermunculan dan berperang. Idiologi itu sendiri ada yang berumur panjang atau pun seumur kacang, ada yang menemukan bentuknya dan mandiri, tegar, tapi


tidak bertahan kuat. Sosialis materialistis dari rusia, Italia dan kemudian menyeberang ke daratan asia, Cina bahkan sempat menjadi alternative ideology di Indonesia tak mampu mempertahankan eksistensinya.
Sekularisme materialistis bisa dikatakan berumur lebih muda dari idiologi yang terdahulu disebutkan. Idiologi ini menjadi raksasa besar seiring berkuasanya pada negara-negara berkembang yang menganutnya. Tapi menarik untuk diteliti, pernyataan Thomas Hobbes bahwa sebab keruntuhan sosialisme komunis adalah karena tidak mengakarnya ideologi ini pada agama. Sedangkan kapitalisme seperti di Amerika menemukan tempat yang kokoh karena masyarakat penganutnya berlandaskan pada doktrin Kristen katolik.[2]

Agama dan Ideologi yang Mana?
Idiologi itu sendiri dapat dianggap sempurna kalau: pertama, dapat dibuktikan dan diungkapkan secara logis, dengan kata lain, dapat dipertahankan secara logis maupun intelektual; kedua, memberikan makna kepada kehidupan dan menghapus gagasan yang tak ada artinya dari pikiran; ketiga, membangkitkan semangat; keempat, mampu menyucikan tujuan invidual dan sosial; dan membuat manusia bertanggung jawab.[3]
Jika idiologi dapat dipertahankan secara logis, maka mulus jalannya ideologi itu untuk diterima secara intelektual. Dan kalau tidak ada kekacauan mengenainya, maka aksi yang disarankannya pun menjadi mudah. Idiologi yang membangkitkan semangat membuat mazhabnya menarik dan memberikan kehangatan dan kekuatan kepada pengikutya. Penyucian tujuan mazhab yang dilakukan oleh idiologi mazhab tersebut, memudahkan penganut mazhab ini untuk berkorban demi kepentingan prinsip atau tujuannya. Kalau sebuah mazhab tidak menyebutkan bahwa tujuannya suci, maka ia tidak dapat mewujudkan rasa cinta kepada prinsipnya dan rasa berkorban untuk kepentingan prinsipnya, juga tidak mungkin ada jaminan bahwa mazhab seperti itu akan sukses. Pertanggung jawaban manusia yang disebutkan oleh konsep alam semesta membuat orang memiliki dedikasi kepada hati nuraninya dan membuat orang bertanggung jawab terhadap dirinya maupun masyarakat.
Islam, yang didasarkan pada konsepsi yang sempurna tentang alam semesta, merupakan sebuah mazhab yang realistis lagi lengkap. Dalam Islam, semua aspek kebutuhan manusia, baik kebutuhan jasmaniah maupun kebutuhan spiritual, intelektual maupun mental, kebutuhan individual maupun sosial, kebutuhan yang berkenaan dengan dunia fana ini maupun akhirat mendapat perhatian.

Ajaran agama ini meliputi tiga bagian;
1. Ajaran doktrinal atau prinsip pokok. Dalam ajaran doktrinal atau prinsip pokok ini, semua orang diminta beriman. Tugas yang harus ditunaikan dalam hal ini adalah semacam kerja ilmiah dan penelitian.
2. Hukum moral atau kualitas yang harus ditanamkan seorang penganutnya pada dirinya. Ia juga harus menghindari kualitas yang bertentangan dengan hukum moral. Tugas yang harus dilakukan dalam hal ini adalah semacam pembangunan karakter.
3. Hukum atau garis kebijaksanaan berkenaan dengan aktivitas manusia, entah berkaitan dengan dunia fana ini atau yang berkaitan dengan akhirat, entah aktivitas individual ataupun sosial.
Sejauh menyangkut ajaran doktrinal. Islam menganggap belum cukup dengan hanya menerima begitu saja ajaran doktrinal, atau menerimanya karena sudah menjadi tradisi keluarga. Setiap orang berkewajiban menerima ajaran doktrinal dengan suka rela dan independen setelah meyakini kebenaran ajaran tersebut. Dari sudut pandang Islam, ibadah tak hanya ibadah fisis saja seperti salat dan puasa, atau tidak hanya ibadah finansial seperti zakat atau membayar khumus. Ada Ibadah yang lain. Ibadah jenis ini berupa berpikir dan merenung. Karena ibadah mental ini membuat manusia sadar, maka ibadah ini jauh lebih baik dibandingkan bertahun-tahun melakukan ibadah fisis.

Islam mengajak manusia untuk berpikir dan menarik kesimpulan. Menurut agama ini, berpikir merupakan bagian dari ibadah. Ia tidak mau kalau orang mempercayai ajaran doktrinalnya tetapi bukan dari hasil berpikir yang benar. Dalam hubungan ini, Islam memperhatikan satu hal pokok, Islam menunjukkan penyebab berpikir keliru, dan menjelaskan bagaimana cara menghindari kekeliruan dan penyimpangan.

Ada beberapa faktor kesalahan berpikir yang disetir oleh ajaran ini;
1. Bersandarkan pada perasangka, bukan pada pengetahuan yang pasti.
Islam mengajarkan; “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawabannya.”[4]

Para filosof juga mengakui bahwa perasangka merupakan penyebab utama kekeliruan. Sebagaimana yang dinukil oleh syahid Muthahari bahwa berabad-abad setelah turunnya ajaran Islam, Descartes menyebut ini sebagai prinsip pertama logika, katanya; “Aku baru menganggap sesuatu itu sebagai realitas, kalau sesuatu itu sudah jelas bagiku. Aku tak mau ketergesaan, menghubung-hubungkan gagasan dan kecenderungan. Aku hanya menerima apa yang sudah begitu jelas, sehingga tak ada lagi keraguan di dalamnya.”[5]

2. Prasangka dan Hawa nafsu
Jika manusia ingin memberikan penilaian yang benar, maka dia harus benar-benar bersikap adil. Dengan kata lain, dia harus mencari kebenaran dan menerima tanpa segan-segan apa yang telah dibuktikan. Sikapnya harus seperti hakim pengadilan. Seraya menelaah kasus, hakim harus bersikap netral terhdap klaim dua belah pihak. Jika hakim berat sebelah, maka argumen yang menguntungkan pihak X (yang ia lebih cenderung padanya) secara tidak sadar akan menarik perhatiannya, dan argumen yang menyudutkan pihak X secara otomatis akan diabaikan olehnya. Hal inilah yang menyesatkan hakim.

Jika manusia bersikap tidak netral dan pikirannya berat sebelah, secara tidak disadari maka arah pikirannya akan condong ke hawa nafsunya dan apa yang disukai hawa nafsunya. Itulah sebabnya Islam memandang hawa nafsu dan juga bersandar pada persangkaan sebagai sumber kesalahan; “Mereka hanya mengikuti persangkaan dan apa yang diinginkan hawa nafsu mereka.”[6]

3. Tergesa-gesa
Untuk mengemukan pendapat mengenai suatu persoalan, kita harus memiliki bukti yang memadai. Kalau belum ada bukti yang cukup, boleh jadi pendapat yang dikemukakan akan salah.

4. Berpikir jumud dan melihat ke masa lampau
Kecenderungan alamiah manusia adalah cepat menerima gagasan atau kepercayaan yang sudah diterima oleh generasi sebelumnya, tanpa memikirkan lebih jauh. Islam mengingatkan manusia agar berpikir independen dan tidak menerima apapun tanpa menilai dengan seksama, serta islam melarang mengikuti sesuatu hanya semata-mata karena sudah diterima oleh generasi sebelumnya, “(mereka berkata) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati pada nenek moyang kami. Walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.”[7]

5. Memuja tokoh
Yang juga menyebabkan terjadinya salah berpikir adalah memuja tokoh. Akibat sangat dihormati, tokoh sejarah dan tokoh kontemporer yang termasyhur mempengaruhi pemikiran dan kehendak orang, sesungguhnya tokoh-tokoh terkenal mengendalikan pemikiran orang. Orang berpikir seperti pikiran tokoh, dan berpendapat seperti pendapat tokoh. Orang tidak berani beda dengan tokoh dan karena itu orang kehilangan kemerdekaan berpikir dan berkehendak. Ajaran agama Islam menyeru pengikutnya agar berpikir independen, dan jangan taklid buta mengikuti orang-orang tua, karena dengan berbuat demikian ada kemungkinan kita akan mendapat nasib buruk. Islam menyetir pernyataan orang-orang seperti ini; “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin kami dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.”[8]


Agama dan Integritas Manusia
Penyatuan eksistensi manusia dalam sebuah sistem psikologis yang selaras dengan kecendrungan manusiawi dan kesempurnaannya, dan begitu juga penyatuan masyarakat manusia dalam sebuah sistem sosial yang harmonis dan sempurna, merupakan dua hal yang selalu saja menarik perhatian manusia. Kebalikan dari penyatuan adalah polarisasi personalitas individual dan keterbagian personalitas tersebut menjadi segmen-segmen yang saling berselisih, dan terbaginya masyarakat menjadi kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang saling bertentangan. Masalahnya adalah: bagaimana caranya agar personalitas individual berkembang harmonis, baik dari segi kejiwaan maupun dari segi sosial. Dalam hal ini ada tiga teori: teori materialistis, teori idealistis, dan teori realistis:

1. Teori Materialistis
Yang menjadi substansi pemikiran para penganut teori ini hanyalah materi. Mereka tidak memandang penting arti jiwa. Mereka mengklaim bahwa yang membagi-bagi individu secara psikologis dan membagi-bagi masyarakat secara sosial dan yang menjadi penyebab perpecahan dan ketidakutuhan adalah adanya sistem pemilikan pribadi.
Pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial pada awal sejarahnya, manusia hidup secara kolektif, dan menyadari eksistensi individualnya. Pada saat itu manusia memiliki jiwa kolektif dan perasaan kolektif. Sandaran hidupnya adalah berburu. Setiap orang dapat mencari nafkah dari sungai dan hutan menurut kebutuhannya. Tak ada masalah surplus produksi. Masalah surplus ini baru muncul ketika manusia menemukan cara berproduksi. Dengan cara ini muncul kemungkinan sebagian orang bekerja sementara sebagian lainnya tinggal makan saja tanpa perlu bekerja. Ini merupakan perkembangan yang melahirkan praktek hak milik. Hak pribadi untuk memiliki sumber-sumber produksi seperti air dan tanah serta alat produksi seperi bajak, menghapus semangat kolektif dan membagi-bagi masyarakat yang sejauh itu hidup sebagai satu unit menjadi “kaum mampu” dan “kaum tak mampu”. Masyarakat yang hidup sebagai “kami” berubah bentuk menjadi “aku”.
Akibat munculnya hak milik ini, manusia menjadi tidak menyadari realitasnya sendiri sebagai mahluk sosial. Kalau sebelumnya manusia merasa hanya sebagai manusia seperti manusia lainnya, maka sekarang manusia memandang dirinya sendiri sebagai pemilik bukan sebagai manusia. Maka manusia menjadi tidak menyadari dirinya sendiri, dan mulai memburuk keadaannya. Hanya dengan mengahapus sistem hak milik pribadi, manusia dapat pulih kembali pada kesatuan moral, mental dan sosialnya.
Gerakan sejarah yang sifatnya wajib itu sudah terjadi ke arah ini. Milik peribadi, yang telah mengubah kesatuan manusia menjadi pluralitas, dan mengubah kesamaan menjadi sendiri-sendiri. Murtadha Mutahhari memberikan tamsil dari Maulawi –seorang penyair sufistik Persia- dengan sebuah menara kecil dan puncak yang terbias pecahan-pecahan sorotan cahaya matahari ke dalam ruang-ruang terpisah dengan menghasilkan segmen-segmen bayangan di antaranya. Tentu saja Maulawi menggambarkan sebuah kebenaran pengetahuan rohaniah, yaitu munculnya pluralitas dari kesatuan, yang pada akhirnya akan kembali kepada kesatuan.[9] Bila ingin menarik kesimpulan umum, teori di atas merupan ilustrasi teori sosialismenya Marxis.

2. Teori Idealitas
Teori ini hanya memandang penting arti jiwa manusia dan hubungan manusia dengan rohaninya saja. Menurut teori ini, hubungan manusia dengan benda-benda material telah menghapus kesatuan, telah menyebabkan terjadinya pluralitas, dan mencabik-cabik kolektifitas. Hubungan seperti itu menyebabkan menderita penyakit mental (schizophrenia: penyakit mental yang ditandai dengan kerusakan hubungan antara pikiran, perasaan dan tindakan, yang seringkali disertai khayalan dan tindakan menjauh dari kehidupan sosial), dan membagi masyarakat menjadi kelas-kelas.
Namun, yang juga perlu diingat adalah dalam kasus keterikatan satu hal dengan hal lain, maka hal kedua menjadi penyebab tercabik-cabiknya hal pertama. Karena itu, keterikan hal-hal seperti harta, istri dan jabatan dengan manusia bukanlah penyebab penyakit mental manusia dan menjadi terbaginya manusia menjadi kelas-kelas. Justru penyebab penyakit mental dan keterbagian masyarakat menjadi kelas-kelas adalah keterikatan sepenuh hati manusia dengan hal-hal material. Yang membuat manusia merasa asing adalah “rasa dikuasai”-nya. Dari sudut pandang moral dan sosial, yang mencabik-cabik individualitas bukanlah “harta”, “istri” dan “jabatan”, melainkan “menjadi harta”, menjadi istri” dan “menjadi jabatan”.
Untuk mengubah “aku” menjadi “kita” tidaklah perlu memutuskan hal-hal material dengan manusia. Namun, yang harus diputus adalah hubungan manusia dengan hal-hal material. Bebaskan manusia dari keterikan dengan hal-hal material, agar dia dapat balik kerealitas manusiawinya. Berilah manusia kebebasan moral dan spritualnya. Membebaskan hal-hal material dari dikuasai manusia, tidak ada gunanya. Kesatuan moral dan sosial manusia merupakan masalah pendidikan dan pelatihan spiritual bukan masalah ekonomi. Yang dibutuhkan adalah membangun atau mengembangkan ruhani manusia, bukan membatasi raganya. Pada mulanya manusia adalah hewan, kemudian “manusia”. Pada dasarnya manusia adalah hewan, dan berkat upayanya dia menjadi manusia. Dengan pendidikan yang benar, manusia dapat memperoleh sisi manusiawinya yang terpendam. Sebelum memperoleh sisi manusiawi yang terpendam tersebut, manusia pada dasarnya tetap hewan yang mempunyai potensi jiwa manusia.
Tidaklah humanistis kalau menganggap hal-hal material sebagai penyebab perpecahan dan persatuan manusia, dan tidak juga humanistis kalau berpandangan bahwa karena hal-hal material dimiliki sendiri-sendiri oleh individu-individu maka manusia terkotak-kotak, dan karena hal-hal material dimiliki bersama maka manusia bersatu, dan bahwa personalitas moral dan sosialnya dipengaruhi oleh situasi ekonomi dan produksi. Faham-faham seperti itu merupakan akibat tidak mengenal manusia dan akibat tidak mempercayai misi manusiawi manusia dan kemampuan manusia untuk memahami dan berkehendak.
Juga mustahil mumutuskan secara total hubungan pribadi manusia dengan hal-hal material. Sekali pun hubungan manusia dengan harta diputus, tetap saja mustahil memutuskan hubungan manusia dengan istri, anak dan keluarganya. Mungkinkah menampilkan sosialisme di bidang ini juga, dan membentuk kemunisme seksual? Kalau ini mungkin, kenapa negara-negara yang menghapus hak milik pribadi tetap saja memakai sistem keluarga? Misal saja sistem keluarga yang alamiah itu juga disosialiskan, lantas apa yang akan dilakukan terhadap pekerjaan, jabatan, prestise dan kehormatan? Mungkinkah semua orang sama-sama menikmati hal-hal ini juga? Bagaimana dengan kemampuan fisis dan mental individu? Hubungan-hubungan ini merupakan bagian integral dari eksistensi setiap individu dan tak dapat dipisahkan dari individu.

3. Teori Realistis
Menurut teori ini, dari sudut pandang individu dan masyarakat, yang membuat manusia terkotak-kotak bukanlah hubungan manusia dengan hal-hal material, juga bukan hubungan hal-hal material dengan manusia. Penyebab manusia menjadi budak bukanlah karena ia memiliki atau menguasai, juga bukan sebaliknya. Yang pertama yang dipandang penting oleh teori ini adalah faktor-faktor pendidikan, pelatihan, revolusi, pemikiran, idiologi dan kemerdekaan spiritual. Teori ini percaya bahwa manusia bukanlah mahluk material murni, dan juga bukan mahluk spiritual murni. Kehidupan di dunia ini dan di akhirat saling berkaitan erat satu sama lain, raga dan jiwa saling berinteraksi.
Faktor-faktor penyebab penyakit mental harus diperangi dengan bantuan iman dan tauhid ibadah. Diskriminasi, kelaliman, penindasan, dan tuhan-tuhan palsu juga harus diperangi.
Inilah jalan pikiran agama Islam. Begitu datang, Islam mulai melakukan gerakan, dan mulai mewujudkan revolusi. Namun Islam tidak pernah mengatakan bahwa jika diskriminasi dan kelaliman dihapus, atau jika hak milik pribadi ditiadakan, maka segalanya akan beres. Islam juga tidak mengatakan bahwa jika anda memperbaharui diri dari dalam, tak berhubungan dunia lahiriah, dan meningkatkan kualitas moral anda, maka secara otomatis masyarakat akan terperbaharui juga. Islam juga menyerukan tauhid rohaniah dicapai melalui jihad dan ketidak adilan sosial diperangi. Ayat berikut ini yang menyoroti cakrawala kesatuan manusia dan yang dicantumkan oleh Nabi Muhammad Saw. Dalam surat-suratnya untuk pemimpin berbagai negara, mengejawantahkan realisme Islam dalam segala hal: “Marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian; bahwa tidak ada kita sembah selain Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun”
Sampai pada point ini, ayat tersebut berbicara mengenai kesatuan manusia melalui iman, sebuah ideal bersama dan pencapaian kemerdekaan spiritual. Kemudian ayat ini mengatakan, “Tak ada di antara kita yang akan menjadikan yang lain sebagai Tuhan di samping Allah.”[10]
Kalau kita berbuat sesuai dengan ajaran Islam ini, maka kita tidak akan terkotak-kotak menjadi tuan dan budak, dan akan mampu mencegah terjadinya hubungan sosial yang tidak benar yang berakibat terjadinya diskriminasi. Ali Bin Abi Thalib, setelah menjabat kepala pemerintahan, memberikan prioritas kepada dua hal. Yang pertama adalah reformasi spiritual dan moral masyarakat, memasyarakatkan pengetahuan tentang Tuhan, yang contoh-contohnya terdapat dalan nahjul balaghah.[11] Dan yang kedua adalah perjuangan memerangi diskriminasi sosial. Dia tidak merasa cukup dengan reformasi rohaniah, juga tidak memandang cukup reformasi sosial semata-mata. Di satu sisi Islam memiliki program pendidikan masyarakat dan sosialisasi keimanan kepada Allah untuk mewujudkan kesatuan individual dan sosial umat manusia, dan di sisi lain Islam juga memakai logika kekuatan untuk memperbaiki hubungan antar manusia yang tidak seimbang, untuk menghapus perbedaan kelas, dan untuk merubuhkan tuhan-tuhan palsu.
Masyarakat Islam yang tak berkelas artinya adalah suatu masyarakat yang adil, dalam masyarakat seperti ini tidak ada diskriminasi, tak ada perampasan, tak ada tirani, dan tidak ada tuhan-tuhan palsu. Artinya bukanlah suatu masyarakat yang tidak ada keragaman di dalamnya, karena tak adanya keragaman itu sendiri merupakan bentuk ketidak adilan. Ada perbedaan antara diskriminasi dan keragaman. Dalam sistem penciptaan alam semesta, ada keragaman yang menata sistem tersebut, namun di dalamnya tidak ada diskriminasi. Masyarakat Islam paripurna merupakan masyarakat yang menentang diskriminasi, namun tidak menentang keragaman. Masyarakat Islam adalah masyarakat persamaan dan persaudaraan. Namun persamaannya positif, bukan negative. Masyarakat Islam mentolerir perbedaan alamiah individu-individu dan tidak meniadakan perbedaan yang terjadi karena hasil upaya para individunya. Masyarakat Islam menegakkan persamaan positif dengan memberikan peluang yang sama kepada semua orang dan dengan menghapus keunggulan yang imajiner atau tidak adil.
Masyarakat Islam adalah masyarakat alamiah. Bukan masyarakat yang diskriminatif, dan juga bukan masyarakat yang di dalamnya terjadi persamaan yang negativ. Prinsip Islam adalah “Bekerja menurut kemampuan, memperoleh imbalan menurut hasil kerja.”
Dalam masyarakat yang diskriminatif, hubungan antara individu didasarkan pada perbudakan dan eksploitasi. Namun dalam masyarakat yang alamiah tak ada eksploitasi dan orang tak dibolehkan hidup dengan mengorbankan orang lain. Hubungan antara individu didasarkan pada saling memberikan jasa. Semua orang bekerja menurut kemampuannya dan dalam ruang lingkup potensinya. Semua orang saling melayani satu sama lain. Dengan kata lain, kaidahnya adalah saling memamfaatkan jasa. Kalau seseorang mempunyai kemampuan teknis yang lebih, maka semakin banyak orang yang bekerja di bawah petunjuknya. Itulah sebabnya, agama ini menentang eksistensi tuan dan hamba dalam masyarakat, mengakui eksistensi keragaman alamiah dan perbedaan tingkat kemampuan yang diciptakan Tuhan.
Meskipun untuk memenuhi kebutuhan alamiahnya manusia saling membutuhkan satu sama lain, namun masih ada ruang lingkup yang memadai dalam masyarakat, yaitu ruang lingkup kompetisi bebas. Beda dengan hewan yang suka hidup berkelompok didasarkan pada hubungan yang sifatnya terpaksa. Karena itu, kebutuhan manusia untuk hidup berkelompok beda dengan lebah. Kehidupan lebah diatur oleh hukum-hukum yang tidak bisa ditawar-tawar, tidak terdapat ruang untuk kompetisi, lebah tidak ada kemungkinan untuk naik atau turun, manusia di samping sebagai mahluk sosial, juga memiliki kebebasan.
Masyarakat manusia merupakan ajang bagi berlangsung dan berkembangnya kompetisi. Kalau individu dibatasi kebebasannya untuk berkompetisi, maka akibatnya adalah kemampuan manusia tidak berkembang. Manusia model bagi mazhab materialistis, meskipun mendapat beberapa pembatasan lahiriah, tidak mampu meraih kemerdekaan rohaniah. Dia bagaikan burung yang tak bersayap, sekalipun ia tidak hidup dalam sangkar tapi tetap saja tidak dapat terbang. Manusia model bagi masyarakat idealistis memiliki kemerdekaan rohaniah namun lahiriahnya diikat. Dia bagaikan burung yang bersayap namun kakinya diikat kuat-kuat. Sedangkan manusia ideal bagi mazhab realistis adalah bagaikan burung yang bersayap dan kakinya tidak diikat dan dapat terbang tanpa mengalami kesulitan.[12]
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa tauhid praktis, baik individual maupun sosial, artinya adalah tunduk patuh hanya menyembah Allah swt. dan menolak setiap pemujaan kepada nafsu, uang, privilese, da seterusnya. Kalau untuk sosial, artinya juga adalah tunduk patuh sepenuh hati kepada aturan yang adil dan keadilan, dan menolak segala nilai yang palsu, diskriminasi dan ketidak adilan. Kalau pada individu dan masyarakat tidak tunduk patuh sepenuh hati, maka kebahagiaan dan kesejahteraan tidak dapat diraihnya. Mereka baru dapat disebut tunduk patuh sepenuh hati bila berlaku benar. Islam menggambarkan terpecah-pecahnya personalitas manusia dan kebingungannya hidup di bawah sistem kemusyrikan serta pencapaiannya kepada persatuan dan tujuan, dengan berada di bawah sistem tauhid dan kalimat berikut: Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang lelaki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh seorang lelaki saja. Adakah kedua budak itu sama halnya?”[13]
Di bawah sistem kemusyrikan, manusia bagaikan jerami yang setiap saat diombang-ambingkan oleh ombak laut ke arah berbeda. Di bawah sistem tauhid, manusia bagaikan bahtera lengkap peralatannya, jalannya teratur, dan berada di bawah komando kapten yang baik.

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity