11/09/08

Nubuwwah dan Jalan Kesempurnaan Manusia

"Manusia adalah maujud menyempurna, bukan maujud statis yang tak berkembang dan permanen. Oleh sebab itu manusia tidak seperti malaikat, iblis, kuda, sapi, kambing, tumbuhan dan batu, dimana maujud-maujud tersebut sudah ditetapkan esensialitasnya, maksudnya esensialitas mereka tertutup dan tidak menerima perubahan. Berbeda dengan manusia yang merupakan maujud beresensialitas terbuka, yakni menusia dapat menentukan esensialitas akhirnya sesuai dengan ikhtiyarnya, apakah ia menjadi manusia malaikat ataukah ia menjadi manusia iblis, ataukah ia menjadi manusia hewan pemangsa sesamanya."


Manusia adalah maujud menyempurna, bukan maujud statis yang tak berkembang dan permanen. Oleh sebab itu manusia tidak seperti malaikat, iblis, kuda, sapi, kambing, tumbuhan dan batu, dimana maujud-maujud tersebut sudah ditetapkan esensialitasnya, maksudnya esensialitas mereka tertutup dan tidak menerima perubahan. Berbeda dengan manusia yang merupakan maujud beresensialitas terbuka, yakni menusia dapat menentukan esensialitas akhirnya sesuai dengan ikhtiyarnya, apakah ia menjadi manusia malaikat ataukah ia menjadi manusia iblis, ataukah ia menjadi manusia hewan pemangsa sesamanya.

Kelebihan Manusia atas Hewan
Makhluk manusia dari segi esensilitas lebih dekat dengan hewan-hewan (kuda,sapi,kambing,kucing,tikus,dll) sebab dari segi quiditas, manusia itu adalah hewan yang natiq (berlogika), artinya manusia dari dimensi kegenusan (jins) sama dengan hewan-hewan lainnya yakni genus hewan. Masalahnya sekarang apa yang membuat manusia berbeda dengan hewan lainnya dari segi aktualisasi esensialitas?
Hewan dalam prilaku dan perbuatannya senantiasa berasaskan atas instink, mereka tidak dibimbing dan diarahkan oleh akal dan pengetahuan. Dalam arti hewan hanya mewarisi apa yang sudah Tuhan tetapkan pada kehidupan species mereka yang pertama, tidak terdapat perkembangan menuju pada kesempurnaan, baik secara vertikal maupun secara horizontal. Kita lihat misalnya cara hidup masyarakat semut, meskipun cara hidup bermasyarakat hewan tersebut adalah paling kompleks di antara hewan-hewan, tetapi cara hidup bermasyarakat semut tersebut tidak mengalami perubahan dan perkembangan. Atau kita lihat cara membuat rumah lebah, atau cara hidup hewan-hewan di hutan, atau anjing dan kucing yang banyak dipelihara dan dekat dengan manusia, meskipun kedua jenis hewan yang terakhir ini mengalami perkembangan akibat pelatihan yang diberikan manusia, tetapi hal itu hanya sifatnya kecil, dan dibanding apa yang diraih manusia dan apa yang berkembang pada manusia, maka hal itu tidak memiliki arti sama sekali.
Namun manusia yang juga pada dasarnya tergolong jenis hewan (hewan yang berlogika) sebagian dari perbuatan dan tingkah lakunya berasaskan instink (gharizah) dan tabiat, sebab itu dalam konteks ini manusia tidak jauh berbeda dengan hewan-hewan lainnya, seperti kecenderungan kawin, makan dan minum, melindungi diri dan menyayangi anak-anaknya. Adapun kelebihan esensi manusia dari esensi hewan-hewan lainnya adalah akal dan pikiran yang Tuhan berikan padanya. Dengan akal dan pikirannya, manusia dapat mengontrol instink dan tabiatnya, mengarahkan instink dan tabiatnya pada perilaku dan perbuatan khusus demi kebaikan dan kesempurnaannya. Bahkan lebih jauh, dengan akalnya manusia mampu menyingkap rahasia-rahasia semesta, serta dapat menguak tabir-tabir hakikat eksistensi. Oleh karena itu jika manusia tidak menggunakan akal dan pikiran yang ada padanya dan hanya mengikuti instink dan kecenderungan tabiatnya, dalam kondisi ini manusia tidak berbeda dari hewan, bahkan manusia dari segi nilai dan esensi lebih rendah dari hewan. Al-Quran dalam hal ini menyebutkan: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda dan kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu laksana binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. al-‘Araf [7]:179).
Sekarang jelas bagi kita adanya perbedaan asasi antara manusia dengan hewan-hewan lainnya, yakni manusia untuk mencapai kehidupan insaniah yang ideal, dia tidak boleh hanya membatasi dirinya dengan mengikuti instink tabiatnya, tapi lebih dari itu potensi akal yang ada padanya harus digunakan dengan sungguh-sungguh, manusia harus dengan segala pilihan yang ada dan kebebasan yang ada mengambil pilihan dan ikhtiar yang tepat dalam mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan kemanusiaannya, sebab itu apabila manusia tidak melakukan hal demikian, maka ia akan hidup sia-sia di dunia seperti hewan-hewan lainnya (terlebih lagi di akhirat ia akan mendapatkan kesengsaraan abadi), dan manusia seperti ini menurut Al-Quran adalah paling buruknya binatang melata: “Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya pada sisi Allah adalah orang-orang yang pekak dan tuli (tidak mau mendengar dan memahami kebenaran), mereka adalah orang-orang yang tidak berakal (menggunakan akal) (QS. al-Anfal [8]:22).

Kebutuhan Manusia atas Ideologi (way of life)
Dengan mengetahui adanya perbedaan prinsipil antara kehidupan manusia dan kehidupan hewan-hewan lainnya dimana manusia mempunyai kehidupan ideal yang bergantung dengan penggunaan akal pikiran secara benar, maka menjadi jelaslah bahwa manusia membutuhkan satu sistem aturan hidup yang berdasarkan "Wajib dan Tidak Wajib", "Harus dan Tidak Harus".
Harus dan tidak harus ini kadang bersifat partikuler dan berkenan dengan masalah khusus dan kadang universal berbentuk hukum-hukum yang meliputi seluruh manusia. Istilah harus dan tidak harus yang terakhir ini yang menentukan dasar prilaku dan prinsip perbuatan manusia yang disebut dengan ideologi (Amuzesy Aqaid, jil. 1, Ayatullah Misbah Yazdi, hal.12). Sebagai contoh perkataan: "Tuhan wajib disembah", perkataan ini bermakna kewajiban menyembah Tuhan adalah tugas semua manusia, bersifat universal dan menyeluruh, maka ini disebut dengan ideologi. Berbeda misalnya jika kita berkata: " Seluruh kemampuan yang ada harus dikerahkan dijalan perjuangan Islam", untuk konteks yang kedua ini wilayahnya lebih sempit dan obyeknya lebih khusus, sebab itu disebut sebagai strategi bukan ideologi.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, manusia untuk mencapai derajat kemanusiaan membutuhkan suatu perangkat hukum dan way of life yang bersesuaian dengan potensi rasio dan logikanya yang dapat mengarahkan mereka pada pencapaian kehidupan ideal kemanusiaan. Oleh sebab itu jika manusia keluar dari rel akal dan rasio serta hanya mengikuti instink tabiat hewani, "penciptaan mereka yang merupakan sebaik-baik penciptaan akan jatuh dalam kondisi (sedeminter) serendah-rendahnya." (QS. at-Tin: 5-6).

Kebutuhan Manusia atas Pandangan Dunia
Di atas sudah kita bahas kebutuhan manusia atas idiologi, sekarang dengan memperhatikan hal tersebut dapat disimpulkan manusia niscaya juga membutuhkan pandangan dunia, sebab suatu idiologi khusus harus bersandar pada suatu pandangan dunia khusus, sebagaimana hukum-hukum akal praktis harus bersandar pada hukum-hukum akal teoritis yang kokoh (Idiologi Tatbiqi, Ayatullah Misbah Yazdi, Penerbit: Muassasah Dar Rohe Hak wa Ushule Din, hal.5). Misalnya hukum akal praktis: "Tuhan wajib disembah", hukum tersebut harus berdasarkan pada hukum akal teoritis : "Tuhan ada dan Tuhan adalah pencipta manusia dan maujud-maujud lainnya". Selama hal tersebut belum dibuktikan dengan akal teoritis, maka peran akal praktis dalam hal ini tidak punya arti. Kesimpulan: Manusia baru dapat memiliki idiologi yang benar ketika dia sebelumnya memiliki pandangan dunia yang benar .

Tema dan Masalah Pandangan Dunia
Pertama harus kita ketahui bahwa tidak semua masalah-masalah pandangan dunia memiliki kedudukan yang sama. Dan kita dapat membahas masalah-masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai dan urgensinya, atau masalah yang mana didahulukan dan yang mana diakhirkan. Misalnya masalah surga dan neraka dan dimensi kebagaimanaan keduanya, atau masalah malaikat-malaikat beserta pembagian tugas-tugas mereka, dan atau hatta setan dan iblis, semua masalah-masalah tersebut mempunyai kedudukan dalam pandangan dunia Islam, tetapi jika dibanding dengan makrifat pada Tuhan, makrifat pada ma'ad, dan makrifat pada nabi, ketiga masalah terakhir ini memiliki kedudukan dan nilai yang lebih tinggi dari masalah-masalah tersebut.
Dalam bahasan ini kita hanya membahas masalah pandangan dunia yang sangat penting dan paling tinggi nilainya yang memiliki hubungan langsung dengan idiologi. Masalah-masalah tersebut berhubungan dengan pengetahuan manusia akan hakikat eksistensi, hakikat manusia itu sendiri, dan hakikat cara dan jalan kesempurnaan serta kebahagiaan.

Pengetahuan Ihwal Hakikat Eksistensi
Dalam alam eksistensi terdapat maujud-maujud dan fenomena-fenomena yang sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Kita juga manusia adalah bagian dari totalitas alam eksistensi ini. Sementara itu sangat banyak hal yang sebelumnya kita sangka mempunyai wujud dan memberi efek terhadap wujud lainnya, tetapi kemudian kita ketahui jika hal itu hanyalah bohong dan tidak punya realitas diluar, misalnya konsepsi tentang kebetulan dan keberuntungan. Sebaliknya juga betapa banyak orang tidak meyakini keberadaan akan sesuatu dan menyangka hal itu hanyalah imajinasi kosong dan bohong, tetapi hal itu kemudian terbukti memiliki realitas dan memberi pengaruh terhadap yang lainnya, misalnya ruh dan iblis.
Dari sisi ini manusia yang mempunyai fitrah rasa ingin tahu dan pencarian, harus membedakan maujud-maujud hakiki dari maujud-maujud imajinasi demi untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, dan kesempurnaan serta kebahagiaan yang ada tidak keluar dari lingkaran eksistensi itu sendiri, bahkan hal ini bergantung dan berhubungan langsung dengan alam eksistensi. Dalam makna lain menusia menginginkan kebahagiaan dan kesempurnaan, dan manusia tidak ragu bahwa hal tersebut bisa didapati diantara keberadaan-keberadaan yang hakiki. Masalahnya adalah manusia harus mengetahui batasan-batasan eksistensi sejauh mana dan sampai dimana? Apakah batasannya hanya meliputi materi dan dunia materi ini saja? Ataukah diluar dunia materi ini terdapat maujud-maujud lain? Dan jika terdapat meujud-maujud lain diluar dunia materi ini, mana diantaranya yang lebih prinsip dan lebih asas, dan bagaimana hubungan antara alam materi ini dengan alam non materi ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut timbul dalam diri manusia untuk mengetahui dan mengenal alam diluar dirinya, dan pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab dalam rangka mencapai ilmu dan pengetahuan yang benar dan yakin terhadap alam eksistensi yang memiliki pengaruh pada pencapaian kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki manusia, sebab hanya dengan pengetahuan benar dan yakin sajalah yang mampu membawa manusia pada tujuan yang benar dan hakiki.
Dari uraian di atas dapat diketahui betapa bernilai dan pentingnya pengetahuan terhadap wujud dalam masalah pandangan dunia, dan perlu diketahui bahwa memecahkan masalah wujud ini yang akan membawa kita pada pengetahuan akan wujud Tuhan dan tauhid nantinya.

Pengetahuan tentang manusia
Tak bisa dipungkiri semua manusia menginginkan kebahagiaan dan keabadian, dan sebaliknya manusia membenci kesengsaraan dan kemusnahan. Masalahnya adalah apakah kebahagiaan itu hanya ada dan tersedia di dunia? Bukankah kita menyaksikan kesenangan dunia ini bercampur dengan kesedihan? Dan bukankah manusia akan mati dan jasadnya akan hancur? Yakni dunia ini bukan tempat keabadian dan kebahagiaan hakiki bagi manusia. Lantas adakah alam lain untuk meraih itu semua? Jika ada dimensi yang mana dari bagian manusia yang dapat bersamanya dan merasakannya?
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka dibutuhkan jawaban dan kajian yang dalam tentang diri manusia, dimensi-dimensi yang menyusun diri manusia. Siapakah aku? Apakah aku ini terbatas atas susunan materi saja, ataukah ada hal lain yang menyusun aku yang bukan materi? Yang jelas untuk mendapatkan jalan ke alam yang tidak fana tersebut tidak mungkin dengan jasad ini, sebab sebagaimana kita saksikan jasad ini hancur dan fana. Oleh karena itu dibutuhkan dimensi lain dari diri ini untuk menuju ke alam sana . Dari sini muncul pertanyaan lain apakah benar manusia tersusun dari ruh dan jasad? Dan apakah ruh itu? Serta benarkah bahwa jika manusia ingin meraih kebahagiaan hakiki tidak cukup hanya menfasilitasi kebutuhan-kebutuhan fisik yang materi ini, tetapi kebutuhan-kebutuhan maknawi juga sangat dibutuhkan, bahkan kebutuhan maknawi ini lebih prinsip dibanding kebutuhan fisik, sebab inilah yang akan menjadi bekal pada perjalanan manusia ke alam abadi? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan pertanyaan semisalnya yang berhubungan dengan hakikat manusia mempunyai arti yang sangat penting dan bernilai dalam masalah pandangan dunia, dan memecahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat darurat untuk suatu pandangan dunia, sebab ini nantinya akan berakhir pada masalah Maad (Eskatologi) yang merupakan salah satu yang sangat asas dalam pandangan dunia agama.

Pengetahuan Tentang Jalan
Pertanyaan lain yang berhubungan dengan fitrah manusia yang menginginkan kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki adalah jalan apa yang dapat menyampaikan manusia pada kesempurnaan dan kebahagiaan tersebut? Dan system serta aturan-aturan kehidupan yang bagaimana yang benar yang pada akhirnya menyampaikan manusia pada tujuan hakikinya? Pertanyaan-pertanyaan ini juga sama dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya memiliki nilai dan arti yang sangat penting untuk dijawab, dengan syarat masalah yang kedua dari pandangan dunia sudah dibuktikan keberadaan dan kebenarannya. Yakni kebahagiaan hakiki dan abadi manusia dapat terjadi di alam lain dan dunia ini hanya sarana mendapatkan bekal untuk alam tersebut. Oleh sebab itu di dunia ini dibutuhkan suatu system dan jadwal kehidupan yang benar yang mampu mengarahkan dan memberi petunjuk manusia selama manusia hidup di dunia ini. Disinilah menjadi jelas kebutuhan dan kedaruratan masalah pengetahuan tentang jalan sebagai salah satu masalah yang fundamen dalam suatu pandangan dunia.
Pembahasan masalah pengetahuan tentang jalan ini juga memiliki arti penting sebagai penghubung antara mabda dan maad manusia (dari mana dan hendak kemana manusia). Yakni berkenan sejauh mana Tuhan pencipta memberikan hidayah dan bimbingan pada manusia dalam mendapatkan kesempurnaan dan kebahagiaan. Dari pembahasan ini juga dapat ditentukan apakah manusia untuk mencapai tujuannya membutuhkan system dan undang-undang dari Tuhan atau cukup manusia sendiri yang membuatnya? Dan dari memecahkan masalah pengetahuan tentang jalan inilah yang akan menghubungkan rantai pandangan dunia dan idiologi, sebab dari masalah ini membawa kita pada kebutuhan terhadap Rasul Tuhan dan Nabi Tuhan yang membawa system dan undang-undang yang berisi apa yang harus dan tidak harus manusia lakukan dalam kehidupan di alam dunia ini.

Jalan Nubuwwah
Nubuwwah (kenabian) adalah pemberian dan karunia Ilahi kepada hamba-Nya yang telah mencapai insan kamil secara akal nazari (teoritis) dan akal amali (praktis) (Mabda wa Ma’ad, Ayatullah Jawadi Amuli, penerbit az-Zahra hal.258). Dan tugas dari seorang Nabi memberi petunjuk pada manusia kejalan Ilahi dengan mengangkat mereka dari alam kegelapan dan kebodohan kepada jalan cahaya dan akal makrifat.
Dalam kitab-kitab kalam dan filsafat islam senantiasa dimuat argument-argumen kedarurian kenabian dalam bentuk rumusan argument yang bermacam-macam, yang pada intinya membuktikan keniscayaan adanya nabi yang diutus Tuhan untuk membimbing ummat manusia dalam meraih kesempurnaan hakikat insaniahnya.
Tidak diragukan bahwa fitrah manusia mencintai keteraturan dan keharmonisan. Tapi manusia disamping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk masyarakat yang didalamnya tersusun individu-individu lainnya. Dan dalam masyarakat ini terdapat bermacam-macam perbedaan kecenderungan, kebutuhan, dan kepentingan diantara anggota-anggotanya, yang mana perbedaan tersebut dapat menjadi penyebab ketidak teraturan didalam system masyarakat. Untuk terciptanya keteraturan dan keharmonisan dalam masyarakat, sebagaimana masyarakat membutuhkan individu-individu sebagai bangunan fisiknya, ia juga membutuhkan undang-undang sebagai perekat dan bentuk bagi bangunan tersebut, bahkan ia juga membutuhkan pembuat undang-undang yang merumuskan bentuk aturan yang paling tepat untuk masyarakat. Sebab undang-undang yang tepat bagi manusia adalah undang-undang yang memenuhi seluruh dimensi kebutuhan dan kepentingannya secara sempurna dalam menjaga keharmonisan wujud individunya dan wujud masyarakatnya, maka undang-undang tersebut haruslah dibuat oleh wujud yang mengetahui seluruh aspek dan dimensi kebutuhan serta kepentingan manusia. Singkat kata harus datang dari pencipta manusia yang mengetahui seluk beluk hakikat dan esensialitas manusia, dan yang terjaga dari kesalahan keberpihakan pada salah satu anggota individu atau golongan masyarakat. Sebab jika manusia yang membuat undang-undang untuk seluruh manusia, maka selain mereka tidak mengetahui hakikat dan esensialitas manusia secara sempurna, mereka juga tidak terjaga dari kesalahan keberpihakan pada salah satu kepentingan atau kebutuhan yang terdapat pada masyarakat manusia, sehingga natijahnya mereka tidak akan pernah dapat melahirkan aturan yang berlaku adil bagi seluruh masyarakat manusia. Oleh sebab itu undang-undang harus datang dari Tuhan dalam bentuk wahyu Tuhan, dan wahyu tersebut harus ada yang menerimanya yang secara hakikat mempunyai kesinkhiyatan (kesesuaian) dengan wahyu Tuhan tersebut, dan itu adalah Nabi dan Rasul Tuhan (manusia sempurna pilihan) yang diutusNya untuk membimbing dan menyampaikan manusia dalam meraih kesempurnaan wujud individunya dan kesempurnaan wujud masyarakatnya ( yakni terciptanya keteraturan, keharmonisan, dan keadilan dalam masyarakat).
Ustad Ayatullah Jawad Amuli dalam kitab “Intizaare Basyar az Din” dalam menguraikan pembuktian kedarurian (keniscayaan) turunnya wahyu Tuhan dan pengutusan Nabi untuk menyampaikan manusia pada kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan hakiki menyebutkannya dalam bentuk kaidah logis sebagai berikut:
1. Pencipta manusia adalah Tuhan yang maha ‘alim dan maha hakim, dimana manusia diciptakan-Nya untuk tujuan tinggi dan mulia.
2. Manusia adalah suatu hakikat yang abadi dan ia harus bergerak di jalan “Shirat Mustaqim” menuju keabadian, sehingga dengan jalan ini ia dapat menjamin kebahagiaan abadinya, dan jika di jalan ini ia melakukan kesalahan (memilih jalan yang salah), maka ia terpaksa mendapatkan penderitaan dan tidak mendapatkan bahagian dari kebahagiaan abadi.
3. Manusia adalah makhluk Tuhan yang maha ‘alim dan maha hakim, dan hanya Tuhan yang mengetahui secara sempurna hakikat manusia dan dimensi-dimensi eksistensinya serta kebutuhan-kebutuhannya, dan kecuali Dia tidak ada yang mengetahui hakikat manusia, kebutuhan-kebutuhan dan penantian-penantian riil manusia.
4. Sebab hanya Tuhan yang mengetahui hakikat manusia dan dimensi-dimensi eksistensinya serta kebutuhan-kebutuhannya, dan tidak ada satupun maujud kecuali Dia yang sanggup memenuhi penantian-penantian manusia, dan jikapun ia ingin dalam jalan ini merealisasikannya, sebab ia tidak “maksum” (terpelihara dari kesalahan), maka ia pasti jatuh pada kesalahan, dan dengan menyediakan medan-medan kejatuhan manusia, menjadi sebab ia tak dapat bahagian (kebahagiaan) secara abadi, dan kejatuhan serta tidak dapat bahagian (kebahagiaan) secara abadi bagi manusia tidak sesuai dengan inayah dan hikmah Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan sendiri yang menyusun program hidayah manusia dengan mengutus pembawa wahyu yang ma’shum supaya kitab suci tersebut berada dalam ikhtiyar manusia, dan manusia dengan menjalankan program Ilahi tersebut dapat terjaga dari bentuk kealpaan, kelupaan dan kesalahan hidup, sehingga ia dapat sampai pada kebahagiaan hakiki dan tujuan akhir yakni pertemuan dengan Tuhan dalam kondisi pertemuan dengan-Nya dalam kebahagiaan abadi. (Intizaar Basyar az Din, Ayatullah Jawady Amuly, Penerbit: Markazenasyr israa, hal.25-26)
Dari uraian dan argument di atas maka jelaslah bahwa manusia dalam meraih kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki, tidak terlepas dari makrifat iman, amal dan perbuatan yang benar (amal shaleh), sebab terdapat hubungan antara makrifat iman dan amal perbuatan manusia dalam kehidupannya dengan kebahagiaan abadinya. Oleh sebab itu manusia yang benar cara hidupnya, yang ingin mencapai kesempurnaan insaniahnya dan kebahagiaan hakikinya adalah manusia yang mengikuti program Ilahi dengan perantaraan kitab suci-Nya , sunnah dan sirah Nabi-Nya, yang semaunya itu diajarkan dan dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul sebelumnya, serta Nabi dan Rasul-Nya terakhir Muhammad saaw. Firman Allah Swt : “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. al-Baqarah [2]: 151), “Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan nyata” (QS. al-Jum’ah :2)
Menukil dari kitab “Tajalli A’azam” disebutkan bahwa Shainuddin Ali Turkah (Ibnu Turkah, seorang ‘arif sufi) berkata: “Dalam sair suluk shuri (badan materi) dan maknawi, setiap Nabi a.s dinisbahkan pada kaumnya adalah pembimbing dan penunjuk jalan bagi pesuluk dan thaliban (pencari hakikat), tetapi Rasul Saw dikarenakan beliau “Jam’iyyat” (terhimpun seluruh sifat dan asma Tuhan secara sempurna dan harmoni) dan “Khatamiyyat” (Nabi dan Rasul penutup dan terakhir), maka beliau adalah pemimpin dan pembimbing mutlak, tidak terkhususkan untuk satu kaum: “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya” (QS. as-Saba :28), dan beliau ditinjau dari segi sebagai tujuan akhir dalam system eksistensi, maka beliau adalah tingkatan dan urutan pertama: “Sekiranya bukan karena kamu (Muhammad Saw), niscaya tidaklah Aku ciptakan “aflak”(jamaknya falak)” (hadits), dan ditinjau dari segi lahir (badan materi) maka ia adalah Nabi Pamungkas, yakni sesudah abi-nabi lain (Laa Nabiy Ba’di) (Tajalli A’azam, Sayyid Ali Thaba-thabai, Penerbit: Matbu’ate Dini, hal.32).
Rasul Muhammad Saw adalah pemimpin seluruh kafilah suluk dan penapak qalbu, seluruh qalbu dan jiwa semuanya dalam adab-adab merealisasikan syariat, thariqat, dan hakikat mengikuti ia (Nabi Muhammad saaw). Sebab syariat, thariqat, dan hakikat secara asalah (asas dan prinsip) adalah terkhususkan bagi dia, sebagaimana dia bersabda: “Syariat adalah ucapan-ucapanku, dan thariqat adalah keadaan-keadaanku, serta hakikat adalah kondisiku” (Ibid hal.33). Dan untuk meninjau betapa sempurna dan tingginya kedudukan beliau disisi Tuhan, bisa kita telaah lewat ketinggian tingkatan mikrajnya , yakni maqam “Jam’ul jam’i”, dimana maqam ini adalah puncak tingkatan kemanusiaan yang tidak ada satupun nabi dan rasul mendapat jalan sampai pada maqam tersebut. Dan tingkatan ini adalah akhir kenaikan insan yang tidak ada lagi diatasnya dan diakhirnya. Tingkatan tersebut juga disebut “Maqam Mahmud”, yang mana merupakan mikraj maknawi dan wusul hakiki, yang juga perjalanan maqam “Au Adnaa”, firman Allah SWT: “Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)” (QS. an-Najm : 7-9).
Manusia dalam konteks mencapai kesempurnaan hakiki keinsanan, supaya tidak terjebak pada eksprimen hidup yang memerlukan waktu sangat lama dan pengorbanan kesalahan yang sangat besar (yang mana kesalahan ini hasilnya adalah kesengsaraan abadi di alam akhirat), maka sesuai akal, wahyu, dan irfan, niscaya dan daruri mengikuti jalan para Nabi dan Rasul Tuhan a.s yang merupakan manusia sempurna pilihan Allah Swt. Oleh sebab itu Tuhan, demi menyampaikan manusia pada kesempurnaannya, maka hikmah Tuhan memberikan program hidayah lewat perantara Nabi dan Rasul-Nya Saw, dan ini adalah “luthf” (karunia) Tuhan bagi seluruh manusia

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity