30/09/08

Politika

Pilpres 2008 atau 2009?
Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB
Semoga di tengah kesibukan silaturahim Idul Fitri pekan ini Anda masih punya waktu mengikuti terus perkembangan pilpres. Maksud saya bukan Pilpres 2009, tetapi Pilpres 2008 di Amerika Serikat.
Mengapa Pilpres 2008 layak disimak? Sebab, ia bukan hanya sekadar ”pilpres biasa”, tetapi sebuah ”pilpres istimewa”.
Ia istimewa karena hasilnya memengaruhi nasib warga dunia—termasuk kita. Beda dengan Pilpres 2009 yang hasilnya kayaknya enggak ngaruh ke nasib kita.

Pilpres 2008 berlangsung di tengah krismon yang mirip dengan krismon di Indonesia tahun 1998. Gangguan di sektor properti beberapa bulan terakhir memicu kebangkrutan sejumlah lembaga keuangan di AS.
Masalahnya, AS adalah salah satu ekonomi terbesar di dunia. Jika AS sedang ”meriang”, ekonomi negeri-negeri lain bisa ikut ”batuk-batuk” atau ”pilek”.
Telah terbukti mulai kemarin krismon di AS merembet ke lembaga keuangan di beberapa negara Eropa Barat. Tak mustahil wabah itu akan menular ke Asia pula—termasuk ke sini.
Apalagi, tak sedikit lembaga keuangan AS dan Eropa yang beroperasi di sini. Oleh sebab itu, walau tak mungkin ikut Pilpres 2008, tak ada salahnya Anda buka mata dan kuping selebar mungkin membaca koran dan memelototi teve untuk mengikutinya.
Jika perlu, bantulah Barack Obama dengan doa. Sebab, kalau dia yang menang, siapa tahu tiba-tiba muncul the feel good factor, yang insya Allah bisa mengobati penyakit krismon.
Celakalah andai John McCain yang menang. Sebab, sebagai senator, ia mendukung 90 persen kebijakan Presiden George W Bush selama delapan tahun berkuasa.
Bush menyerbu Irak dengan dongeng senjata nuklir dan McCain mendukungnya. Bush, mantan pengusaha minyak bergelar MBA, memihak pengusaha kaya raya dan McCain mendukungnya pula.
Irak sekarang berantakan. Kini Bush mau menggelontorkan bantuan 700 miliar dollar AS untuk para eksekutif kaya raya di Wall Street, New York, yang bergaji selangit itu.
Rencana yang kurang masuk akal itu ditentang keras Obama yang didukung mayoritas rakyat AS. Sekarang semua jajak pendapat membuktikan popularitas Obama makin melonjak meninggalkan McCain.
Ambil contoh hasil survei RealClearPolitics kemarin yang mencatat Obama merebut 47,9 persen suara dibandingkan McCain 43,1 persen. Survei ini malah sudah berani memproyeksikan Obama merebut 278 suara anggota EC (Electoral College) dibandingkan McCain (230).
Total ada 538 anggota EC dari 51 negara bagian yang memilih presiden baru berdasarkan prinsip the winner takes all. Diperlukan minimal 270 suara agar terpilih dan Obama telah melewati angka itu.
Mari ambil contoh lain dari survei Gallup yang membuktikan popularitas Obama telah menembus angka 50 persen dibandingkan McCain yang 42 persen per 27 September. Obama unggul berkat kemenangan saat debat pertama pada 26 September.
Masih ada dua debat lagi tanggal 7 dan 15 Oktober. Debat bukanlah penentu kemenangan, tetapi bisa membantu meningkatkan popularitas capres.
Sebaliknya, debat capres tak ubahnya pertandingan tenis yang mengenal istilah unforced error. Kesalahan substansi atau penampilan sedikit saja bisa memupuskan mimpi menghuni Gedung Putih.
Obama memenangi debat 26 September karena, pertama, McCain tak mampu keluar dari bayang-bayang Bush. Kedua, Obama menang karena menawarkan program-program ekonomi yang lebih memadai dibandingkan McCain.
Perhatian rakyat AS tertuju pada krismon, tak lagi peduli dengan isu-isu panas seperti terorisme, Irak, Iran, Korea Utara, atau Rusia. Seperti di sini, mereka mulai ogah pada model strong leadership ala militer.
Ketiga, Obama menang karena tampil seperti profesor yang memahami duduk perkara persoalan domestik/internasional. Sebaliknya, McCain tak lebih dari Rambo yang mengandalkan ”gaya ketimbang substansi”.
Ia bolak-balik menuding Obama enggak nyandak soal Irak, enggak mampu membedakan strategi dengan taktik militer, atau kurang akrab dengan tentara dan veteran perang. Ia bahkan ogah kontak mata dengan Obama yang dianggap kurang berpengalaman.
Untung Obama tak emosional dan tetap tenang. Jika tampil ”galak”, Obama akan terjebak jadi tokoh kulit hitam militan yang biasanya selalu dicurigai akan konfrontatif terhadap kulit putih, seperti halnya Jesse Jackson.
Nah, jika tertarik menyaksikan dua debat selanjutnya, Anda bisa belajar banyak untuk Pilpres 2009 di sini. Pelajaran pertama, jangan terpukau dengan gaya capres yang more style than substance alias penjual citra.
Penampilan, pidato, dan pembuatan program merupakan bagian yang bisa dipoles. Ibarat buah, semua itu hanya kulit yang kurang bermanfaat bagi kebutuhan rakyat yang belum pulih 100 persen dari krismon 1998.
Oleh sebab itu, kedua, pelajarilah masa lalu capres. Seperti halnya komputer, Anda perlu refresh sebentar saja ingatan Anda tentang prestasi sang capres yang pada masa lalu pernah jadi pejabat—termasuk juga jadi presiden.
Ketiga, meski bimbang dengan wajah-wajah lama, jangan buru-buru percaya pada nama-nama baru. Walau ditambahi imbuhan kata new di depannya karena ganti wajah, toh isi mesin sedan Anda tetap sama.
”Minal aidin wal faidzin/Maafkan lahir dan batin/Selamat para pemimpin/Rakyatnya makmur terjamin”. Ah, masa?


0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity