05/09/08

SEBUAH KENANGAN

Malam semakin kelam dan gelap bertambah pekat… Seorang pemimpin besar, Imam Ali bin Abi
Thalib r.a., tak lama lagi, akan meninggalkan lawan-lawannya, membiarkan mereka
berkeliaran merusak kehidupan di muka bumi.
Di belahan bumi sana ia hidup menyendiri dirundung kepedihan; hidup disayat-sayat kesunyian
kejam yang belum pernah dialaminya selama ini. Hidup terpisah menjauhkan diri dari bencana
177
kesesatan yang sedang melanda kaumnya. Terpisah bersama hati parah dicekam duka lara.
Seorang diri terjauhkan dari zamannya, seakan-akan terhempas keluar dari permukaan bumi.
Namun bumi ini selesai sudah mencatat semua ucapan dan tutur katanya... ya, bahkan bumi itu
sendiri menjadi saksi abadi atas semua amal perbuatannya yang serba luar biasa.
Di permukaan bumi ini ia hidup tiada tara… memberi tanpa meminta… dimusuhi namun tak
pernah menyiksa… sanggup melawan tetapi lebih suka menyebar maaf sebanyak-banyaknya.
Tak pernah menusuk hati pembencinya dan tidak pula mengecewakan para pencintanya.
Penolong bagi si lemah, teman bagi yang hidup terasing, dan bapak bagi si yatim. Dekat dari
manusia tertekan yang mengharap uluran tangan untuk menghapus kemungkaran dan
penderitaan. Kaya ilmu dan berlimpah-limpah kearifannya. Hatinya tenggelam dalam banjir air
mata derita insan, di gunung-gunung dan di tiap dataran. Mengayun pedang mematahkan
kedzaliman dan kegelapan, namun cinta kasihnya tetap tertumpah kepada orang teraniaya. Di
kala sinar mentari memancar terang ia sibuk menegakkan kebenaran dan keadilan… dan di
masa malam mulai kelam airmatanya berlinang menangisi derita ummat di hari-hari
mendatang…
Di bumi ia hidup tiada tara… Tiap mendengar rintihan si madzlum, suaranya menggeledek
menggoncang pautan si dzalim. Tiap mendengar jerit orang meminta pertolongan tanpa ayal
lagi ia menghunus pedang berkilau memudarkan mata berniat jahat. Tiap mendengar teriakan
fakir kelaparan lubuk hatinya digenang airmata kasih, menggelegak laksana air bah menerjang
tanah gersang...
Selagi masih hidup di bumi ini, ia lain dari yang lain. Logika dan penalarannya tepat dan benar.
Cara hidupnya amat sederhana. Berbusana kain kasar… dan senantiasa bersikap rendah hati. Di
saat banyak manusia tergelincir menukik ke bawah, ia justru rnenjulang tinggi meraih awan…
Sungguh aneh ia hidup di bumi ini. Di saat orang lain bergelimang kenikmatan, ia bahkan
terbenam dalam penderitaan… tetapi, tahukah saudara… Siapakah orang yang gagah berani,
genial, aneh, berpandangan jauh, dan selalu dibebani penderitaan oleh orang-orang yang justru
diinginkan olehnya supaya mereka itu menikmati kehidupan dunia dan kebahagiaan akhirat?
Siapakah pria jantan itu… Ya, siapakah orang genial dan aneh itu? Bukankah ia seorang yang
dibenci lawan hanya karena mereka dengki dan irihati? Bukankah ia seorang yang dijauhi oleh
para sahabat hanya karena mereka takut menghadapi ancaman lawannya? Dan, akhirnya ia
seorang diri berjuang menentang kemungkaran dan kebatilan, menghadapi manusia-manusia
dzalim dengan sikap tegak berdiri di atas jalan kebenaran. Ia tidak mabok di saat menang dan
tidak patah di saat kalah, sebab ia yakin kebenaran akhirnya pasti akan menemukan tempatnya
yang hilang, walau banyak orang takut dan lari memejamkan mata. Siapa lagi orang sedemikian
genialnya itu kalau bukan Imam Ali bin Abi Thalib? Seorang Khalifah yang berasal dari Ahlu Bait
Rasul Allah s.a.w., seorang Amirul Mukminin, yang tak pernah hidup tanpa derita, dan yang
akhirnya menjadi korban pengkhianatan Abdurrahman bin Muljam.
* * * *


Malam itu malam penuh tanda-tanya. Awan tebal menyelimuti udara di langit tinggi, berarak
pelahan-lahan, kadang dikoyak sambaran petir mengkilat, teriring hembusan angin lembut. Di
sana-sini tampak burung-burung gagak tua hinggap di sarangnya masing-masing, dengan kepala
terangguk-angguk berat menunduk, seolah-olah tak berdaya lagi mengicaukan suara gaduh
menyongsong datangnya hari esok, seakan-akan tak sanggup lagi menegakkan kepala
menghadapi intaian Elang Raksasa!
Imam Ali terjaga sepanjang malam tak dapat mengenyam nikmatnya tidur. Ia membayangkan
hari-hari mendatang yang penuh manusia tersiksa kedzaliman dan hidup tertekan teraniaya.
Tetapi di samping mereka ada manusia-manusia lain yang serakah, menanjak dan meninggi,
kuat dan congkak, menghardik dan menelan orang-orang yang lemah. Ia membayangkan lawan178
lawannya sedang saling-bantu berbuat kemungkaran, orang-orang durhaka yang sedang bahumembahu
bergandeng tangan mengejar maksiat. Bersamaan dengan itu ia pun membayangkan
para pendukung dan pengikutnya sedang berlomba-lomba mundur meninggalkan kebenaran
yang kemarin dibela dan dipertahankan oleh mereka sendiri!
Imam Ali terjaga sepanjang malam, tak dapat mengenyam nikmatnya tidur. Terbayang keadilan
sedang diinjak-injak dan kebajikan sedang dilumur noda. Segala yang suci sudah digadai oleh
manusia-manusia yang hidup tanpa arah dan hampa. Kemuliaan hidup kini hanya tergantung
dan ditentukan oleh kemauan manusia-manusia yang sedang berbuat kerusakan di bumi, dan…
kemunafikan merajalela di mana-mana!
Imam Ali terjaga sepanjang malam, tak dapat mengenyam nikmatnya tidur. Terkenang
hidupnya selama ini. Sejak lahir di permukaan bumi dirinya telah menjadi kekuatan pembela
kebenaran dan keadilan, menjadi saudara bagi semua orang yang hidup sengsara, teraniaya dan
terlunta-lunta. Ia seolah-olah bagaikan geledek menyambar kepala orang-orang durhaka. Tidak
hanya lidahnya yang berbicara tentang mereka, tetapi pedangnya, si Dzul Fiqar, pun ikut
menggemerincingkan suara.
Di malam itu terbayang pada alam khayalnya lembaran-lerabaran sejarah hidupnya sendiri di
masa silam dan masa kini. Ia teringat pada kehidupan di masa muda, menghunus pedang di
depan hidung kaumnya, kaum musyrikin Qureiys! Ia heran bercampur bangga, mengapa sampai
sanggup berbuat seperti itu, menarikan pedang di depan muka mereka untuk membela risalah
agama. Ia bangga turut menyebar berita gembira kepada mereka yang hidup mendambakan
kebenaran, dan pedih mengingatkan mereka yang berkecimpung di lumpur kebatilan. Ia
teringat, di kala itu orang-orang Qureiys mengkeret mundur sambil melontarkan ejekan sia-sia.
Dan ia tetap maju menempuh jalan hidupnya sendiri, rela mengorbankan nyawa dan segala
yang berharga dalam menghadapi tantangan mereka, demi pengabdian kepada Allah dan
agama-Nya yang benar.
Terbayang olehnya kenangan lama, ketika berselunjur di pembaringan putera pamannya,
Muhammad Rasul Allah s.a.w., pada malam hijrah. Kala itu ia terbaring di bawah bayangan
puluhan pedang yang haus darah. Betapa resah dan gelisah hatinya, bukan karena takut binasa,
melainkan khawatir kalau-kalau Abu Sufyan dengan bantuan kaum musyrikin Qureiys dan
tengkulak-tengkulak nyawa lainnya, akan berhasil mengganggu Rasul Allah s.a.w. di tengah
jalan. Ternyata di bawah lindungan Ilahi beliau lolos dengan selamat, dan cahaya agama yang
dibawanya berhasil menembus kegelapan jahiliyah!
Ia masih terus mengenangkan kehidupannya di masa lalu. Teringat olehnya ketika mengarungi
peperangan-peperangan adil sebagai pahlawan. Dengan semangat kecintaan kepada Allah dan
Rasul-Nya ia berhasil meruntuhkan benteng-benteng musuh dan menumpas kaum durhaka.
Teringat pula ketika ia sedang dikerumuni oleh kaum fakir miskin dan orang-orang lemah
lainnya. Ia melihat mereka bersembah sujud ke hadhirat Allah memanjatkan syukur, tiap kali
mereka menyaksikan tangannya mengayuri pedang di atas kepala musuh-musuh mereka.
Dengan mata kepala sendiri mereka melihat orang-orang Qureiys durhaka lari tungganglanggang
menyelamatkan nyawa laksana belalang terbang berserakan tertiup angin kencang.
Ia teringat kepada putera pamannya, Muhammad Rasul Allah s.a.w. sedang menatap mukanya
dengan sinar mata penuh kasih sayang, kemudian memeluk sambil berucap: "Inilah saudaraku!"
Ia juga teringat ketika beliau datang berkunjung ke rumahnya di saat ia sedang tidur. Waktu
isterinya --Fatimah Azzahra binti Muhammad Rasul Allah s.a.w.-- hendak membangunkan, tibatiba
beliau berkata: "Biarkan dia! Mungkin sepeninggalku ia akan 'bergadang' lama sekali!"
Mendengar ucapan ayahandanya seperti itu Sitti Fatimah menangis terisak-isak! Lebih dari itu
semua, ia pun teringat ketika Rasul Allah s.a.w. berkata kepadanya: "Allah telah menghiasi
hidupmu dengan perhiasan yang paling disukai oleh-Nya. Yaitu bahwa engkau telah dikaruniai
rasa cinta kasih kepada kaum yang lemah dan merasa senang mempunyai pengikut-pengikut
179
seperti mereka. Sedang mereka juga merasa senang mempunyai pemimpin seperti engkau!"
Kemudian terbayang olehnya peristiwa wafatnya Rasul Allah s.a.w. di hadapannya, yaitu saat
beliau mengarahkan pandangan mata terakhir kepadanya. Kini bayangan wajah isterinya yang
telah lama mendahului --Siti Fatimah r.a.-- terpampang di pelupuk mata, yang pada saat itu
tampak sangat sedih. Dikarenakan kehancuran hati dan perasaannya, belum sampai seratus hari
isteri tercinta itu menyusul ayahandanya dalam usia belum mencapai 30 tahun. Kini Imam Ali
sedang teringat sewaktu mengantar kemangkatan isterinya menghadap Allah Rabbul'alamin,
yaitu saat ia berdiri di atas makamnya sambil menangis tersedu-sedu, kemudian pulang ke
rumah di petang hari dengan hati yang hancur luluh. Kesedihan abadi di malam pudar!
Terlintas pula dalam ingatannya, ketika Umar Ibnul Khattab r.a. menolehkan muka kepadanya
seraya berkata: "Demi Allah, bila engkau yang memimpin mereka --ummat muslimin-- engkau
pasti akan membawa mereka ke jalan yang benar dan ke cahaya yang terang benderang!" Di
telinga Imam Ali sekarang sedang mengiang-ngiang suara para sahabatnya, yaitu ketika mereka
berkata: "Pada masa hidupnya Rasul Allah s.a.w. kami mengenal orang-orang munafik dari sikap
mereka yang membenci anda!"
Ya…, bahkan Rasul Allah s.a.w. sendiri berkali-kali memperdengarkan ucapan: "Hai Ali, tidak
ada yang membencimu selain orang munafik!"
Saat itu Imam Ali teringat kepada kawan-kawan seperjuangan, ketika berjuang bersama-sama
dan bahu-membahu serta saling bantu di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. Sekarang di antara
mereka ada yang masih terus berjuang dan ada pula yang sudah berkomplot melawan dia,
hanya karena didorong oleh ambisi hendak merebut kekuasaan dan kepemimpinan. Tetapi
mereka yang masih tetap menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, dan mereka yang masih
tetap setia membela kebajikan… alangkah bahagianya dan berkahnya mereka itu. Walaupun
mereka hidup terasing di dunia, dicampakkan oleh musuh-musuh kebenaran dan keadilan dan
dirintangi oleh kedzaliman berselimut ribuan cara.
Imam Ali sekarang sedang membayang-bayangkan wajah Abu Dzar, yang ketika itu mengenakan
serban kumal mencari-cari Rasul Allah s.a.w. untuk dapat mengabdikan diri kepada kebenaran
Allah s.w.t. Setelah itu Abu Dzar mencurahkan seluruh isi hati, fikiran dan perasaan serta
segenap jiwa raga kepada perjuangan membela kebenaran melawan kebatilan. Tetapi
perjuangannya yang gigih membela kaum madzlum, yang hidup sengsara, ternyata berakhir
dengan tragedi menyedihkan yang dibuka sumbatnya oleh Marwan bin Al-Hakam pada zaman
kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. Ia kemudian diusir, dibuang dan dipencilkan sampai datang
ajal menjemput nyawa, dan sesudah semua puteranya mati lebih dulu di depan matanya. Isteri
Abu Dzar, seorang wanita baik hati, sewaktu menghadapi kemangkatan suaminya, ingin mati
lebih dulu agar tidak sampai "mengalami kematian dua kali!" Yaitu mati dalam hidup dan mati
sesudah hidup. Abu Dzar mati kelaparan dalam cengkeraman buas beberapa orang Bani
Umayyah yang sedang berdiri di atas hamparan emas.
Betapa sedihnya Imam Ali teringat kepada Ammar bin Yasir; seorang sahabat setia yang pada
hari-hari belum lama berselang mati terbunuh. Ammar benar-benar seperti saudara kandung
Imam Ali sendiri. Seorang yang hidup amat sederhana, penuh taqwa, jujur dan berani. Ia mati
terbunuh melawan gerombolan pemberontak Muawiyah di Shiffin.
Ya, dimanakah sekarang sahabat-sahabat Imam Ali? Teman-teman dan para sahabat yang dulu
menempuh jalan yang sama dan berdiri tegak bersama-sama memadu tekad untuk membela
kebenaran? Teman dan sahabat yang dulu tak pernah meninggalkan dia, tak pernah
mempergunjingkan dia, dan tak pernah berlaku buruk terhadap dirinya? Dimanakah mereka itu
semua? Mereka sekarang sudah banyak sekali yang bertolak belakang. Namun Imam Ali masih
tetap terus berkecimpung dalam perjuangan sengit melawan kedzaliman dan pelaku-pelakunya.
Imam Ali sekarang melaksanakan tugas perjuangan seorang diri, setelah dahulu dikerumuni oleh
180
banyak sahabat dan pendukung setia. Perjuangan membela kebenaran dan keadilan melawan
suatu kaum yang mempunyai anak-anak liar dan pemuda-pemuda dekaden, sedangkan para
orang tua mereka tidak mendorong supaya mereka berbuat baik dan meninggalkan
kemungkaran. Suatu kaum yang hanya disegani oleh orang-orang yang takut berbicara, tidak
dihormati selain oleh orang-orang yang mengharapkan pemberiannya.
Alangkah kejamnya kehidupan ini, sehingga Imam Ali sampai detik-detik akhir hayatnya hanya
mengenal perjuangan dan penderitaan! Alangkah teganya kehidupan ini, sampai membiarkan
orang-orang yang baik hidup tersingkir satu demi satu, dan sampai bumi ini penuh dengan
kedzaliman dan kebathilan!
Aduhai, alangkah parahnya hari esok yang dibayangkan oleh Imam Ali dengan fikiran dan
perasaannya pada malam itu. Setelah malam itu lewat, apakah gerangan yang akan dialami
oleh pemimpin besar kaum muslimin itu? Seorang pemimpin yang dirugikan oleh kejujurannya,
tetapi ia tidak sudi berdusta walau akan memperoleh keberuntungan. Setelah malam itu lewat,
apalagi yang akan dialami oleh seorang pernimpin yang menjadi bapak orang banyak itu?
Seorang pemimpin yang lebih suka menderita di dalam kebenaran daripada hidup senang di
dalam kebatilan. Ya, setelah malam itu lewat, apalagi yang akan dialami oleh seorang
pemimpin yang berfikir dan berperasaan adil terhadap sesama manusia; dan seorang pemimpin
yang bekerja mengabdi kebenaran tak peduli apakah gunung-gunung akan runtuh ataukah bumi
akan longsor.
Alangkah gelapnya hari esok di mana si pandir akan merangkak berlagak pandai dalam suasana
penuh kedzaliman, agar orang-orang yang berkuasa mau menarik-narik ekornya dengan bangga.
Sedangkan kaum cerdik pandai yang tak mau mengikuti jejak orang-orang itu akan digilas
sampai pipih, kering dan remuk, kehabisan nafas dan tinggal saja merasakan siksa dunia.
Pendukung kedzaliman yang memerangi Imam Ali dengan otak, hati, lidah dan pedang, akan
dapat menjadi manusia yang hidup senang. Suasana sungguh sudah terjungkir balik, siang
disulap menjadi malam, dan kiri disulap menjadi kanan. Adapun pendukung keadilan yang
membela Imam Ali dengan otak, hati, lidah dan pedang, pasti akan menjadi orang-orang
sengsara, teraniaya dan dikepung penderitaan dari segenap jurusan!
Terbayang semuanya itu Imam Ali melinangkan airmata sambil mengusap-usap janggut.
Keheningan malam yang sunyi senyap seolah-olah ikut menangis teriring suara hembusan angin
sepoi-sepoi. Mata Imam Ali sampai membengkak karena terlampau banyak memeras airmata. Ia
kemudian mengarahkan pandangan ke bintang-bintang dan awan di cakrawala. Remang-remang
cahaya malam tanpa pandang bulu meratai kemegahan rumah-rumah kaum yang dzalim dan
gubuk-gubuk reyot kaum yang madzlum. Tanpa pilih kasih kegelapan malam itu menggenangi
orang-orang berhati dengki dan orang-orang berbaik hati yang sedang dirundung derita. Semua
mendapat perlakuan sama.
Setelah itu Imam Ali teringat kepada sikapnya sendiri terhadap kekayaan duniawi, kemudian
berucap: "Hai dunia…, hai dunia, rayulah orang selain aku!" Ya, benar-benar ia telah
menjungkir-balikan dunianya di depan wajah dunia!
Malam semakin kelam dan gelap bertambah pekat… Ia merasa hidup di dunia seolah-olah sudah
sampai di suatu tempat dimana ia harus berada seorang diri. Betapa sedihnya hidup di
permukaan bumi ini dalam sebuah rumah seorang diri, rumah yang sunyi senyap lagi terpencil.
Matanya dipejamkan sejenak, seolah-olah sedang menangkap desiran malam yang mengerikan.
Ia terkantuk mimpi melihat Rasul Allah s.a.w. Dalam mimpi ia bertanya kepada putera
pamannya itu: "Ya Rasul Allah, apakah yang harus kuperbuat terhadap ummatmu yang serong
dan saling bermusuhan?" Beliau menjawab: "Mohonlah pembalasan buruk bagi mereka hepada
Allah!" Imam Ali kemudian berdoa: "Ya Allah, gantilah mereka itu dengan orang-orang yang baik
bagiku, dan gantilah aku dengan orang yang lebih buruk bagi mereka!"
181
Dalam mimpinya itu ia pun melihat kaum fakir miskin dan kaum lemah lainnya bersama-sama
orang-orang yang kuat sedang berada di dalam sebuah bahtera oleng terpukul badai di tengah
lautan. Semua orang yang ada dalam bahtera itu cemas ketakutan menghadapi marabahaya di
kegelapan malam. Mereka dihempaskan ke sana dan ke mari oleh angin ribut.
Itulah akhir mimpi dan kenangan hidupnya menjelang subuh dini hari yang mengantar Abdur
Rahman bin Muljam datang menyelinap ke dalam masjid dengan senjata tajam di tangan. Dua
hari kemudian ia wafat, dan Ibnu Muljam bukannya berhasil membayar maskawin yang diminta
oleh perempuan jalang bernama Qitham binti Al Akhdar, melainkan ia harus membayar
petualangannya dengan nyawa sendiri!

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity