30/09/08

Mata Hati Manifesto Fotografi Jurnalistik Indonesia

Sajian jurnalistik telah memasuki zaman multimedia. Warta mengepung manusia modern dari berbagai wilayah waktu dan penjuru ruang. Pendengaran tak lagi sanggup menghindar dari kekuatan jelajah gelombang berita radio yang mampu menembus ruang. Nyaris pada setiap waktu, tayangan peristiwa juga beruntun menghadang kala kita menatap layar kaca.

Lalu, di mana lagi sesungguhnya posisi media cetak harian, khususnya foto jurnalistik, jika fungsinya hanya menyampaikan berita? Jawabannya muncul awal pekan ini saat Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama di Bentara Budaya Jakarta membuka pameran dan peluncuran buku koleksi foto terbaik Harian Kompas (1965-2007) yang diberi tajuk Mata Hati.

Sebuah hasil kerja tim foto Kompas untuk memperingati ulang tahun koran nasional yang terbit sejak 28 Juni 1965 itu. Sebentuk persembahan istimewa yang sekaligus menghapus dahaga kita atas kelangkaan pustaka dalam belantara fotografi jurnalistik Indonesia selama ini. Keberadaan buku ini seperti hendak menyapa publik seraya mengungkapkan perwujudan hasil kerja para pewarta foto sebagai saksi mata bagi peradaban Indonesia dengan sebentuk gaya dan selera.

Dengan format sama sisi (30 cm x 30 cm), Mata Hati hadir dengan bobot seberat 2,5 kilogram. Menampilkan sekitar 256 imaji foto hitam-putih dan warna karya 44 wartawan dan pewarta foto Kompas. Disajikan dalam sembilan segmen yang sekaligus membeberkan kepada kita kekuatan himpunan imaji fotografi jurnalistik dalam segala dimensi kemanusiaannya, langsung dari medan kejadian.

Segmen pertama bertemakan Dunia Anak (22 foto), selanjutnya Kejahatan Terorisme (18 foto), Bencana Alam (juga bencana buatan manusia, 30 foto), Api dan Kebakaran (18 foto), Arena Olahraga (25 foto), Reformasi dan Kerusuhan Politik (46 foto), Jeruji dan Kebebasan (16 foto), Pluralisme (23 foto), dan Keseharian (58 foto).

Dengan konsep pembabakan seperti di atas, perwajahan buku dapat tampil lebih bebas dan fleksibel. Mengatur timbre materi foto agar dapat tertata dengan artistik, khususnya dalam menghubungkan satu nuansa foto dengan nada gambar lainnya.Sampai seluruh koleksi foto yang terhimpun dalam 300 halaman itu membentuk ritme yang merdu iramanya. Suatu oase yang ideal bagi materi fotografi jurnalistik yang kreatif.

Buku ini tampaknya memang dipersiapkan untuk memberi ruang sebebas-bebasnya pada koleksi foto yang disunting pewarta foto senior Julian Sihombing. Ia setengah tahun belakangan ini berkonsentrasi dengan tekun dan memilah secara bertahap seluruh koleksi dokumentasi foto Kompas, kurun 1965-2007 yang konon jumlahnya mencapai ratusan ribu frame foto.

Untuk kepentingan penerbitan buku, tampaknya penyunting foto mencoba menyusun pilihan foto utama pada gambar yang beraspek features dan bernuansa subyektif. Bercorak agak pictorial ketimbang yang murni foto jurnalistik spot yang nuansanya kerap terlalu keras.

Format buku yang bujur sangkar tak sekadar memberi kesan netral, tetapi juga memudahkan kerja pengarah visual (Trinid Kalangi) mengatur rambu-rambu komposisi display seluruh foto terpilih.

Teks pengantar oleh Sindhunata yang padat pada setiap segmen serta penulisan judul-judul pendek di bawah setiap foto (teks foto lengkap dapat dibaca pada thumbnail yang terletak di bagian akhir buku) memberi fokus istimewa kepada fotografi, sekaligus meluaskan pentas bagi penampilan fotografi yang dalam buku ini kebanyakan melibatkan opini visual para fotografernya.

Simak karya sarkastis Agus Susanto, Planet Banjir (2002, halaman 18), yang diabadikannya di kawasan Dukuh Atas, menampilkan seorang bocah yang bermain di genangan air dengan latar belakang mural gedung-gedung pencakar langit yang juga terendam banjir. Sebentuk imaji urban yang simbolis dan sarat dengan pesan lingkungan yang kuat.

Penderitaan menjadi representasi dari pemerintahan Soeharto yang represif. Tengok karya Kartono Ryadi, Suka Cita Bung Tomo (April 1979, hal 172-173) yang menampilkan foto rangkaian (sequence) dari pembebasan pahlawan Angkatan 45 tersebut di Kantor Kejaksaan Agung Jakarta. Juga simak bagaimana karakter dan karisma sastrawan Pramoedya Ananta Toer di penjara Pulau Buru (1977, hal 169), yang tertangkap dalam lensa Sindhunata.

Pendekatan portraiture digunakan Eddy Hasby (Maret 1994, hal 180) ketika mengabadikan Xanana Gusmao di depan tembok penjara Cipinang yang berilustrasikan burung-burung terbang bebas, tempat dia ditahan dengan tuduhan menggerakkan massa dan memiliki senjata api secara gelap. Kemampuan membaca lingkungan saat membuat foto potret di lokasi menjadi kapabilitas ekstra seorang pewarta foto dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Ada juga foto Julian Sihombing (Juni 1994, hal 177), yang merekam detik-detik menegangkan bagi kebebasan pers Indonesia. Visualisasinya memperlihatkan Pemimpin Umum Majalah Tempo, Fikri Jufri, dengan bayangan tubuh yang nyaris tumbang di tembok kanan, melihat arloji di lengan kirinya. Menanti di depan layar kaca, detik-detik pengumuman pembredelan majalah Tempo, Detik, dan Editor.

Simak pula ratapan seorang ibu yang rumah dan harta bendanya terbakar habis di Tanah Abang (Yuniadhi Agung, Juli 2004, hal 101), atau para veteran eks Tentara Pelajar yang menghadiri peringatan Serangan Umum (Priyombodo, Agustus 2005, hal 159), maestro seni lukis Indonesia Basuki Abdullah, Affandi dan Sudjojono santai di Pasar Seni (Kartono Ryadi, Oktober 1985, hal 201).

Tema keseharian terlihat dari karya Ahmad Arif (Maret 2005, hal 267) yang memotret puluhan pelajar berangkat ke sekolah menumpang motor tempel di Pangururan, Danau Toba. Atau dua bocah tunawisma (Kartono Ryadi, 1972, hal 224), solidaritas Munir menagih janji Presiden (Agus Susanto, Juni 2005, hal 228), Camdessus-Soeharto (JB Suratno, Januari 1998, hal 275), Bentrokan massa PRD di KPU (Johny TG, Juli 1999, hal 137).

Terkapar adalah judul foto Julian Sihombing (Mei 1998, hal 139) yang dicuplik dari peristiwa Trisakti. Sebentuk foto yang juga menjadi ikon visual Kompas yang imajinya berpengaruh terhadap eskalasi gerakan mahasiswa menentang pemerintahan Soeharto pascatragedi Trisakti.

Begitu juga dengan foto Evakuasi Warga Lapindo (Agustus 2006, hal 70) karya Raditya Helabumi yang dramatis dan menyentuh rasa keadilan serta kemanusiaan.

Imaji dramatis tentu kerap datang dari medan olahraga. Mendiang Kartono Ryadi (Agustus 1992, hal 119) membuat salah satu ikon foto jurnalistik yang begitu familiar dengan kita. Saat dia mengabadikan wajah cool atlet bulu tangkis Susi Susanti yang tak mampu menahan air mata ketika lagu Indonesia Raya berkumandang dalam Olimpiade Barcelona, mengiringi upacara penyerahan medali emas pertama sepanjang sejarah Indonesia di ajang Olimpiade. Suatu pemandangan yang mengharukan sekaligus menyindir sikap pemerintah yang kerap diskriminatif terhadap keberadaan WNI keturunan di Indonesia.

Kartono dalam wawancara terakhir sebelum tutup usia pada 2007 mengakui bahwa foto air mata Susi adalah imaji fotografi yang paling berarti baginya sepanjang karier dia sebagai pewarta foto, bahkan jika dibandingkan dengan foto-fotonya yang pernah mendapatkan sejumlah penghargaan, termasuk dari World Press Photo.

Secara keseluruhan, meskipun terdapat secuil kekurangan dalam masalah teknis, seperti kesalahan ketik pada bagian teks pengantar, adjusting warna pada beberapa foto, dan continuity font teks di halaman-halaman akhir, penggabungan close-up mata lelaki Aileu di atas judul besar pada sampul buku memberi kesan agak verbal, yang barangkali membatasi imajinasi dan keluasan cakrawala persepsi Mata Hati.

Mata Hati karena itu dapat dibaca tidak semata sebagai manifesto para insan foto jurnalistik Kompas, tetapi juga bagi fotografi jurnalistik kita di Indonesia. Yang mencoba mendudukkan posisi foto jurnalistik sebagai suatu elemen dari sistem yang utuh dalam mata rantai prosesi jurnalistik. Yang mengikat teks dan foto. Sastra dan citra, dalam siklus yang padu. Yang tak pernah terkotak-kotak. Yang tak pernah terputuskan.

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity